Menemukan Motif dalam Radar Sensitivitas Diri
Pada Selasa malam (16/11), ada yang spesial dari acara rutinan mingguan wirid dan sholawat Selasan Maneges Qudroh. Kalau biasanya pada waktu Selasa malam, dulur-dulur berkumpul dan melingkar untuk sebatas membaca bersama wirid Munajat Maiyah, namun pada malam hari ini dulur-dulur juga diberikan bonus kesempatan untuk Sinau Bareng bersama Mas Sabrang dan Gus Hafi Firdausy dari Watucongol, Muntilan.
Sinau Bareng atau rutinan bulanan di Maneges Qudroh sendiri sebelumnya sudah jeda selama tiga bulan, maka dari itu para penggiat berinisiatif menghadirkan Mas Sabrang dengan maksud mengembalikan ghirrah rutinan bulanan seperti sedia kala. Alhamdulillah, pada akhirnya semua diperjalankan untuk dapat menapaki langkah edisi ke-126.
Mengingat hujan yang sedang ingin bermesraan hampir sepanjang waktu di wilayah Magelang, maka acara diadakan di Panti Daarus Sundus. Jadwal yang biasanya jatuh pada malam minggu pertama setiap bulan, namun khusus bulan ini sedikit disesuaikan karena pada Selasa malam ini juga bertepatan dengan momentum dulur-dulur Maiyah Magelang telah melakukan kegiatan wirid dan sholawat di tiap minggunya selama 2 tahun.
Pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh adik-adik Panti Daarus Sundus menjadi penanda bahwa rangkaian acara pada malam hari ini telah dimulai. Karena tempat utama yang terbatas di aula utama, pihak tuan rumah juga menyediakan masjid yang telah terpasangi layar proyektor, yang berada di belakang aula sebagai tempat tambahan supaya dapat bersama-sama menikmati sekaligus mensyukuri anugerah pada malam ini, terutama bagi yang telah meluangkan upaya dan waktunya untuk datang langsung ke Panti Daarus Sundus.
Selanjutnya, pembacaan wirid dan shalawat Munajat Maiyah dilafadzkan bersama sebagaimana suasana Selasan seperti biasa, yang diroisi oleh Mas Virdhian dan Mas Munir. Dengan komposisi audiens yang tidak sama, tentu saja menghasilkan suasana kebaruan pada kesempatan kali ini. Yang mampu memberi lebih banyak manifestasi warna dan keindahan atas kerinduan kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw, dan tentu saja yang diharapkan mampu untuk menuntaskan dahaga spiritual dulur-dulur pada malam itu.
Kepekaan juga Sebaiknya Menyesuaikan Tempat dan Porsi yang Tepat
Satu dua senandung lagu dari Mas Yanuar Sastra atau yang lebih dikenal dengan panggilan Cuwil mulai mencairkan ketegangan suasana setelah pembacaan wirid. Dengan melodi harmonikanya dan gesture keceriaan Mas Cuwil yang humoris, mulai mampu menghadirkan tawa sehabis rindu dan haru yang banyak tercurahkan selama wirid sholawat.
Pak Adi sebagai moderator acara kemudian mulai menyapa para dulur-dulur yang hadir. Pun kepada narasumber utama Mas Sabrang, Gus Hafi, dan juga Pak Labib yang ikut membersamai di depan. Kesempatan pertama dihaturkan oleh Pak Adi kepada Pak Labib sebagai ketua Yasaum (Yayasan Satu Ummat) yang manauingi Panti Daarus Sundus ini dan beberapa panti atau pondok yang lain.
Pak Labib menceritakan tentang awal mula perkenalannya dengan Cak Nun yang terjadi sekitar medio ‘80-an. Jadi, ketika Pak Eko yang menjadi penanggung jawab di Daarus Sundus bercerita tentang keterlibatannya dengan acara-acara Maiyah dan Cak Nun, Pak Labib langsung meyakini dengan berkata, “wah, iki ngajine wes sip.” Dan Pak Labib selalu mempersilakan tempat bagi Maneges Qudroh untuk mengadakan acara sinau bareng di tempat ini. Selama 10 tahun perjalanan MQ sendiri, begitu banyak support yang telah diberikan oleh Pak Labib dan Yasaum, sebab sudah tidak terhitung lagi seberapa sering MQ mengadakan acara, tidak hanya di Daarus Sundus, tapi juga di beberapa tempat Yasaum yang lain.
“Seperti biasa saya bingung mau ngomong apa?,” kalimat pertama yang dikatakan oleh Mas Sabrang ketika diminta oleh Pak Adi untuk merespons tema “Insen(si)tif”. Kemudian Mas Taufan diminta oleh Pak Adi untuk sedikit menjelaskan inti dari mukadimah rutinan edisi ke-126, terkait insentif dan insentitif (rasa tidak peka). Orang akan mendapat insentif ketika hasil pekerjaannya memuaskan. Atau insentif biasanya digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan hasil kerja. Apabila hal tersebut umum dalam dunia perkerjaan, lalu bagaimana dengan kehidupan? Ketika tak terhitung lagi insentif yang Tuhan berikan kepada manusia, sudah wajarkah kita menjadi hamba dengan pekerjaan utama kita sebagai manusia?
Mas Sabrang kemudian merespons bahwa semua realitas manusia itu adalah rasa sakit. Mas Sabrang mengajak dulur-dulur yang hadir untuk sedikt meng-explore rasa sakit dan menanyakan lebih sakit mana antara dicukil matanya atau diludahi? Sebab semakin orang sensitif, maka dunia yang dialami juga akan semakin berbeda. Orang yang mendalami perihal spiritual, maka tingkat kesensitifannya berbeda.
Mas Sabrang juga mengingatkan bahwa sensitif juga harus diletakkan sesuai tempatnya karena kalau tidak sesuai maka akan mengakibatkan potensi hal-hal negatif lainnya. Selain tempat, juga harus tepat porsinya. “Tidak ada benda di dunia ini yang beracun. Sesuatu menjadi beracun karena ketidaksesuaian porsi,” kata Mas Sabrang.
Semua itu mesti ditata dan dijaga agar tidak terhanyut. Kita mesti memahami pula bahwa setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga menjadikan rasa sensitif atau kepekaan terhadap sesuatunya tidak bisa disamakan. Jika sudah seperti itu, maka memungkinkan kita untuk tidak mudah berasumsi tentang ketidakpekaan.