CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (20)

Mengagumi Kaum Bahariwan

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 8 menit

Sehabis dari Jimbaran kami menuju Tanjung Air Mata tempat kapal warna warni berlabuh (mirip dengan mobil warna warni di Medan-Berastagi) dan saya bertanya tentang kenapa ini dinamakan Tanjung Air Mata. Menurut riwayat tutur turun-temurun, warga Jembrana yang banyak keturunan Melayu kalau mau berangkat naik haji dulu naik kapal di pelabuhan ini. Antara yang mau berangkat haji dengan yang mengantarkan saling bertangisan karena akan berpisah berbulan-bulan. Maklum dulu belum musim naik haji pakai pesawat terbang, masih pakai kapal laut yang untuk pelayaran pergi pulang memerlukan waktu berbulan-bulan. Penamaan pelabuhan nelayan ini memiliki narasi historis seperti ini.

Dan di Jembrana, para peserta kongres cerpen naik andong mengunjungi juru dongeng atau sastra tutur Melayu yang usianya sudah sangat tua. Kampung dengan bangunan rumah panggung khas Melayu tidak cukup menampung tamu, cukuplah kami lesehan mendengar ceramah nenek sepuh dalam bahasa Melayu yang mirip dengan bahasanya Upin Ipin di televisi.

Tentu membicarakan soal lezatnya makan ikan tidak bisa dilepaskan dari Makassar, Juwana, Banjarmasin, Semarang, Banten, dan Jombang. Paling tidak saya pernah tiga kali ke Makassar. Mengikuti Pekan Seni Mahasiswa Muhammadiyah se-Indonesia, mengikuti Sidang Tanwir Muhammadiyah dan Muktamar Muhammadiyah ke-47. Ketiga acara ini seru semua dan saya di pantai Losari bisa sepuasnya menikmati ikan bakar yang menurut Cah Makassar kalau makan tangan jangan sampai menyentuh insang, agar tidak terasa amis.

Kemudian di kompleks Unmuh saya sampai mabuk ikan karena di mana-mana yang tercium hanya bau ikan, tidak ada bau daging ayam atau lainnya. Waktu Muktamar saya berkesempatan ketemu dan cocok jalan-jalan dengan tokoh tua kelahiran pulau Selayar. Saya diajak makan khas Makassar, konro. Tokoh tua yang punya batu akik amat mahal ini malah kemudian bercerita tentang semangat bahari orang kampung dia. Banyak lelaki sehat di waktu muda, termasuk dia berani dan bisa berenang menyeberangi selat Selayar. Kalau sekarang sudah ada jadwal penerbangan dengan pesawat kecil ke sana. Apa istimewanya pulau ini?

“Kami punya ratusan jenis mangga yang lezat. Sayangnya belum dibudidayakan dan diperdagangkan ke seluruh Indonesia. Kalau sudah jelas bisa mengalahkan buah buahan impor,” kata pak tua yang pernah satu almamater dengan saya di Yogyakarta. Dalam acara penggembira Muktamar, kami mengunjungi stand yang banyak dan kembali mengobrolkan tentang lezatnya makan ikan di Indonesia. Dia beruntung karena di masa tuanya tinggal di tanah Sunda, Bandung, yang terkenal dengan kuliner ikan masnya.

Di Juwana kami wartawan bertiga; saya, Pak Munif, dan Heri Priyono melakukan tugas investigasi kerajinan kuningan, termasuk keluarga besan kiai sufi dari Pati, Kiai Muhammad Zuhri kembaran dari Kiai Ahmad Zuhri. Kemampuan rekayasa teknologi wong Juwana lebih siip dibandingkan dengan insinyur Jerman. Sebab suatu hari insinyur Jerman yang menciptakan sebuah alat bubut logam datang ke Juwana. Dia terkejut dan kagum dengan kemampuan rekayasa teknologi wong Juwana. Sebab mesin bubut yang aslinya dari Jerman hanya punya empat fungsi, oleh Wong Juwana dikembangkan menjadi lebih banyak fungsi-fungsi. Refungsionalisasi mesin bubut bermata banyak ini bisa menghasilkan efek ukiran logam yang unik dan indah.

