Meneladani Sang Patriot Nomo Koeswoyo
Koes Bersaudara pernah menjalankan misi intelijen di bawah kepemimpinan bung besar. Berpura-pura dipenjara untuk mengundang simpati negeri jiran.
Lagu Godril didendangkan Nomo Koeswoyo dengan suara seraknya yang begitu berkarakter. Pada usianya menjelang 82 tahun, Nomo Koeswoyo (lahir 21 Januari 1939), masih rancak mengikuti iringan gamelan KiaiKanjeng. Putra kelima pasangan Raden Koeswoyo dan Rr. Atmini ini bukan hanya hadir secara fisik di Mocopat Syafaat (12/01) bertarikh awal tahun di Pendopo Maiyah, Kadipiro.
Pemilik nama asli Koesnomo ini juga ikut menghadirkan nuansa lagu Koes Bersaudara yang makin klasik bagi telinga generasi kiwari. Bedanya ia tak lagi memegang drum seperti sebelumnya. Nomo Koeswoyo, Selasa malam tadi, menjadi vokalis sekaligus narasumber untuk jamaah Maiyah yang hadir terbatas.
Memungkasi lagu yang pertama kali dirilis tahun 1974 itu Nomo Koeswoyo berimprovisasi. “Eeee godril, Gusti Allah Maha Adil,” ucapnya. Selesai bernyanyi ia berkata apa makna godril itu. Sembari bersiap mengapit sebatang rokok eyang Nomo menjelaskan kalau kata tersebut berarti hidup haruslah mengalir dengan sempurna. “Sekarang hidup ini tidak ada ritmenya sama sekali. Bahkan di seluruh dunia,” lanjutnya.
Jamak orang lupa, bahkan tak tahu-menahu, bahwa Koes Bersaudara atau Koes Plus adalah kelompok pemusik yang rajin menulis lirik dalam bahasa Jawa. Beberapa lagu di dalam album Pop Jawa Vol, 1, semisalnya, sepenuhnya berbahasa Jawa: Tul Jaenak, Sayur Asem, Aja Gelo, Ela Elo, dan lain sebagainya. Langgam liriknya sangat khas parikan (unèn-unèn). Contohnya lagu Ela Elo. Salah satu penggalannya: “Ela-elo, sawo dipangan ulêr // Ela-elo, wong bodho ngaku pintêr.”
Kedatangan Nomo Koeswoyo ke rumah Maiyah adalah momen berharga untuk meneladani sesepuh yang telah banyak mencecap asam garam kehidupan. Cak Nun sendiri mengatakan kalau generasi sekarang barangkali tak banyak mengetahui persambungan sejarah Koes Bersaudara di masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno.
“Kita harus punya kreativitas dan kemampuan untuk merumuskan pertanyaan. Saya mohon teman-teman menggali pertanyaan buat Mas Nomo,” tuturnya.
Pada 29 Juni sampai 29 September tahun 1965, sambung Cak Nun, tiga bersaudara Tonny, Nomo, Yon, dan Yok dibui di sel penjara Glodok. Belakangan khalayak mengira alasan di balik mereka dipenjarakan lantaran genre musik “Ngak Ngik Ngok” ala Barat yang dibawakan Koes Bersaudara. Namun, ternyata tak sesederhana itu.
Ditanya Cak Nun kejadian nyata di belakang peristiwa itu Nomo Koeswoyo berkata, “Jadi kita dipenjarakan untuk mengelabui Malaysia.” Ia bercerita duduk perkara sebenarnya. Pengakuannya jauh dari anggapan umum yang melulu menabarakkan antara urusan selera musik pemimpin besar revolusi dan genre pop khas Barat.
Koes Bersaudara diminta penguasa waktu itu untuk menjalankan sebuah misi. Ketika mereka berada di dalam jeruji besi, Malaysia akan terketuk hatinya. Negeri jiran itu lalu diprediksi hendak memberikan Koes Bersaudara suaka. Bila strategi ini berhasil, mereka bisa masuk ke Malaysia. Di sana mereka dapat menyerap sekaligus menghimpun sejumlah data penting.
Skenario itu tak terlepas dari perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Indonesia dan Malaysia waktu itu sedang memanas. Malaysia dituding Soekarno sebagai antek-antek Barat. Dengan jargon agitatif Bung Besar biasa memekikkan “ganyang Malaysia” di atas podium. Sontak hubungan dua negara yang bertetangga dekat itu semakin merenggang.
Masuknya Koes Bersaudara di dunia intelijen bukanlah hal baru. Soekarno memang berada di tengah ketegangan politik internasional. Ia membangun kekuatan militer di dalam negeri, yang telah mempersiapkan “angkatan ketiga” demi terpenuhinya komponen perang. Skenario pemenjaraan Koes Bersaudara itu muncul tak lama setelah Presiden John. F. Kennedy ditembak mati. Kematian itu mengubah total kondisi bilateral Indonesia dan Amerika, yang sebelumnya Kennedy bersedia membantu Soekarno untuk mempertahankan Irian Barat.
Tak lama kemudian skenario mengalami rintangan. Soekarno berhasil dilengserkan. Peta politik lekas berbalik arah.
Cak Nun mengujarkan cerita itu untuk mengenang kalau Koes Bersaudara merupakan patiot sejati. Mereka bersedia mengemban tugas yang cukup berat. Menyukseskan strategi diplomasi. “Setelah peristiwa itu, mengapa Mas Nomo tidak melanjutkan Koes Ploes? Karena dia tetap bertugas sebagai intel,” jelasnya.
Dari Lagu ke Langgam Musik
Di mata industri musik Koes Bersaudara atau Koes Plus cenderung dikategorikan bergenre pop. Kemunculannya pada awal 60-an, menurut Pak Tanto Mendut, berada di episentrum “dewa” The Beatles. Ada satu peristiwa menarik masa itu. Bukan bayang-bayang The Beatlers, melainkan lagu Mick Jagger, vokalis utama The Rolling Stones.
Mick Jagger pernah ke Bali pada 12 Mei 1971. Ia bervakansi ke pulau dewata itu dalam rangka berbulan madu bersama Bianca Pèrez-Mora Macias. Koes Plus sudah berada di papan atas blantika musik Indonesia. Lagu karangan Yon Koeswoyo berjudul Hidup Yang Sepi viral dan diputar di tempat umum. Termasuk di hotel maupun kafe di Bali.
Beberapa tahun berikutnya, usai sejoli itu pulang ke Inggris, Mick Jagger merilis lagu bertajuk Party Doll. Usut punya usut langgam lagu itu persis sama dengan Hidup Yang Sepi. Pada intro begitu jelas titik kesamaannya. Padahal, Hidup Yang Sepi dirilis tahun 1970 yang masuk album Volume 2 \ oleh label Mesra. Sementara itu, Party Doll, baru diluncurkan tahun 1987 di album Primitive Cool.
Kasus serupa juga ditemukan pada petikan gitar Stairway to Heaven yang dimainkan Led Zeppelin. Permainan jemarinya mirip dengan intro gitar Kasih Sayang karangan Tonny Koeswoyo. Lagu dari album Led Zeppelin IV itu padahal baru dirilis 8 November 1971, sedangkan Kasih Sayang pada 1 Januari 1971 di Album Volume 3.
Dari cerita ke informasi seputar peristiwa plagiarisme atau inspirasi semacam itu diwedarkan mendalam oleh Cak Nun dan Pak Tanto. Eyang Nomo terlihat menyimak dan sesekali tersenyum. “Malam ini kita napak tilas Koes Bersaudara. Koes Plus itu kan oleh pemusik-pemusik hebat diremehkan. Tapi oleh khalayak luas disukai karena selain polos, mudah diingat, dan menjadi titik awal musik pop di Indonesia,” kata Cak Nun.