CakNun.com

Merealisasikan Gerakan SNDW, Mungkinkah (?)

Ghofur Mohammad
Waktu baca ± 4 menit
Oleh Tauʻolunga – Karya sendiri, CC BY-SA 2.5, Pranala

Tulisan ini terpantik oleh buku Romo Iman Budhi Santosa (Alm.) Suta Naya Dhadhap Waru (SNDW): Hubungan Manusia Jawa dengan Tanaman. Suta dan Naya adalah nama-nama perorangan Jawa dari kalangan biasa, bukan golongan elit atau keturunan bangsawan. Sedangkan Dhadhap dan Waru adalah jenis-jenis tumbuhan biasa yang tumbuh di segala tempat umum, bukan tanaman Jati atau Beringin yang harus tumbuh di tempat-tempat sakral. “Orang-orang biasa belajar dari tumbuhan-tumbuhan biasa” di waktu dan tempat yang juga biasa saja, untuk saling berbagi kehidupan.

Perlu ditegaskan pula, adakalanya kita akan belajar pada Jati atau Beringin karena dalam sebuah ekosistem yang kompleks dan lengkap, seluruh tanaman akan saling tawaf sesuai fungsinya masing-masing. Namun, dengan belajar kepada Dhadhap dan Waru yang juga memiliki manfaatnya sendiri-sendiri kita akan menjadi pembelajar yang menyeluruh. Tidak hanya belajar dari yang ‘terhormat’ dan elit, namun juga belajar dari seluruh kelas dalam tata ekosistem komplit.

Selama belajar di Belanda, saya juga berusaha menjadi pembelajar yang holistik, tetapi aneka kemewahan Eropa nyatanya penuh keterbatasan. Saya pernah hadir di laboratorium atau perkebunan, juga pertanian ultra-modern berkelas dunia. Tapi saya pun menyadari bahwa petani-petani kecil di berbagai daerah di Indonesia juga menyediakan laborat yang mampu menyediakan ilmu yang nyata. Dalam koridor pengetahuan yang ketat, catatan petani Jawa tentang hubungan antara burung yang bertelur dan musim apa yang akan datang tidak tertulis di jurnal terindeks scopus. Tetapi, pengetahuan tersebut riil ada dan menjadi indikator bagi para petani Jawa, beserta ratusan bahkan mungkin ribuan penanda-penanda lain yang disediakan oleh alam.

Jangan buru-buru gagap terhadap Big data dan Machine learning, ketika ratusan tahun penanda pertanian di Jawa terus dipraktikkan dan terus disempurnakan. Pengetahuan di petani Nusantara berlaku dinamis dengan tidak pernah diformalkan tapi di beberapa komunitas terlegitimasi oleh pemimpin kultural melalui serangkaian adat-istiadat, kesenian, juga praktik kehidupan sehari-hari. Jika pengetahuan Nusantara dikumpulkan, dan didokumentasikan, saya menanti bagaimana kita akan “menertawakan” konsep Big Data ala Barat itu. Secanggih apapun Machine learning, absennya sentuhan humanis pasti menumbuhkan kemungkinan terjungkalnya berbagai kemungkinan teknis yang hanya terukur secara matematis tapi luput dimensi kemanusiaan.

Infiltrasi genetis pada tanaman misalnya masih menjadi perdebatan permanen, karena sebagian ilmuwan meyakini dampak degeneratif berkepanjangan mungkin memberi pengaruh negatif pada manusia. Pada titik ini timbul pertanyaan, sejauh mana ‘pengetahuan Barat formal’ akan melaju, dan siapa yang akan menghentikannya ketika sudah tidak terkendali. Sementara di Timur yang dilihat oriental dalam kacamata Barat ini, berbagai tumbuhan sebangsa Dadhap dan Waru dialienasi.

Gejawan memiliki kisah alienasi tanaman yang bisa disebut tragis. Jika Anda baru dengar, coba gunakan mesin pencari online andalan Anda, sebut saja Google, dan masukkan pencarian terhadap kata ‘Tumbuhan Gejawan’, maka yang muncul rata-rata mendeskripsikannya sebagai gulma yang sulit dikendalikan, dan harus dibinasakan dengan obat herbisida. Ya Allah! Bagi pemulia benih padi, gejawan adalah penyekat sempurna untuk menghindari penyilangan antar varietas. Kita sudah didekte bahwa gejawan adalah bagian dari gulma, tanaman liar yang tak dikehendaki. Bagi yang ingin ngelus dada monggo waktu dan tempat dipersilahkan.

Kasus alienasi lain misalnya tentang porang (Amorphophallus muelleri), tanaman yang sejak lama sudah menjadi sumber pangan karena jenis varietas ini tahan di lahan kering. Lagi-lagi tanaman yang di Jawa lebih umum disebut Iles-iles ini dalam pengetahuan pertanian modern hanya dianggap sebagai alang-alang. Belakangan waktu saja dia hadir kembali sebagai pangan ‘alternatif’ setelah ramai-ramai demam pangan sehat, porang dan iles-iles datang kembali dengan topeng mi shirataki yang mampu menurunkan berat badan.

Phillip Mcmichael, dalam buku Rezim Pangan dan Masalah Agraria membawa banyak contoh kasus penetrasi neoliberalisme pada konteks pertanian sampai ke wilayah hulu. Sebagai salah satu premis yang dibangun adalah bahwa yang boleh tumbuh hanya yang sesuai kebutuhan produksi massal. Maka yang bukan padi, jagung dan gandum, akan dikategorisasikan sebagai tumbuhan liar, termasuk porang, juga gejawan, dan harus dimusnahkan karena merupakan tanaman gulma liar.

Melalui logika tersebut saya bermimpi untuk membuat sebuah gerakan yang saling belajar dari orang biasa pada hal-hal biasa seperti dalam SNDW. Gerakan ini harus terus diinisiasi untuk mencegah kekosongan komunikasi antara menara gading universitas dengan masyarakat. Kekosongan tersebut sekarang mudah sekali diisi oleh ketakteraturan dalam media online yang aksesibel pada siapapun namun dengan pertanggungjawabannya yang kurang. Meminjam istilah Mbah Nun yang digunakan belakangan ini, maka Maiyah adalah sebuah algoritma. Algoritma yang saling melengkapi dan memenuhi dalam berbagai struktur kelas sosial.

Mas Sabrang pernah membahas cuaca namun dalam konteks sosiologis dalam salah satu edisi Kenduri Cinta. Keseimbangan terjadi dengan membutuhkan cuaca yang tepat. Cuaca akan menentukan benih mana yang tumbuh. Attmosfer sosial politik yang melingkupi kemasyarakatan kita ini juga harus diakui membentuk orang-orang yang hanya pas di masa-masa ini.

Gerakan SNDW bisa menjadi salah satu jembatan untuk menyambung putusnya hubungan dunia akademis dengan masyarakat. Komunitas Maiyah sudah punya kanalnya. Marja Mafaza, di Eropa, Pak Siswa Santosa beberapa kali menekankan hal ini. Untuk menemukan peneliti di berbagai penjuru dunia itu dengan ekosistem akarnya yakni di nusantara. Bukan untuk menghegemoni, namun lebih pada saling melengkapi. Kebutuhan teoretis tidak sempurna tanpa data-data riil yang praksis ada di lapangan.

SNDW adalah gerakan untuk tumbuh bersama yang mewujud dalam bangunan resiliensi bersama. Argumen ini muncul pada benak saya ketika menghadiri silaturahmi simpul beberapa waktu lalu. Masing-masing pegiat memang memiliki dunianya masing-masing untuk terus berikhtiar dan bermuhasabah dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan.

Ghofur Mohammad
Pegiat Mafaza Maiyah Eropa, Peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Berminat terhadap studi tentang Pranata Mangsa. Penulis bisa dihubungi di mghofur87@gmail.com.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version