CakNun.com
Kebon (107 dari 241)

Mengadili dan Membijaksanai

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Karawitan DInasti.
Festival Arsip “Ephemera” dan Pekan Seni Dipowinatan, 16 – 22 Desember 2020.
Foto: Adin (Dok. Progress).

Kecuali Allah sendiri yang menuturkan penggambaran atas dirinya. Allah mengajari manusia untuk mengenali kehadiran-Nya, perilaku-Nya, sifat-Nya, tetapi bukan Diri Sejati-Nya. Bukan dzat-Nya. Bukan “siapa”-Nya, melainkan hanya indikator dari sifat siapanya itu. Yang kemudian dirumuskan oleh para Ulama menjadi Al-Asmaul Husna”. Ada yang pakai terminologi 20, ada yang 99, ada yang 240. Yang utama adalah manusia menyadari bahwa angka-angka itu juga hanyalah rumusan dalam keterbatasan akal manusia. Yang lebih benar mestinya adalah Allah Yang Sifat-Nya pun maha tak terhingga. Tak terhitung. Filosofi kebudayaan Jawa menyebutnya “tan kinoyo ngopo, tan keno kiniro”. Dan di muka bimi ini hanya Jawa yang tingkap pencarian dan eksplorasinya sampai pada level itu.

Ketika manusia menterjemahkan:

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa”. Kata Esa itu tidak tepat-tepat amat. Karena setelah Esa ada Dwi, kemudian Tri, Catur dst. Setelah Isang, dalam bahasa Tagalog atau Visayan, ada Dalawa, Tatlu, Apat. Sedangkan Allah tidak ada Dwinya, tidak ada Dalawangnya. Apalagi Tatlu dan Apatnya. Maka sila Ketuhan Yang Maha Esa juga sangat tidak teguh maknanya. Kalau dibilang Tuhan Yang Maha Satu-satunya, tidak enak juga nuansa narasinya. Mungkin pakai kata Tunggal lebih mendekati.

وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ

Dan tidak ada apapun atau siapapunpun yang setara dengan Dia.”

Akan tetapi bagi Indonesia, tidak penting apakah Ahad diterjemahkan menjadi Esa atau Satu atau Satu-satunya atau Tunggal atau apapun. Sebab bangsa Indonesia sampai hari ini tidak minat untuk mewaspadai pemahamannya. Juga tidak cukup sungguh-sungguh mempedomani Pancasilanya.

Mungkin itu salah sisi fakta zaman yang dikandung oleh pernyataan Seteng “jaman koyo ngene”.

Sapaan kalimat Seteng itu mengandung implisitas beberapa pernyataan. Misalnya, bahwa Dinasti dan kami semua seperti kelompok atau komunitas atau kumpulan orang yang hidup di luar zamannya. Kalau secara waktu, kami hidup di masa silam. Zaman sudah berubah hingga ke tahap digital milenial, kami masih jadul dan mempersembahkan karya kesenian jadul juga. Tidak ada kalangan apapun di “jaman koyo ngene” yang tertarik pada apa yang kami gelar. Siapa peduli gamelan Jawa, apa gunanya di “jaman koyo ngene” iki. Apalagi di masa Covid-19, yang malam itu para Dalang Yogya Solo berkumpul di Kadipiro mengungkapkan keluhannya tentang nasib seni wayang mereka. Yang pusat-pusat industri dunia dan musik internasional pun macet jalannya. Pentas, show, pertandingan olahraga dan semua buntu jalannya. Apalagi gamelan lokal. Apalagi gamelan digunakan secara tidak tradisional, tetapi malah dipakai mengiringi pembacaan puisi berbahasa Indonesia.

Tetapi kalau dilihat arus bawahnya: nilai-nilai kandungan yang dipentaskan oleh Dinasti malam itu ternyata tidak terikat oleh perubahan zaman. Dinasti justru merekam dimensi yang lestari dan abadi yang tidak terbatasi relevansinya. Apa yang dirumuskan di era 1970-an sesungguhnya tetap berlaku sekarang di tahun 2020-21-an. Dari dimensi ini, Dinasti tidak jadul, tidak ketinggalan zaman, melainkan bahkan mendahului zamannya. Apa yang menggelisahkan masyarakat dan bangsa Indonesia di abad milenial ini sudah dirumuskan dan dipentaskan oleh Dinasti 50 tahun sebelumnya.

