CakNun.com

Menjelang Senja Mewedar Ketenangan Jiwa Berpuasa

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 2 menit

Puasa merupakan upaya melawan anasir api dalam diri manusia. Api itu tidak ada batasnya, tidak ada puasnya.

Puasa selalu membawa dimensi sangkan dan paran tertentu. Dari mana dan akan ke mana orang berpuasa, menurut Cak Nun, bertujuan untuk membuat seseorang lebih tenteram. “Jadi, puasa ini, sebagaimana shalat atau rukun Islam apa pun yang lain, itu harus kita set up supaya membuat lebih tenteram atau lebih mutmainah,” ujarnya dalam acara MenSen (Menjelang Senja) edisi kedua Rabu (22/04).

Dok. Progress.

Uraian Cak Nun ini merespons salah satu penggalan ayat “Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah” di dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr yang dilantunkan Mbak Nia menandai dimulainya Menjelang Senja. Mas Doni dan Mas Jijid selaku pembawa acara, kemudian turut tergelitik untuk menggali apa kandungan ayat yang berisikan seruan indah dari Allah SWT kepada manusia, yaitu manusia yang telah memiliki jiwa-jiwa yang tenang, tenteram, atau Mutmainah. Jadilah kemudian Cak Nun menguraikan hal ini dengan mengaitkannya pada bahwa jika diteliti puasa juga membawa pelakunya untuk memiliki ketenteraman dalam jiwanya.

Spektrum ketenteraman berpuasa itu sendiri dapat diperluas maknanya. Cak Nun berpendapat bahwa segala perhitungan hidup semestinya melihat apakah membawa kententeraman atau justru penderitaan. “Meskipun tenteram ini jangan dipahami dengan dangkal,” imbuhnya. Perlu pula mengikuti aturan atau tatanan yang telah tersedia. “Kita harus setia pada apa yang kita tidak bisa mengelak.”

Tak mungkin manusia hidup dalam peraturannya sendiri. Ia selalu bersinggungan dengan kepentingan orang lain. “Kalau mau dicari manusia itu sama sekali tidak berposisi untuk semau-maumu. Yang bisa berposisi semau-maumu hanyalah Allah. Innallaha ‘ala kulli syaiin qodir (Allah berkuasa atas segala sesuatu),” ucap Cak Nun.

Ramadan sesungguhnya merupakan momentum belajar agar jangan berperilaku serampangan. Hakikat menahan diri selama berpuasa hendaknya mengejawantah ke dalam laku tersebut. Jika tak disadari demikian, puasa tampak sebatas menahan perut keroncongan.

Menahan diri ini paling gampang seperti memilih dan memilah kudapan berbuka. Ketika bedug ditabuh kecenderungan “balas dendam” acap tak terelakan. Segala makanan ingin disantap. Itulah sebabnya, Cak Nun memandang di dalam manusia anasir api paling dominan. “Makanya manusia mempunyai hakikat yang bernama api. Dan api itu tidak ada batasnya. Tidak ada puasnya,” tuturnya.

Dok. Progress.

Puasa, lanjut Cak Nun, merupakan upaya melawan api dalam diri manusia. Bukan memadamkan. Melainkan paling tidak berusaha menahan diri agar tak terbakar. “Berikutnya kita pelan-pelan akan mempelajari hakikat puasa, entah idiomnya maupun metodologinya. Mengapa puasa berbeda dengan rukun Islam lain. Nanti kita akan sempai ke sana,” tandasnya.

Seperti pada edisi sebelumnya, lewat MenSen kali ini KiaiKanjeng menghadirkan beberapa nomor lagu karya KiaiKanjeng disertai sedikit napak tilas di balik terciptanya lagu-lagu tersebut, bahkan di awal Cak Nun bertanya kepada para vokalis sudah sejak kapan bersama KiaiKanjeng dan rupanya rata-rata sudah dua puluhan tahun lebih. Suatu bilangan kebersamaan yang cukup lama, yang menandakan keistiqamahan mereka dalam membersamai masyarakat untuk bershalawat kepada Kanjeng Nabi serta mengajak kita semua membangun laku hidup yang benar, baik, dan indah.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik