Menyerap Cinta
Andaikan saya beristighfar sepuluh atau bahkan pun seratus ribu kali sehari, tak akan terhapus rasa dosa saya karena lupa terlalu banyak hal. Memang ‘al- insanu mahallul khaththa` wan nisyan”. Manusia adalah sarang kesalahan dan lupa. Ada level kesalahan yang bersubstansi dosa, tetapi apakah lupa juga memungkinkan dosa? Ada permakluman nilai budaya bahwa lupa itu “manusiawi”. Bahkan sudah lewat waktu kita belum shalat menurut para ulama itu tidak dosa, apabila benar-benar lupa.
Tentu lain kasus lupa dan melupakan. Sebenarnya tidak begitu jelas apa dan bagaimana itu melupakan. Apakah menghapus sesuatu dari memori di hardisk otak kita? Ataukah menganggap tidak ada sesuatu yang ada? Biasanya melupakan itu menjadi dosa ketika sudah sampai pada tahap tindakan, akibat atau aplikasi. Kita tidak peduli pada jasa seseorang, sehingga tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, tidak memberikan penghargaan atas sesuatu yang seharusnya kita menghargainya.
Benar-benar para pakar psikologi harus mengajari kita. Para ilmuwan kejiwaan wajib memberitahu kita. “Lupa”, meskipun bentuknya kata kerja, tetapi sebenarnya dia kata keadaan. Yang kata kerja aktif adalah “melupakan”. Forget dan forgetting. Nisyan dan yansa. Yang dimaklumi adalah keadaan lupa, tapi melupakan adalah hal yang berbeda. To forget atau yansa tatkala mengakibatkan output yang lain, misalnya meremehkan, menganggap tidak ada, atau bahkan sengaja melupakan — itu benar-benar masalah dalam hidup manusia.
Ada jenis peristiwa dan pengalaman yang secara goresan kenangan mustahil hilang dari memori saya. Tidak mungkin lupa dan tak ada cara untuk melupakannya. Sementara banyak sekali pengalaman-pengalaman saya yang saya lupa, terlupakan, bisa melupakan, atau tidak pernah bisa berhasil mengingat-ingatnya kembali.
Pada tahun 1973, ketika berusia 20 tahun, saya ditugasi memberi ceramah umum pada acara Dies Natalis HMI Pusat di sebuah Gedung di Semarang. Acara nasional Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia itu memproses pergantian Ketua HMI Pusat dari Chumaidy Syarif Romas ke Ridwan Saidi. Tahun 1973 adalah setahun sesudah saya tamat SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Tepatnya selepas saya drop out dari Fakultas Ekonomi UGM. Saya sungguh-sungguh lupa apa yang saya ceramahkan di depan elite kaum muda intelektual nasional itu. Benar-benar tidak ingat satu poin pun. Saya takjub bagaimana mungkin saya ada di tempat itu dan melakukan itu. Apa pula pertimbangan Panitia Dies HMI Pusat mengundang saya. Pasti berpikirnya serabutan, landasan keputusannya sama sekali tidak matang dan asal-asalan.
Yang saya sangat ingat adalah bahwa saya “nervous” pada menit-menit menjelang naik ke podium. Saya ke toilet, mencuci muka, berkaca dan sungguh-sungguh bingung hati saya. Tidak pernah saya mengalami kegugupan seperti itu selama perjalanan saya di Gontor dan Yogya. Sudah puluhan kali atau mungkin ratusan kali saya diminta ceramah di berbagai forum dengan tema yang berbeda-beda.
Awalnya di sebuah pengajian kampung Jogoyudan tepian Sungai Code di seberang Masjid Syuhada. Di Gontor juga sangat terbiasa “Muhadlarah” atau menghadirkan buah-buah pikiran di depan orang banyak. Tetapi mungkin karena di HMI itu saya tahu bahwa saya tidak memenuhi syarat profesional, tidak punya latar belakang studi ilmu apapun di universitas secara mencukupi, maka saya “gugup”.
Akhirnya dari Toilet Semarang itu sebelum naik podium saya pakai shortcut mantra dari Nabi Musa As, “Robbishrokhli shodri, wa yassirli amri, wahlul ‘uqdatan min lisani yafqohu qouli”. Sejak awal balita saya hapal itu atas jasa Ibu saya di Menturo. Bahkan ditambahi “Wa khatama Sulaimana ‘ala lisani wa nura Yusufa fi wajhi wa man ro`ani habbani”.