Tentu bukan hanya kemampuan rekayasa teknologi logam yang dimiliki wong Juwana. Waktu di sana, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bisa menikmati lezatnya produk rekayasa teknologi pengolahan pangan berbahan ikan yang di kemudian hari disebut teknologi otak-otak ikan. Daging ikan dikeluarkan, kulit utuh lalu daging tanpa duri dilembutkan diberi bumbu, dimasukkan ke dalam kulit ikan dan dikukus sampai matang. Kami makan di Juwana dengan lauk otak-otak ikan yang lezat.

Di kemudian hari ketika saya bersama teman-teman silaturahmi ke Menturo Sumobito, ke tempat keluarga besar Cak Nun di rumah lama dekat langgar lama, Bu< Halimah menyuguhi kami makan malam dengan lauk otak-otak ikan buatan Tuban, kalau tidak salah. Lezatnya poll sehingga banyak yang nambah nasi.

Di kemudian hari pula, ketika menjelang pulang ke Yogyakarta dalam sebuah acara di Makassar, saya mengawal Pak Jabrohim berburu otak-otak ikan di toko oleh-oleh, sekalian membeli ikan sepat kering yang juga lezat dan kemriuk ketika digoreng.

Masakan ikan yang dibuat sup saya nikmati di Banjarmasin, sup ikan patin yang amat lezat, empuk dan wangi. Waktu itu ada pertemuan Nasional para cerpenis Indonesia di sana, dan saudara sepupu istri menjadi guru dan suaminya kepala sekolah. Saya oleh saudara sepupu istri diajak menjelajah Kalimantan Selatan termasuk jajan soto Banjar di bawah sebuah jembatan di Banjarmasin dan makan siang dengan lauk sup ikan patin di Martapura.

Makan sup ikan juga saya lakukan di Cilegon. Waktu itu ada acara Muhammadiyah di PWM Banten, dua hari menjelang Ramadhan. Saya diajak menikmati sup ikan khas Banten oleh Agus Fahri Husein yang sastrawan Yogyakarta seangkatan dengan Buldanul Khuri dan istri saya di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, yang Agus Fahri ini kemudian menikah dengan orang Banten, banting stir jadi pemborong. Ternyata sup n khas Banten ini pedas bukan main. Pedasnya level lima atau enam dan ini justru merangsang untuk nambah nasi dan kerupuk.

Kalau pas di Semarang saya tidak menikmati otak-otak ikan, sup ikan atau ikan bakar, tetapi saya justru dimanjakan oleh Mas Darmanto Yatman untuk menikmati makanan seafood sepuasnya. Sebagaimana di Semarang, ketika berkunjung ke rumah besan di Rembang saya sekeluarga Yogya dimanjakan untuk menikmati aneka seafood, termasuk kepiting saus asam manis, masakan ikan cumi yang lezat dan ikan pari yang secara alami agak pedas.

Berbeda lagi ketika dalam kegiatan kampanye literasi bersama Majelis Pustaka dan Informasi PP< Muhammadiyah kami mengunjungi Lamongan, persisnya di Paciran. Anak muda sana setiap sore menggelar perpustakaan keliling, lesehan di tepi pantai. Penggeraknya ternyata keluarga pengusaha ikan panggang dan sambal terasi dalam botol. Di rumah pengusaha ikan panggang kami makan malam dengan bumbu sambal yang pedas.

Sepertinya petualangan makan ikan ini kurang lengkap kalau tidak diceritakan bagaimana suatu hari saya mengantar tamu dari Ranting Muhammadiyah Muntilan yang syukuran karena Muntilan mengkhatamkan kitab Tuntutan Tarjih lengkap. Rombongan dari Muntilan mengajak saya makan siang ikan di pantai Depok pesisir selatan Bantul. Warung kuliner ikan di pantai ini laris sehingga kadang atau sering ‘mengimpor: ikan dari pantai Utara Jawa atau dari arah barat Yogya. Kami ngobrol menghabiskan makan siang ikan dengan lauk nasi. Tentu minumnya wedang jeruk panas atau hangat.

Mengapa saya menceritakan begitu banyak pengalaman ber-ikan ria di berbagai tempat Indonesia? Ini merupakan bentuk rasa syukur saya yang ketika makan ikan langsung teringat sejarah Nabi Yunus yang pernah dimakan ikan yang ajaib bisa bertahan hidup. Kisah Nabi Yunus ini tertulis dalam surat dari Tuhan, yaitu di Surat Yunus.

Yogyakarta, 21-22 Juli 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik