CakNun.com

Mencermati Jejak Puasa di dalam Diri

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 5 menit
Image by JuiMagicman from Pixabay

Alhamdulillah, melewati puluhan tahun dan puluhan bulan Ramadhan hidup kita menjadi sangat kaya dengan jejak puasa atau pengalaman beragama selama bulan puasa Ramadhan. Pengalaman beragama ini sangat beragam, unik, menarik, menggembirakan dan membahagiakan hidup kita sehingga kita selalu merindukan datangnya bulan Ramadhan.

Pada waktu kecil, selama Ramadhan, yang waktu masih berlaku libur 40 hari sekolah, tiada hari tanpa kegembiraan. Beragama adalah bergembira.

Betapa tidak, sehabis jamaah Subuh dengan teklek atau sandal kayu yang bagian bawah dipasang ‘batu’ untuk korek api sehingga kalau berjalan di atas aspal teklek berpijar, kami anak pengajian jalan keliling kota. Atau pada hari Jum’at, pagi, sehabis jamaah Subuh ramai-ramai berjalan menyusuri lorong kampung menuju lapangan Njambon timur kota yang sekarang berubah perumahan Wirokerten indah.

Perjalanan sambil bercanda ini tidak selalu mulus. Pernah ada kuda tua yang akan disembelih di Segoroyoso lepas lari ngamuk masuk gang kampung. Kami berteriak histeris menyelamatkan diri sambil melepaskan teklek. Gaduh. Setelah kuda bisa ditangkap, kami ketawa-ketawa karena ada teman yang tekleknya bejat karetnya dipakai untuk lari. Bola karet atau bal genjur lepas dan tadi ikut ketendang-tendang kuda ngamuk. “Ada sepak bola kuda tadi,” teriak guru ngaji kami. Dan kami tertawa terbahak-bahak.

Kadang anak anak yang libur sekolah melakukan eksperimen untuk mengukur kekuatan kaki dan perut dengan berjalan-jalan ke kota Yogyakarta, ke pasar Beringharjo menengok kerabat yang berdagang batik atau busana di sana, atau ke stasiun Tugu menonton kereta api langsir, shalat Dhuhur di sebuah masjid lalu pulang ke Kotagede membonceng andong di bagasi dengan risiko punggung kena cambuk kusir andong. Kami bergelantungan di bahas sambil menahan ketawa kalau cambuk meleset, kalau kena punggung ya meringis. Kami meloncat turun dari bagasi waktu kuda penarik andong ngos-ngosan mendaki jembatan Tegalgendu. “Matur nuwun nggih pak kusir,” teriak kami sambil berlari menghilangkan di gang kampung Bodon.

Atau eksperimen kami jalan kaki ke Piyungan. Masuk pasar melihat keramaian pasar lama. Persoalan muncul waktu pulang. Ada adik teman yang kehausan amat sangat. Kami akali agar dia tidak batal puasanya. Seseorang mengambil pucuk daun asam Jawa lalu anak yang kehausan itu disuruh mengunyah dan mirip kambing memamah biak pucuk daun itu dikeluarkan dari mulut. Anak itu cukup menyerap rasa kecut pucuk daun asam. Menurut ‘ijtihad anak kecil’ zaman itu perbuatan semacam ini tidak membatalkan puasa.

Kadang seharian kami menyusuri sungai Gajah Uwong sampai jauh ke bawah dan shalat di atas batu-batu sambil membayangkan sebagai Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga massal ini shalat Dhuhur dengan khusyuk di atas deretan baru padas di pinggir sungai dekat sebuah tempuran air.

Atau petualangan di bulan puasa kami lakukan dengan menyusuri sungai Gajah Uwong ke atas sampai ke kebun binatang Gembira Loka. Dengan jurus Aswatama kami membuat lubang di dekat kandang buaya. Ketika sampai di dalam kami kepergok petugas yang sedang patroli. Saya tahu namanya dan dia suami tetangga sebelah rumah saya. Dia saya sapa dengan ramah, dengan menyebut namanya serta mengenalkan diri sebagai tetangga dan saudara istrinya. Wajah petugas itu berubah ramah, tidak garang lagi. Aman.

Hampir seharian kami main di kebun binatang masuk tanpa karcis, hanya membayar dengan keberanian menyusup dan merangkak di dekat kandang buaya. Ternyata buaya ini jinak, tentu saja karena dia kekenyangan habis diberi makan tiga ekor bebek.

Nah, pulangnya dengan sopan dan santun serta pamit pada petugas tadi, kami keluar melewati pintu resmi, waktu itu, di sebelah barat Gembira Loka. Kami berjalan lewat Warungboto. Turun di Tuk Umbul atau bekas pemandian raja Rejowinangun yang dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Kami cuci muka dengan air banyak untuk menyegarkan wajah. Ada teman yang mengurangi haus siang hari dengan berkumur berkali kali. “Saya tidak minum lho. Saya hanya berkumur. Kalau ada air tertelan itu yang bersalah airnya,” kata dia membela diri.

Tentu, semua teman tertawa.

