Menjadi Observer
“Kek, dulu sewaktu pandemi terjadi Kakek berperan jadi apa?”, ini adalah pertanyaan yang tidak sempat saya tanyakan kepada almarhum Kakek. Beliau berpulang pada saat Covid-19 baru-baru hadir di Wuhan, Januari 2020, di usia 103 tahun. Hari-hari itu bahkan saya belum tahu istilah pandemi.
Meskipun apabila pertanyaan itu Saya beneran tanyakan, Kakek saya belum tentu juga mempunyai jawabannya. Sebab kala Pandemi Flu Spanyol yang terjadi sekitar seabad yang lalu, beliau adalah pelaku sejarah yang masih berusia kanak-kanak. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga beliau mengetahui karena menyerap dari budaya tutur masyarakat pada dekade-dekade awal paska pandemi kala itu.
Seabad yang lalu ada sejarah begitu penting bernama pandemi. Dan hari ini tidak berbeda, kita berada di dalam momentum sejarah penting yang sama. Lantas, apa yang akan kita jawab apabila manusia-manusia masa depan bertanya tentang peran kita hari ini?
Dalam banyak kesempatan Mas Sabrang mengulas dua paradigma yang bisa kita pilih, yakni: paradigma korban dan paradigma agen. Paradigma korban adalah ketika kita memilih cara pandang berposisi pasif sebagai penerima dampak atau penderita. Sedangkan sebaliknya, paradigma agen adalah kita mimilih cara pandang lebih tegar, sebagai pelaku, pengerja. Walaupun karena situasi, kita hanya bisa mengerjakannya sebatas pada lingkar pengaruh yang sempit saja.
Dalam masa pandemi ini nasib kita semua sama, yakni sama-sama menjadi korban dari pandemi. Ini berbeda dengan kejadian bencana Gunung meletus di Sinabung atau gempa di Palu. Kita yang tidak ada di tempat tersebut bukan bagian dari korban. Tetapi karena ini pandemi, skalanya adalah global, maka umat manusia sedunia semuanya terdampak.
Lalu, bagaimana kita yang nasibnya sebagai korban tetapi bisa tetap menerapkan paradigma agen? Tak perlu menarget yang di luar batas kemampuan kita. Ingin menjadi relawan kesehatan misalnya, itu membutuhkan bekal ilmu dan keahlian khusus. Atau ingin mengerjakan aksi filantropi atau gerakan berbagi, itu juga tidak semudah pada keadaan biasa.
Hal sederhana yang memungkinkan untuk tetap dikerjakan adalah menjadi observer. Mempelajari keadaan sebaik yang kita bisa, melakukan kerja-kerja observasi mulai dari senantiasa membaca perubahan-perubahan keadaan yang terjadi. Tidak menutup diri dengan argumentasi dan alibi yang mengandung toxic positivity. Observer meneliti atau niteni, sekuat-kuatnya tidak larut oleh keadaan.
Setiap kita bisa menjadi observer. Pada kadar pembacaan dan proses niteni yang satu sama lain kita berbeda-beda. Memilih paradigma agen walau sebatas mampunya menjadi observer berguna untuk :
- Menguatkan kuda-kuda diri sendiri menghadapi setiap kemungkinan perubahan yang akan terjadi. Sehingga tidak mudah terkejut oleh perubahan di tengah ketidakpastian.
- Tidak terkamuflase oleh manipulasi informasi dan lemahnya akurasi data yang hari ini tersaji.
- Apabila terjadi keadaan emergency tidak gagap melainkan memahami apa yang sedang terjadi dan harus kemana mencari bantuan.
- Tidak larut dalam argumentasi-argumentasi picisan atas keadaan dan teori-teori konspirasi.
- Menghindarkan diri dari frustrasi yang disebabkan kita hadir pada sebuah peristiwa besar tetapi plonga-plongo tidak tahu apa-apa.
Sejatinya, hari-hari ini kita dihadapkan pada dua ancaman besar. Pertama adalah ancaman kesehatan, kedua adalah ancaman ketidakpastian. Protokol Kesehatan kita sudah hafal semuanya. Lalu, bagaimana dengan protokol menghadapi ketidakpastian? Saya urun satu: jadilah observer.
Pastikan diri sendiri mahir mengobservasi keadaan. Berusaha memahami perubahan situasi dengan resolusi pandang yang sedetail mungkin dengan cara:
- Menyerap informasi dari sumber yang valid.
- Mempertimbangan suggest dari para ahli dan orang-orang yang track record sepanjang pandemi sudah teruji konsistensinya.
- Menyingkirkan ekspektasi berlebih dari pola-pola kegagalan penanganan yang sudah terjadi.
- Bertukar pendapat dari sudut pandang yang beragam
- Menstrukturkan pengalaman mengobservasi menjadi pengetahuan yang berguna bagi orang lain.
Bila hal tersebut dikerjakan, maka ketika harus memberikan saran dan dorongan kepada kerabat dan rekan yang membutuhkan, tidak memberikan anjuran yang keliru.
Efek jangka panjangnya, kelak kepada anak-cucu, jika Allah memberi kita umur yang panjang dapat menyajikan hasil pengetahuan yang sudah distrukturkan terebut menjadi pelajaran sejarah bagi masa depan.
Setidak-tidaknya kelak ketika anak-cucu bertanya apa peran kita saat pandemi ada jawabannya. Menjadi observer.