Mencari ‘Bayangan Kesejatian’ dari Sepakbola
“Di masa perang dunia II, begitu para walondo itu terbebas dari cengkeraman Deutsche Uber Alles, pada 1 April 1990, mereka pun meledakkan kegembiraan dengan pesta dan ‘kebohongan’. Anda tentu ingat sampai pertengahan 70-an tradisi April-Mop itu kita pakai juga secara ahistoris di Indonesia.” (Diego Maradewa, June-Mop dan Universalisme, dalam Emha Ainun Nadjib, Bola-Bola Kultural, hlm. 4.)
Kompetisi Liga Satu Indonesia 2021 telah dimulai pada akhir Agustus kemarin. Bagi para penggemar dan pecinta pertandingan sepakbola kompetisi itu menjadi ‘obat pelepas dahaga’ di tengah pandemi. Di tengah situasi tertekan dan terhimpit karena di masa pandemi banyak hal-hal yang dibatasi, maka jalan keluar dari tekanan mental dan keterhimpitan keadaan adalah dengan menenangkan diri, salah satunya dengan menghibur diri kepada sesuatu yang menyenangkan.
Menjadikan tekanan mental dan keterhimpitan keadaan sebagai titik keberangkatan pengetahuan untuk menjadi ilmu berusaha menjadi manusia seutuhnya. Kalau menurut Mas Sabrang untuk menjadi manusia seutuhnya kita harus memberi ruang bagi rasa sedih untuk mengekspresikan dirinya, ruang bagi bahagia untuk menampilkan dirinya, begitu juga setiap keadaan diri yang lain. Semua kita beri ruang untuk ada dan hadir dalam diri, asal pas kadarnya.
Pada konteks sepakbola, Mbah Nun punya pandangan menarik dalam buku beliau Bola-bola Kultural. Pada tulisan berjudul “Diego Maradewa, June-Mop dan Universalisme”, Mbah Nun memberikan pandangan, “Karena, meskipun sepakbola adalah ‘suatu pertunjukan kesenian’, ia tetap merupakan pentas olahraga. Seorang sutradara teater bisa menentukan jalannya pentas A sampai Z dan merancang segala sesuatunya secara rinci, tapi tidak jelas siapa sutradara pertandingan sepakbola dan apa maunya. Kehendak penyutradaan si ‘sutradara’ ini pun terkadang baru jelas pada menit terakhir sebuah pertandingan.” (hlm. 3).
Pandangan Mbah Nun tersebut amat menarik bagi kita dalam menjalani kehidupan ini, agar memandang sesuatu tidak hanya sebatas yang kita lihat. Melalui pandangan Mbah Nun tersebut kita diajak untuk juga bisa memandang sesuatu di balik hal yang biasa kita lihat. Dalam hal sepakbola, kita biasa memandang pertandingan pada menang atau kalahnya tim yang kita dukung atau kita tonton untuk mengisi waktu luang. Apalagi kalau sampai tim kebanggaan kita dalam suatu pertandingan mengalami kekalahan, kita juga ikut merasakan kekalahan itu dengan kekecewaan dan kesedihan.
Padahal menurut Mbah Nun ada ‘sutradara’ pertandingan yang berperan penting di balik setiap permainan sepakbola yang kita saksikan. Kalau kita berusaha terus mencari tahu dan menyapa si ‘sutradara’ itu pasti pandangan kita dalam menyaksikan sebuah pertandingan tidak hanya pada kalah menangnya sebuah tim, melainkan apa sih maksud dan pesan yang disampaikan sang ‘sutradara’ dalam pertandingan itu. Menjadi lebih menarik bukan?!
Pada buku yang sama dalam tulisan “Seribu Kali Hidup dan Seribu Kali Mati”, Mbah Nun mengajak kita memetakan sebab dari kekecewaan kita ketika tim kebanggaan mengalami kekalahan dalam bertanding. Menurut Mbah Nun, “Karena manusia dan kehidupan ini membutuhkan dan berorientasi kepada yang sejati. Kita mendambakan Yang Sejati itu muncul di depan mata kita…Maka ketika mereka (tim kebanggaan) tampil bermain, harapan kita kepada mereka adalah amat mutlak.” (hlm. 6).