Memang hari-hari puasa dan libur puasa ini merupakan hari penuh tawa. Hari penuh petualangan riil kadang diselingi petualangan imajiner. Yaitu ketika ada teman yang orang tuanya memborong buku silat lebih dari lima serial dan tiap serial terdiri dari tiga puluh jilid buku. Bukunya kecil kecil jadi kami merasa enak membaca dan menghabiskan buku buku silat itu dengan membacanya, sambil tiduran di kamar besar di rumah seorang teman.

Kegiatan tadarus buku silat karangan Khoo Ping Hoo ini kami lakukan berhari-hari.

Untuk melengkapi kegembiraan di bulan puasa ini, kalau sore kami membantu panitia takjilan di masjid Gedhe Kotagede sambil iseng menggoda Simbah pikun dengan menggeser letak cangkir coglok sehingga dia kebingungan mencari. Atau ada teman menyembunyikan pemukul bedug, tapi ketika datang waktu Maghrib dia lupa pemukul bedug itu disembunyikan di mana. Dia mengaku,” Ya, sehabis shalat Ashar tadi saya ambil pemukul bedug dan saya sembunyikan. Tapi maaf saya lupa tempatnya.”

Terpaksa takmir masjid memukul bedug dengan tinju. Kami tertawa tertahan.

Itulah jejak puasa di masa kanak-kanak. Ketika menginjak remaja dan pemuda, kami menjadi panitia Ramadhan. Menjadi pengurus inti atau seksi. Ada seksi pawai Idul Fitri, ada seksi souvernir Lebaran, ada seksi keagamaan yang mengatur penyelenggaraan peringatan Nuzulul Qur’an, ada seksi lomba dan ada seksi penerbitan Brosur Lebaran.

Seksi terakhir ini paling heboh kerjanya. Mencari naskah, mencari iklan, mengetik di kertas sheet, juga menggambar desain iklan, desain cover, mengontrol pemasang iklan dan penulis yang mendapat brosur gratis, mengantar bahan untuk dicetak, mengontrol percetakan, rapat-rapat.

Yang paling asyik adalah kalau selesai rapat. Zaman itu belum ada motor Jepang. Anak laki laki berebut mengantarkan pulang anak perempuan lewat lorong sempit yang katanya angker. Anak laki-laki tentu berlagak jadi jagoan pelindung anak perempuan sambil melirik wajah dari samping atau cukup puas memandangi bagian belakang anak perempuan yang indah. Apalagi kalau anak perempuan itu berambut panjang, dikelabang atau diekorkuda sama sama indahnya. Rambut panjang menjuntai sampai punggung, bergerak-gerak kalau yang empunya berjalan gemulai. Kalau ada anak lelaki yang pandai melucu keadaan jadi gayeng. Rombongan pulang rapat dihias suara tawa anak perempuan yang kadang bisa terngiang-ngiang sampai lama. O, ya, sehabis mengantar anak perempuan maka yang laki laki kembali ke kantor redaksi brosur, lembur dan makan sahur di situ.

Sehari sebelum Idul Fitri, Brosur Lebaran sudah jadi, ramai-ramai membaginya ke pemasang iklan dan penulis.

Jejak puasa bagi anak muda adalah hari-hari yang sibuk campur romantisme anak muda. Karena sehabis puasa ada yang meneruskan hubungan laki laki perempuan sampai menikah, ada yang pengalaman romantis bulan puasa terpotong patah hati.

Ketika usia bertambah, jejak puasa makin serius. Tarawih saja di Ramadhan in Campus. Mendengarkan ceramah yang serius, mendatangi dialog Ramadhan yang serius, ikut iktikaf di masjid dengan serius, atau berpetualang bersama keluarga mendatangi tempat bazar makanan mencari makanan khas Ramadhan seperti kicak, jenang saren, brongkos koyor, garang asem atau carang gesing.

Atau belanja belanja untuk persiapan Lebaran, merancang paket wisata keluarga, merancang jajan kuliner khas di tempat wisata atau buka bersama di restoran. Jadi jejak puasa manusia dewasa lebih diwarnai romantisme hedonis. Padahal bulan puasa, bulan menahan diri dan banyak beramal shaleh untuk menyejahterakan orang lain.

Sampai kemudian datang pandemi Corona virus. Semua yang berbau hedonis buyar. Jejak puasa diwarnai dengan hari-hari penuh keprihatinan dan kecemasan. Dan untuk tamba ati yang efektif adalah membaca Al-Qur’an. Kita bisa mengalami transendensi dan memproses spiritualisasi pengalaman sehari-hari di bulan puasa. Dengan membaca Al-Qur’an kita akan mudah ketemu dan bertemu dengan Allah Swt, bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan bertemu serta ketemu dengan diri kita sendiri. Apalagi kalau pertemuan segi tiga ini dipenuhi harapan dan cinta yang sejati. Alangkah indah, benar, dan baiknya jejak puasa yang demikian ini.

Semoga bulan puasa Ramadhan kali ini kita yang mendapatkannya. Dan kita bisa mempertahankan keterjagaan dan keberjagaan ruhani kita yang demikian Aamiin.

Kauman, 17 Ramadhan 1442 H

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya