CakNun.com

Mengembalikan Esensi Belajar untuk Anak-anak Kita

Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya edisi Mei 2021
Amin Ungsaka
Waktu baca ± 10 menit

Membangun Sistem Belajar yang Mandiri

“Menurut saya yang menjadi soal karena rumah dan lingkungannya itu tidak pernah dianggap dan dicoba untuk membangun sistem belajar yang mandiri.” Tegas Pak Toto.

Pak Toto melanjutkan pembahasan tentang sekolah, bahwa sekolah hanya ada pada posisi agar orang itu bisa profesional dan agar orang mendapat pekerjaan. Tapi apakah orang tua atau nenek moyang kita bisa menjadi macam-macam itu karena sekolah? Nah, hal itu yang tidak ada dalam pikiran sekolah-sekolah selama ini.

Pak Toto merespons pertanyaan dari Yasin, apakah bisa kita di masa pandemi ini merubah grand design pendidikan, dari yang selama ini informasi pengetahuan hanya diserahkan pada institusi pendidikan supaya kembali merata tidak hanya di sekolah melainkan juga di pasar-pasar? Jawabannya bukan pada informasi yang tidak merata yang menjadi problem kita, sekarang ini justru kita mau cari informasi apa saja di youtube atau google ada.

Yang menjadi persoalan adalah selama ini kita atau masyarakat pada umumnya tidak dibiasakan untuk mandiri belajar. Misalnya dengan menyerahkan dirinya pada orang lain, menjadi follower. Umat Islam tergantung dengan ustadz-nya, kalau di sekolah tergantung dengan gurunya. Jadi memang orang dibuat hampir tidak merdeka, dan selama ini tidak ada orang yang merdeka.

Di era digital sekarang ini justru sudah tidak masuk akal ketika informasinya melimpah tetapi cara belajarnya tertutup. Cara belajar yang dikenal di sekolah itu mengandaikan bahwa ketiadaan informasi atau kesulitan informasi, maka orang sekolah di tempat tertutup. Nah sekarang ini momentum kita bisa belajar di mana saja, belajar untuk mencari pengetahuan.

“Sistem sekolahan yang ada sendiri juga mempersulit orang belajar. Padahal sekarang sumber-sumber informasi di mana-mana. Artinya kapan saja dan siapa saja bisa jadi sumber informasi. Yang menjadi persoalan kita adalah kita tidak mau dan tidak percaya bahwa kita bisa menjadi sumber informasi”, terang Pak Toto.

Misalnya pada pembelajaran yang inspiratif, selalu yang menjadi contoh ‘kan orang-orang yang dianggap berhasil tapi terkenal. Misalnya kita memperkenalkan pemain bulutangkis juara dunia, sebagai tokoh inspiratif. Padahal tidak semua orang bisa mencontoh sama seperti pemain bulutangkis yang juara itu. Sama halnya dengan pelajaran matematika, matematika itu didesain seolah-olah orang itu mau jadi ahli matematika semua, seluruh Indonesia. Sementara yang terjadi menjadi ahli matematika ya tidak, menggunakan matematika untuk kehidupan sehari-hari juga tidak.

Mestinya anak sejak dari pendidikan dasar sudah bisa diikuti kecenderungannya ke mana, keunikan dan bakatnya apa. Sehingga nanti ketika SMA sudah bisa ketahuan bahwa anak kuat di matematika, anak yang satunya kuat di ilmu pasti alam, anak yang lain kuat di ilmu sosial, dsb. Mestinya negara jika ingin menjadikan anak-anak dokter atau insinyur itu mengambil dari kecenderungan anak tersebut.

Menjawab Kehidupan Sehari-hari

Yang kita hadapi sekarang adalah masyarakat yang terlalu lama menyerahkan diri dan memilih bayar ke sekolah, untuk menyerahkan segala tanggung jawab pendidikan ke sekolah. Sementara sekolah tidak mengabdi kepada kehidupan sehari-hari. Sekolah dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi itu mengabdi untuk mencetak pada orang-orang yang ahli. Masalahnya sekarang ini ahli ya tidak, sementara menjawab kehidupan sehari-hari ya tidak.