Kita berharap kepada tim kebanggaan untuk selalu menang dalam setiap pertandingannya. Kita memutlakkan kemenangan pada tim kebanggaan karena merasa tim kebanggaan itu bayangan kesejatian yang kita cari selama ini. Hal itu bisa meluas pada kasus lain di kehidupan kita. Bisa saja kita sangat memutlakkan sesuatu hal yang kita senangi dan sayangi sehingga ketika sesuatu hal itu tiada, rusak atau tidak sesuai yang kita mutlakkan maka kita akan merasakan kekecewaan dan bahkan bisa frustrasi karena sesuatu hal itu.
Sebagaimana ketika pada beberapa hari kemarin salah satu teman menginformasikan bahwa Persebaya kalah melawan Borneo FC dengan skor 1-3. Dia menginformasikan beberapa faktor kekalahannya. Pertama, karena Persebaya banyak memainkan pemain mudanya yang mungkin saja belum banyak berpengalaman untuk siap bertanding di kompetisi elit. Kedua, pemain asing Persebaya tidak ada yang bisa bermain karena belum ada yang menjalani vaksinasi. Karena syarat pemain lokal maupun asing boleh bermain jika sudah menjalani vaksinasi. Mungkin absennya pemain asing di Persebaya itu mengurangi greget pola permainan Persebaya yang tidak bisa mengimbangi pola permainan Borneo FC, sehingga menyebabkan kalah serangan yang berujung kekalahan di akhir pertandingan.
“Kemudian ‘kerinduan religius’ kita terhadap ‘bayangan kesejatian’ (tim kebanggan) menangis meratap tatkala menjumpai tim kebanggaan kita tinggal tahayyul (mengalami kekalahan).” (hlm. 7).
Kita boleh kecewa kepada kekalahan Persebaya atau tim kebanggaan kita yang lain. Tapi satu hal yang perlu kita perhatikan untuk dijadikan pijakan menurut Mbah Nun, “Manusia tidak bisa menentukan dirinya sendiri…Mereka (tim kebangaan kita) tidak akan bisa merancang bahwa mereka akan bermain bagus. Mereka hanya berusaha atau paling jauh berjanji.” (hlm. 7-8).
Maka terhadap tim kebanggaan kita yang kita anggap bayangan kesejatian itu, kita beri kemerdekaan untuk mengolah tubuh tim, intelijensi pelatih dan ofisial, serta kreativitas dan kerja keras masing-masing pemain untuk berusaha menampilkan permainan bagus kepada penggemarnya. Dengan syarat kita sebagai penggemar tidak memutlakkan tim kebanggaan kita harus menang sehingga ketika kalah kita mencari kesalahan demi kesalahannya.
“Mengapa? Karena kesejatian, kemutlakan dan keabadian memang bukan hak milik manusia. Yang di-hak-i makhuk hanyalah modal tubuh, intelegensia, kreativitas dan kerja keras. Manusia mengalami seribu kali hidup dan seribu kali mati: dan yang menentukanya bukan hanya apa yang mereka hak-i, tetapi juga berbagai faktor yang berada di atas kekuasaan mereka.” (hlm. 8).
Kita bisa belajar membaca dan menemukan presisi maksud dan pesan Tuhan dari setiap pertandingan sepakbola yang kita gemari. Menegaskan pemahaman bahwa rumah Tuhan tidak hanya di masjid, melainkan di setiap yang kita temui, rasakan dan sadari. Meskipun peran, kehadiran dan singgasana Tuhan tidak terbatas dan meliputi alam semesta. Peran kita hanya menyaksi yang pasti. Menyaksikan kepastian Tuhan di setiap jengkal langkah usaha memperjuangkan nasib dan takdir hidup kita.
Surabaya, 8 September 2021.