Apalagi kalau dipandang dari urusan teknokrasi kebudayaan dan peradaban. Musik Dinasti dari Dipowinatan ini lahir dari kesadaran evolusi. Dari keniscayaan perubahan yang mengharuskan umat manusia dan masyarakat untuk menata strategi evolusinya.

Musik Dinasti lahir dari keperluan sejarah di mana Jawa dengan miliknya yang otentik, misalnya gamelan dan keseluruhan keseniannya, bisa bergaul dengan dunia. Bisa menyapa dunia. Bahkan sesungguhnya kelengkapan nilai Jawa memiliki potensi untuk “hamengku” atau “mawengku”, merangkul dan memeluk peradaban dunia. Maka Dinasti melakukan “carangan” ekspresi, ijtihad budaya, pencarian fenomena baru untuk bisa didengarkan oleh dunia. Jawa terlibat dunia tanpa kehilangan Jawanya. Jawa mengintegrasi diri kepada peradaban dunia dengan membawa diri sejatinya, meskipun diperlukan modifikasi atau racikan-racikan strategis agar dunia bisa ditolong olehnya.

Ijtihad Dipowinatan hingga Dinasti merupakan awal rintisan, dengan simbolisme aktivitas seni musik dan sastra, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa Indonesia dan berkembang ke masa depan tetap sebagai dan menjadi bangsa Indonesia.

Nomor-nomor puisi-musik atau lagu-lagu yang lahir dari mereka pasti tidak akan bisa masuk ke tangga-tangga lagu pop Indonesia. Karena yang dimaksud dengan lagu Indonesia adalah lagu Barat dengan disiplin solmisasi yang berbahasa Indonesia. Termasuk juga musik Dinasti, bahkan kelak KiaiKanjeng, juga tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori misalnya “konser musik klasik” dengan ragam alat orchestra sedemikian rupa. Karena yang disebut “klasik” adalah musik Eropa zaman dulu: Beethoven, Bach, dan Mozart.

Tidak ada peradaban bangsa manapun di dunia sepanjang sejarah yang memiliki kelengkapan konsep musik yang terintegrasi dengan seluruh nilai kamanusiaan dan kebudayaannya sebagaimana bangsa Jawa memiliki keutuhan konsep Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Tetapi gara-gara Indonesia salah lahir, atau lahir salah kedaden, lahir salah install dan setup, salah mindset dan values, maka bangsa Jawa dan Indonesia keseluruhannya merendahkan pencapaian bangsanya sendiri.

Tidak ada bangsa yang merendahkan pencapaian sejarahnya sendiri melebihi bangsa Indonesia. Tidak ada bangsa yang merendahkan dan meremehkan karya-karyanya sendiri melebihi bangsa Indoesia. Bahkan anak-anaknya sendiri sekarang mengenal pun tidak.

وَلَا تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Menampakkan segala apa yang kamu kerjakan.”

Dan itu berlanjut sampai hari ini. Meskipun anak-anak kita selalu juara dunia di kesempatan Olympiade Ilmu Pengetahuan, tetapi kalau ada rakyat yang memegang invensi, inovasi, penemuan baru, selalu menjadi malah celaka nasibnya. Sebab pemegang otoritas negara kita sama sekali tidak pernah belajar tentang bangsanya sendiri. Tidak punya etos ijtihad. Tidak punya apresiasi terhadap kreativitas rakyatnya sendiri. Pemerintah kita selalu terdiri atas orang-orang atau pejabat-pejabat yang konsentrasinya hanya mencari laba saja untuk dirinya sendiri. Hanya berpikir bagaimana berkuasa selama mungkin, sampai anak cucunya.

Lainnya

Alamat Hidup Kita Bukan di “Kesementaraan”

Alamat Hidup Kita Bukan di “Kesementaraan”

Inovasi atau tajdid, yang merupakan ujung setiap tahap perjuangan ijtihad, sebenarnya bukanlah benar-benar menemukan kebaruan atau menemukan adanya sesuatu yang semula tidak ada.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version