Seperti Pak Toto yang beberapa waktu lalu sedang berdiskusi dengan beberapa teman beliau yang giat melakukan pengaruh di kementerian pusat. Pada waktu itu Pak Toto mengatakan bahwa tidak usah diskusi soal paradigma atau diskusi soal filsafat pendidikan. Misalnya kita memang setuju bahwa siswa kelak ketika lulus diserahkan ke industri. Yang perlu didiskusikan adalah, ada berapa industri di Indonesia? Industri macam apa saja? Dan apakah industri-industri itu akan menampung seluruh siswa yang lulus dari sekolahnya?

Artinya kalau memang benar industri akan menampung seluruh siswa, ya alhamdulillah. Tapi kenyataannya ‘kan tidak. Sementara semua sekolah dipaksa untuk menyiapkan siswa-siswa menjadi buruh industri. “Sebenarnya ‘kan pertarungannya di situ”, tegas Pak Toto.

Jadi kalau ada orang tua selama pandemi ini mengeluh mengurusi anak itu sebenarnya hanya akibat dari sistem belajar yang tidak mandiri sejak nenek moyang kita. jadi sebenarnya pendidikan nasibnya sama dengan agama. Misalnya kita selama tidak “bebas” meyakini apa yang kita temukan tentang Tuhan atau tentang apa saja. Kita selama ini tetap harus dibikin tergantung kepada orang lain. Jadi semakin tumbuh banyak ustadz, akan semakin turun kemandirian umatnya.

Hal yang Positif dari Sekolah

Hal yang positif dari sekolah itu menurut Pak Suko adalah hal “memaksakan”. Kata memaksakan jangan selalu dianggap menjadi sesuatu yang negatif. Konsepnya ada sesuatu yang dipaksakan dan ada juga yang tidak. Nah sekarang ini menurut Pak Suko, semua dipaksakan, bahkan misalnya pelajaran agama pun kadang dipaksakan. Harus kita cari apa yang layak dipaksakan. Kalaupun dipaksakan sesuai kesepakatan. Juga harus ada pilihan-pilihan rasional yang memberikan kesempatan, karena siswa juga membayar uang sekolah.

Misalnya pada zaman Pak Suko sekolah dulu setiap hari Sabtu terakhir diberikan “Keterampilan Bebas”. Jadi siswa yang suka kesenian disediakan musik dan karawitan. Jika suka perbengkelan sepeda dikasih pelajaran mengenal gir, dan bisa nembel ban, dan lain sebagainya.

Model pembelajaran seperti itu yang menurut Pak Suko harus diutamakan. Bukan hanya menjadi sesuatu yang sunah melainkan wajib.

Sama seperti yang disampaikan Pak Toto, menurut Pak Suko kegagalan sekolah itu ketika dia memisahkan dirinya dari kehidupan sekitar. Kalau sekolah menjadi bagian dari kehidupan, sekolah harus ramai, terbuka, menjadi kegembiraan, dan menjadi keindahan.

Pak Suko membenarkan apa yang disampaikan Pak Toto bahwa tidak ada kemerdekaan di sekolah. Padahal belajar itu menurut Pak Toto adalah kemerdekaan, bisa menangkap informasi dengan bergerak, berteriak dan bercanda.

“Kalau menurut saya ini soal pilihan. Makanya nek ditutuk-tutukne ya salah semua sekolah ini. Yang salah bukan lembaganya yang kita sebut sekolah. Tapi kita kembalikan lagi ke ruhnya. Ini awalnya kan untuk mengisi waktu senggang. Artinya dalam konteks ruang ada konsep Homo Ludens, dalam bermainnya manusia. Sebab sekolah itu bukan arena konkurs untuk melatih menuju juara, tapi sebenarnya dia harus bisa menjadi ruang bagi anak-anak menemukan jalan hidupnya”, tambah Pak Suko.

Lainnya

Reportase Bangbang Wetan Agustus 2014

PENGGIAT Maiyah yang sekaligus ‘panitia’ acara maiyahan rutin Bangbang Wetan Surabaya, Dudung, mengawali forum malam itu dengan menyapa jama’ah sekaligus bersilaturahmi memanfaatkan momentum perayaan Hari Raya Idul Fitri.

Arbangi Kadarusman
Arbangi K.

Topik