Mengembalikan Esensi Belajar untuk Anak-anak Kita
Ekosistem Belajar
Sambil menampilkan slide bagan model pembelajaran Sanggar Anak Alam (SALAM) pada layar Zoom, Pak Toto menjelaskan satu persatu model pendidikan miliknya. Kalau pelajaran di IKIP dulu, input dan output pendidikan itu, input-nya siswa, murid atau mahasiswa dan output-nya lulusan. Di SALAM oleh Pak Toto diubah, input-nya tidak hanya siswa, melainkan juga orang tua siswa, guru, penyelenggara sekolah, dan masyarakat yang terlibat. Output-nya menjadi komunitas belajar.
Environmental Input di SALAM menyangkut kebijakan negara (undang-undang pendidikan), aparatus administrasi negara, nilai-nilai yang berkembang, dan termasuk pandangan masyarakat tentang pendidikan seperti apa.
Dilengkapi dengan Instrumental Input meliputi metodologi, kurikulum & modul, SOP & kesepakatan, guru pengajar & pamong, dan sarana & prasarana. Pada Instrumental Input ini mestinya setiap lembaga sekolah harus bertanggung jawab. Karena seperti metodologi, kurikulum, SOP dan kesepakatan-kesepakatan mestinya menjadi ranah kelembagaan sekolah. Di SALAM Instrumental Input benar-benar dipegang. Menjadi agak lucu jika kurikulum sekolah dibuatkan. Karena ketika dulu sekolah guru juga diajari untuk membuat kurikulum.
“Ini soal otoritas lembaga sekolah. Sekarang praktik yang ada, sering kali bahwa Instrumental Input-nya diserahkan ke pihak lain. Kalau di SALAM, kurikulumnya bikin sendiri,” Tambah pak Toto.
Kerangka Belajar
Selanjutnya Pak Toto menjelaskan tentang kerangka belajar. Kerangka Belajar itu meliputi: Pertama, suasana harus menyenangkan (sekolah bukan penjara). Karena berdasar pengalaman kita dulu ketika sekolah banyak yang tidak menyenangkan. Dan banyak orang yang dulu tidak betah sekolah, ketika bikin sekolah mereproduksi apa yang dulu tidak dia sukai. Kedua, tidak melakukan penyeragaman (setiap orang memiliki kecenderungan). Ketiga, tidak menggunakan pendekatan hapalan (menemukan sendiri). Tidak hanya menggunakan pendekatan hapalan. Keempat, belajar berpikir terstruktur (menelusuri sebab-akibat). Kelima, merancang pengamatan atau riset (memperoleh data dan fakta). Keenam, menghadirkan peristiwa (lingkungan setempat).
Tugas sekolah menemani anak-anak supaya menemukan cara belajar mereka. Mungkin pilihan kita dalam mendidik, bahwa setiap anak bisa memulai dengan metode pengamatan atau metode lain. Yang paling penting anak harus menemukan apa yang ada di dalam dirinya. Sebenarnya Link and Match itu tidak apa-apa, semestinya Link and Match itu tidak hanya Link and Match kepada industri. Tetapi Link and Match kepada lingkungan setempat, kepada potensi dan memahami persoalan yang ada.
Sebenarnya tugas sekolah yang utama adalah membangun literasi. Literasi ini tidak hanya dipahami sebagai buku bacaan, sehingga program-program literasi hanya diterjemahkan menjadi pengadaan buku atau perpustakaan. Literasi itu ‘kan berangkat dari Literated, bagaimana warga atau siswa menjadi melek. Melek di sini artinya paham, tahu, dan mau.
Tahu itu karena punya kemampuan mengenali, mengurai, menilai, dan memutuskan. Aspek-aspek tersebut yang seringkali tidak ditemukan dalam lembaga pembelajaran kita. Sehingga yang ada hanya menciptakan para follower. Jadi yang ada hanya pengagum-pengagum bukan orang yang berani memutuskan. Apalagi di tingkat orang berani berinovasi.
Setelah siswa memiliki kemampuan memutuskan, diteruskan dengan mau melakukan, menerapkan, mengembangkan, dan membagi. Tentu saja pada ciri khas kita yang hidupnya komunal atau kolektif harus punya kemauan untuk membagi di antara kita.
Pada dasarnya di dalam proses belajar itu untuk mencapai kesadaran. Yang dimaksud kesadaran adalah untuk memahami realitas dan kehendak melakukan.
Daur Belajar
Merespons pertanyaan bagaimana cara memupuk mental riset, Pak Toto menjelaskan dengan metode Daur Belajar. Daur Belajar itu berangkat dari mengalami, makanya plihannya adalah riset atau mengamati apapun yang nyata di lingkungan sekitar. Setelah melalukan riset, setelah itu ada tahap setiap anak harus mempresentasikan apa yang mereka alami, Pak Toto menyebutnya rekonstruksi. Anak-anak merekonstruksikan apa yang mereka lakukan dan alami. Tentu saja karena mereka mengalami maka bisa mengekspresikan apa yang mereka alami.
Kenapa mengalami tidak menghapal saja? Karena ada adagium, ketika ada orang hanya mendengar lupa, ketika melihat ingat, ketika mengalami paham, apalagi menemukan sendiri akan menguasai apa yang ditemukan.
Setelah mempresentasikan apa yang dialami, mengolah atau mengkaji urai. Mengkaji seluruh ungkapan pengalaman, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain, kemudian mengaitkannya dengan pengalaman lain yang terkait dengan konteks yang diamati. Mengandung nilai, ajaran atau makna yang serupa.
Dipuncaki dengan kesimpulan. Yakni keharusan untuk mengembangkan atau merumuskan prinsip-prinsip berupa kesimpulan umum dari pengalaman tersebut. Menyatakan apa yang telah dialami dan dipelajari dengan cara seperti ini akan membantu untuk merumuskan, merinci dan memperjelas hal-hal yang telah dipelajari.
“Yang terpenting adalah mengembalikan esensi belajar untuk anak-anak kita. Syukur-syukur setiap keluarga bisa saling bekerja sama dan berkolerasi.”, pesan Pak Toto memungkasi majelis.
Surabaya, 29 Mei 2021