CakNun.com

Mengimplementasikan Nilai Maiyah

Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya edisi Desember 2021
Amin Ungsaka
Waktu baca ± 9 menit
Dok. Bangbang Wetan

Karena dari awal teman-teman G-res sepakat niatnya terjun ke sekitar Semeru berniat untuk belajar, maka menurut Mas Iwa, Allah memberikan kesadaran kepada teman-teman G-res bahwa jalan yang mereka tempuh dimudahkan dan dilancarkan oleh Allah. Dari mendapat posko yang tempatnya strategis, sampai yang lucu menurut Mas Iwa adalah teman-teman G-res yang terjun ke lokasi rata-rata baru kali ini mempunyai pengalaman turun menanggulangi bencana. Tidak mempunyai latar belakang apa-apa dan tidak mempunyai skill yang sertified.

Tetapi yang unik menurut Mas Iwa karena berkah Maiyah dan Mbah Nun, posko G-res menjadi tempat favorit teman-teman FPI, Banser, Kokam, sampai koordinator pusat. Mereka semuanya menurut Mas Iwa, paling senang ngopi di posko G-res. Bahkan per tanggal 15 kemarin, menurut Mas Iwa, posko G-res tidak pernah berhenti mendapatkan saluran bantuan untuk didistribusikan ke masyarakat yang terdampak.

Mencoba Mengimplementasikan Nilai-nilai Maiyah yang Sudah Kita Dapatkan

“Padahal yang coba kita lakukan adalah bagaimana membumikan nilai-nilai Maiyah. Nilai-nilai Maiyah yang selalu kita dapatkan dalam riungan-riungan Maiyahan dimanapun.”, tegas Mas Iwa

Artinya manusia itu butuh eksistensi yang menjadi kebutuhan fitrah setiap manusia. Tapi jangan lupa, eksistensi ini jangan menjadi jebakan baru bagi kita. Sehingga kemudian lahir kesadaran, jika memang apa yang kita lakukan ini bernilai baik dan dimudahkan oleh Allah: pertama harus dipahami adalah jangan pernah kita merasa sudah melakukan kebaikan; kedua kalau kita sudah dititipi amanah, berarti harus dilaksanakan dengan semaksimal kemampuan.

Mas Iwa bercerita bahwa pada 2014 dirinya mengalami kejenuhan bermaiyah. Kejenuhan itu lahir karena Mas Iwa merasa malu kepada Allah dan Mbah Nun. Selama ini Mas Iwa mendapat ilmu banyak tetapi kemudian mendapat beban amanah untuk mempraktikkan ilmu tersebut. Sehingga waktu itu Mas Iwa merasa malas yutuban yang menayangkan Maiyahan apalagi datang langsung ke lokasi Maiyahan. Karena menurutnya buat apa menambah ilmu baru, sedangkan ilmu yang sudah didapatkan belum bisa diaplikasikan.

Meskipun menurut Mas Iwa, Maiyah itu punya aura tersendiri. Misalnya kita datang ke Maiyahan dengan kondisi hati gundah, cukup duduk, berdiskusi setiap bulannya, tapi ada efek psikologis dan spiritual yang membekas di hati kita. hal itu menurut Mas Iwa yang bernama berkah. Waktu itu, Mas Iwa sampai merasa kehilangan hal keberkahan seperti itu.

Pada akhirnya Mas Iwa mencoba menantang dirinya sendiri untuk mengaplikasikan apapun yang dirinya dapatkan dari wasilah Mbah Nun. Maka berkah Semeru, Mas Iwa bisa terus mengaplikasikan nilai-nilai Maiyah dan bertemu dengan teman-teman Maiyah di wilayah timur, setelah selama dua tahun memilih untuk puasa untuk tidak bepergian kemana-mana.

