CakNun.com

Metode PDKT untuk Mengenali Diri

Ericka Irana
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Saya sering mendengar kalimat ini — Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu — disebut berulang kali dalam berbagai kesempatan acara baik itu di Maiyahan, atau kajian umum para Kyai kondang Nusantara. Secara harfiah, saya rasa Anda semua juga sudah tidak asing dengan artinya, barangsiapa yang mengenali dirinya maka ia akan mengenali Tuhannya.

Tetapi, mengenali diri yang bagaimana yang akan mengarahkan kita mengenal Tuhan Sang Maha Pencipta? Dan bagaimana cara kita untuk mengenali diri ini?

Pertanyaan ini yang terus mengiang-ngiang dalam pikiran saya, meski sebenarnya Mbah Nun sudah memberikan clue bagaimana cara kita menemukan jawabannya. Memang tidak mudah memahami atau bahkan langsung mengerti apa yang diucapkan oleh Mbah Nun, para Marja’ Maiyah maupun para Kyai Nusantara lainnya dalam kajian-kajian tertentu. Apalagi saya tidak hadir secara langsung pada acara tersebut melainkan hanya hadir secara virtual dibalik layar smartphone yang tentunya energi “kebarokahan” ilmu akan berbeda jika hadir langsung on the spot.

Namun saya berpegang pada prinsip sederhana ala Maiyah, wis ga usah dipikir, rungokno ae ben mlebu nang atimu, mengko Gusti Allah sing ngatur kowe iso paham dewe, begitu yang sering saya dengar.

Mbah Nun sering me-wejang agar tidak perlu khawatir apabila kita tidak paham akan apa-apa yang disampaikan oleh siapapun mengenai ilmu.

Dengarkan saja dan biarkan meresap dalam hati hingga Allah sendiri yang mencahayai kita agar paham akan ilmu-ilmu Nya.

Butuh waktu yang tidak sebentar bagi saya untuk memahami kalimat di atas. Selama ini saya hanya berpikir secara dimensi kamar, memahami manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus tunduk pada ketentuan-Nya, menjadi pribadi yang sholeh, mengerjakan amalan-amalan, menjauhi larangan dan semua tentang tugas manusia secara ritual ibadah.

Lalu entah darimana saya seperti mendapat ilham untuk memecah kalimat mengenali diri menjadi kata-kata yang lebih mudah saya pahami. Istilah PDKT atau ‘pendekatan’ seolah menjadi trigger untuk lebih memahami makna kalimat Man ‘arofa nafsahu, faqad ‘arafa Rabbahu secara ruang.

Biasanya kita menggunakan istilah PDKT ketika sedang kesengsem pada lawan jenis, baik calon pacar, suami maupun istri, dari istilah ini saya mencoba untuk merinci apa saja yang harus dilakukan ketika sedang menjajaki seseorang. Contoh paling sederhana, mengenal namanya, alamat rumah, sekolah atau bekerja dimana, siapa orang tuanya, hingga kegemaran orang tersebut sampai mendetail pada karakter dan kepribadiannya.

Selama ini kita sangat antusias ketika berusaha mengenali orang lain, apalagi gebetan yang menjadi target utama pujaan hati. Kita berusaha mencari tahu banyak tentang orang tersebut meski belum mengawali perkenalan, istilahnya sudah “browsing” terlebih dahulu mengenai seluk-beluk orang yang akan kita tuju hingga sangat paham hal-hal detail tentang orang tersebut. Walhasil ketika berada tepat di depan mata, kita sudah sangat tahu apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan strategi rayuan gombal, agar hatinya luluh dan mau menjadi pasangan kita.

Nah seandainya strategi PDKT tersebut juga kita terapkan untuk lebih mengenali diri sendiri, kira-kira apa yang akan kita dapatkan dalam kehidupan ini? Pernah saya mendengar obrolanM bah Sudjiwo Tejo pada acara Kenduri Cinta kalau tidak salah, tentang seringnya kita sowan ke guru, orang tua, atasan, menteri, maupun sowan ke presiden, tapi kita lupa untuk sowan ke diri kita sendiri. Mungkin inilah yang disebut bagian dari mengenali diri sendiri.

Saya mencoba mengamati beberapa teman, bahkan juga saya pribadi dengan teknik PDKT ini. Kebanyakan orang yang tidak memahami dirinya cenderung teledor dan ceroboh dalam menjalani kehidupan, mereka kurang pandai menakar dan mengukur kemampuan diri, cenderung grusa-grusu serta gampang kemrungsung bin kemaruk melihat dunia. Orang akan condong pada ambisi dunia seolah dia tidak akan mati, karena tidak paham apa tujuan hidupnya.

Belajar mengenali diri menjadikan saya memiliki tolok ukur pribadi, memahami kelebihan dan kekurangan diri, lebih berhati-hati dalam melangkah serta mengambil keputusan, selain itu menjadikan diri ini lebih disiplin karena kita paham kapan waktunya ngegas — ngerém, kapan saatnya menikmati dunia, sekaligus mempersiapkan akhirat.

Saya menjadi lebih kagum terhadap Risalah yang dibawa Kanjeng Rasulullah ini. Bagaimana tidak bangga lha wong kita dididik untuk menjadi pribadi yang profesional, yang notabene sering digaungkan oleh orang-orang Barat sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Coba kita amati kehidupan orang-orang Barat yang serba tertata, terukur, dan punya target bukankah itulah Islam sebenarnya?

Namun mirisnya gaya hidup profesional ini masih belum merata di kalangan umat Islam sendiri, wa bil khusus masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di Indonesia bahkan yang sedang merantau di luar negeri sekalipun, masih punya budaya ngglembosi! Contoh kecil kalau sudah urusan janjian, pasti sering telat atau bahkan ghosting menghilang tanpa kabar berita, kalimat InsyaAllah bukannya menjadikan kita untuk bersungguh-sungguh menepati janji, tapi malah menjadi tameng untuk mblenjani janji dengan seribu alasan… Wiss angeell… Angel tenan!

Kemampuan PDKT terhadap diri sendiri akan mengarahkan kita pada Ilmu Taqarrub Ilallah, semakin kita paham siapa diri kita, secara otomatis akan meningkatkan sikap eling lan waspada. Alangkah indahnya jika kaum muslimin bisa berbenah dari hal kecil yang saya tuliskan diatas, tidak hanya koar-koar jihad atau teriak-teriak membela Islam karena adanya dugaan penodaan agama oleh kelompok lain, padahal justru kita sendiri-lah yang sering menodai Islam.

Astaghfirullahaladzim… Masih pantaskah saya menyebut diri ini sebagai orang muslim?

Almere, The Netherlands 01.05.2021

Lainnya