Kesimpulannya, dalam keadaan darurat, ada urutan pihak yang kita sambati: Allah, Kanjeng Nabi, dan Ibu. Setahu saya tidak ada sesuatu yang negatif atau yang memalukan yang saya ingat dari peristiwa Dies HMI di Semarang itu. Bararti saya “selamat”, meskipun lupa ngomong apa.
Ketika 9 tahun kemudian, pada 1982, saya difetakompli diumumkan di media-media bahwa saya akan tampil di kampanye PPP di Alun-alun Utara Yogya, Ibu juga yang menolong saya. Beliau tiba-tiba pagi itu naik kereta Purbaya dari Jombang ke Yogya untuk mengevakuasi padahal beliau tidak tahu apa yang saya alami. Bagaimana ini? Kok saya kampanye? PPP lagi. Berarti berada pada sisi yang menentang Golkar dan Pemerintah.
Kalau saya datang, lha wong saya bukan orang PPP dan bukan juru kampanye. Kalau saya tidak hadir, pasti ribut karena semua pihak sudah tahu dari koran dan media – bisa-bisa muncul bias dan fitnah yang lebih besar. Saya tidak punya pengalaman politik secuil pun. Saya bisa semacam mengajar di kelas di Gontor dulu atau pengajian-pengajian tingkat kampung, tapi ini kampanye dengan massa besar-besaran urusan Pemilu Nasional.
Menjelang jam-H ceramah, senior saya Bang Ashadi Siregar nongol di Patangpuluhan. Dia senyum-senyum dan mengejek serta “nyukurké” saya. “Nun, bukankah orang hidup memang harus berjuang?”, celetuknya dengan bentuk bibir yang sangat menyakitkan. Saya mengeluh kepada Ibu, menceritakan semua prosesnya sehingga terjerembab dalam situasi dilematis ini. Ibu saya selalu sangat teduh wajahnya, sangat lunak kata-katanya namun tegas luar biasa. “Pokoknya Nun, yang penting kita harus selalu siap berbuat baik, kapan saja, di manapun saja dan dengan siapapun saja”.
Selalu berbuat baik. Di mana saja. Kapan saja. Dengan siapapun saja.
Seperti iklan Coca-Cola, tapi lebih luas dan lengkap spektrumnya. Seperti sebentar lagi di Alun-alun. Benar-benar tajam, mutlak, dan teguh. Tidak ada lubang atau renggangan di padatan ungkapan Ibu itu. Juga amat sederhana. Maka ketika sebentar kemudian Pak Umar Kayam datang dengan Jeep-nya disetiri oleh Min yang asalnya dari Pracimantoro Wonogiri, saya pun berangkat ke Alun-alun Lor, diantarkan oleh Pak Kayam dan Bang Hadi.
Massa memenuhi Alun-alun Utara. Saya dipersilakan naik ke podium. Saya tidak gemetar atau merasakan gugup apapun kalau hanya soal menghadapi massa. Tetapi aslinya yang membuat saya tenang adalah sangu ilmu Ibu yang mrantasi keadaan. Setelah uluk salam dan mukadimah satu dua kalimat, saya menyatakan kagum kepada PPP. “Partai Anda ini memiliki keberanian, keterbukaan dan kedewasaan yang tidak dimiliki oleh parpol yang lain. Saya rakyat biasa, seorang independen, tidak berafiliasi atau berkecenderungan terhadap golongan atau partai apapun. Saya manusia merdeka, tidak patuh kepada atau menjadi bagian dari suatu kelompok apapun. Dan Anda mempersilahkan saya naik untuk berpidato di podium PPP. Coba apakah Golkar dan PDI memiliki keberanian dan kedewasaan seperti PPP? Hanya PPP yang menghargai nasionalisme keIndonesiaan yang murni dan sejati. Indonesia yang menyeluruh, utuh, dengan persatuan dan kesatuan yang tidak meninggalkan siapapun di luar dirinya. Sore ini saya nyatakan bahwa seharusnya dengan sikap politik seperti PPP inilah masa depan Indonesia dibangun...”.
Massa bersorak menggemuruh. Orasi apa sesudah itu, tinggal mudah, karena cinta mereka sudah saya serap. PPP busung dadanya karena saya puji. Massanya bangga dan bersyukur. Saya selamat, atas berkah ilmunya Ibu saya. Pak Kayam lega dan merasa aman. Bang Hadi tetap tersenyum dengan bentuk bibirnya yang khas dan “nganyelké”. Saya pergi dari Alun-alun, Pak Kayam mengajak cari gudeg untuk makan malam bersama.