Pembahasan tentang pentingnya mengaplikasian nilai-nilai Maiyah membuat Makin dari Prambon, Sidoarjo, yang bercerita bahwa di desanya masih berlangsung pola barter barang. Makin sendiri merasa ‘goblok’ ketika pada konsep ekosistem pertanian, karena orang tuanya mempunyai usaha selep kangkung, hasil limbah selep kangkung itu dibeli oleh peternak untuk pakan hewan ternaknya, sedangkan Makin belum bisa mengambil hasil dari bekas selepan kangkung untuk pakan hewan ternak dan menjual bibit kangkong usaha masyarakat di desanya.

Bahwa benar menurut Makin dari apa yang pernah disampaikan Cak Dil bahwa konsep pemerintahan di desa masyarakat desa mengatur tentang pembagian tugas menanam varietas tanaman yang dibutuhkan masyarakat desa; konsep lumbung pangan yang seharusnya tetap harus belangsung di desa supaya menurut Makin tidak dimanfaatkan oleh tengkulak dengan mengambil keuntungan dari hasil panen masyarakat desa yang dibeli dengan harga murah; dan konsep menabung—yang orang dulu menabung dengan membuat celengan dari bambu yang biasanya dibuat cagak lampu.

Maka dari itu, Makin bertanya bagaimana cara mengaplikasikan nilai Maiyah yang sudah kita dapatkan dari Maiyahan selama ini, supaya bermanfaat bagi lingkungan sekitar?

Mas Iwa merespons pertanyaan Makin dengan bercerita bahwa dulu dirinya sering diminta membantu teman-teman mahasiswa di salah satu universitas besar di Bandung, untuk mengadakan ekskursi. Ekskursi itu semacam KKN dengan pendekatan antropologi menjadi etnografi. Mas Iwa menanamkan pemahaman ke teman-teman mahasiswa bahwa ketika kita datang ke desa sebagai anak kampus atau anak kota, jangan pernah merasa lebih dari mereka yang ada di desa. Tetapi yang pertama kali ditanamkan adalah kita niat belajar kepada masyarakat desa. “Kita sebagai mahasiswa atau orang kota jangan hanya jago berorasi dan bersilat lidah, tetapi ketika kita diajak kerja bakti dan menyangkul bareng di desa, kita tidak bisa apa-apa,” Mas Iwa menceritakan pengalamannya

Sehingga pada 2014, Mas Iwa membeli sawah di kampung. Dia terjun menggarap sawahnya sendiri. Pada waktu itu dirinya merasa cukup modal untuk terjun bertani di kampung dari pendidikan S2 di salah satu universitas di Bandung dan dari pengalaman kerja. Tetapi ketika terjun di kampung, Mas Iwa merasa dibangunkan kesadarannya yang lebih sejati.

Ketika kita terjun ke masyarakat, kita merasa lebih dari mereka, bahwa ternyata ketika Mas Iwa mencoba mengamalkan ilmu pertanian yang didapatkan dari Cak Dil ke masyarakat selama dua tahun tidak ada manfaatnya. Karena dia waktu itu merasa lebih dari masyarakat. Maka kemudian Mas Iwa mencoba membalik posisinya, dia menjadi orang yang merasa tidak tahu apa-apa untuk belajar kepada masyarakat. Kalau bahasa Maiyah, meng-nol-kan diri atau membunuh diri sendiri. Dari hal itu Mas Iwa mendapatkan pandangan lebih jernih untuk melihat dari apa yang bisa dilakukan. Dan disitulah nilai-nilai Maiyah bisa diamalkan.

“Asal niat kita baik. Karena kita akan diuji oleh niat kita. Intinya cukup berniat belajar kepada apapun dan siapapun, kemudian kita akan dikasih tahu kekurangan dan keharusan kita dalam melangkah dan bersikap. Dan hal itu lahir, mengalir, naluriah,” Mas Iwa menegaskan pengalamannya yang berharap bisa bermanfaat bagi kita.

Surabaya, 22 Desember 2021.

Lainnya

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

PENGGIAT Maiyah yang sekaligus ‘panitia’ acara maiyahan rutin Bangbang Wetan Surabaya, Dudung, mengawali forum malam itu dengan menyapa jama’ah sekaligus bersilaturahmi memanfaatkan momentum perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Arbangi Kadarusman
Arbangi K.