CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (26)

Membangun Peradaban yang Adil dan Beradab

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 7 menit

Selain itu kalau musim layang-layang, anak-anak beberapa kampung mainnya ke kuburan atau Jaratan Ngledok yang lokasinya persis satu setengah meter di sebelah barat rumah Kakek saya, Mbah Hasyim. Biasanya selain main layang-layang kami juga ikut bermain dengan kambing yang digembalakan oleh anak dari Semoyan. Dan di makam ini yang penuh rumput subur kalau menjelang Idul Adha anak-anak menggembalakan kambing yang akan menjadi hewan kurban di hari raya.

Bagi anak-anak zaman itu, ikut menggembalakan kambing, ikut memandikan kambing di sungai, sudah membuat kami bergembira dan bahagia. Sebab sudah bisa meniru Kanjeng Nabi Muhammad ketika kecil.

Ketika pada kesempatan lain dalam peringatan Maulud Nabi dijelaskan bahwa Nabi ahli berdagang dan sukses berdagang karena jujur maka para remaja pun jadi punya semangat berdagang membantu orang tua yang punya pekerjaan sebagai pedagang. Ini yang membuat ketika sekolah menengah saya libur saya suka “mengawal” Ibu saya dari rumah Kotagede ke pasar desa, Pasar Pleret atau Pasar Jejeran Wonokromo.

Kami berangkat sehabis sholat Subuh, berjalan kaki bersama rombongan pedagang Kotagede menuju pasar desa itu yang jaraknya sekitar lima menit dari Kotagede. Karena hari masih gelap, Wa Asma demikian seorang pedagang tetangga saya yang tetangga kampung berjalan dengan menyalakan obor.

Maklum, waktu itu jalan kampung Ndalem dii wilayah bekas kerajaan Mataram Islam masih berupa hutan kecil tetapi panjang sampai desa Singosaren dengan jalan yang dipayungi rumpun bambu lebat juga gelap. Keluar dari desa Singosaren masuk bulak atau persawahan luas yang ditanami pohon tebu yang kalau di kiri kanan jalan tebu sudah tinggi membentuk lorong gelap. Beberapa tahun kemudian saya lewat jalan gelap seperti ini menuju rumah teman berbekal ayat kursi untuk mengusir hantu.

Kemudian kami menyusuri desa Glondong dan Kepuh yang jalannya dipayungi rumpun bambu yang lebat. Keluar dari desa Kepuh, masuk bulak lagi, hari sudah mulai remang-remang terang, obor dimatikan. Pasar Pleret di depan desa Kauman Pleret sudah dekat.

Itulah jalur dagang wong Kotagede menuju Pleret. Kalau kami pas pasaran dibukanya Pasar Jejeran, jalan yang kami tempuh lebih seru lagi. Sebab kami harus menyebrang sungai Gajah Uwong yang airnya tidak dalam di musim kemarau, tetapi tetap deras arusnya. Kalau musim hujan dan sungai banjir kami harus memutar jauh lewat jembatan Tegalgendu. Pernah ada penjual gudeg dari desa Dladan mau berjualan gudeg di Kotagede nekad menyeberangi sungai ketika banjir. Dia terpeleset dan kuali berisi gudeg, sambel tahu krecek dan ayam hanyut menjadi santapan ikan. Untungnya penjual gudegnya diselamatkan orang.

Biasanya kami sampai di pasar Pleret atau Jejeran jam enam pagi. Pasar sudah ramai. Terutama oleh petani gunung, demikian Ibu menyebut, yang menjual empon-empon dan hasil sawah di gunung untuk dibeli oleh pedagang sayur dan empon empon dengan harga grosir. Setelah barang dagangan mereka laku dan habis, cepat-cepat mereka pulang menghilang ke desa-desa di balik gunung atau bukit seribu.

Nah sebagai pengawal Ibu tugas saya adalah memikul sebagian barang dagangan berupa busana baru hasil usaha konveksi saudara sepupu Ibu di Prenggan dan sebagainya dari hasil Ibu menjahit sendiri atau membeli grosiran ke tetangga. Selain membawa barang dagangan, saya ikut menata barang dagangan. Sambil menunggu ibu membeli sarapan, saya menjaga dagangan dan melayani pembeli. Nah ketika ada pembeli, saya berusaha meniru Nabi dalam hal menjelaskan harga barang dagangan dengan jujur, apa adanya.

Saya tahu harga dari perusahaan konveksi ini karena saya sendiri yang mengambil barang dagangan ini dari tempat Bulik Prenggan yang sepupu Ibu itu. Ee, pembeli tidak percaya, malah barang dagangan ditawar dengan harga yang sangat rendah. Terpaksa barang tidak saya lepaskan. Transaksi gagal. Ternyata berdagang model Nabi diterapkan di Indonesia pada zaman ini sangat sulit. Ketika saya mengeluh tentang ini ke Ibu, ibu malah tersenyum, paham dan memahami sikap saya yang naif ini.

Memang mempraktikkan muamalah model Nabi sangat sulit. Pernah ada unen-unen pedagang yang sangat bagus. Yaitu pada hakikatnya berdagang ini melayani orang dan mencari sedulur. Jadi terpaksanya rugi dikit nggak apa-apa, yang penting mendapat saudara. Unen-unen atau panduan moral yang bagus seperti dulu sebelum zaman penjajahan Belanda banyak dipraktikkan. Tetapi setelah datang penjajah Belanda, Inggris dan Jepang, unen-unen yang bagus seperti ini dilupakan. Bahkan dianggap tidak praktis dan tidak menguntungkan.

Waktu itu kehidupan komunal dengan begitu banyak solusi komunal untuk memecahkan masalah, termasuk masalah mulai bergeser menjadi kehidupan individual dengan solusi individual yang kering dari perasaan, rasional tetapi ahumanis. Kita mewarisi kecenderungan ini sampai hari ini. Pada saat saya ngontrak rumah di dekat tempat tujuan wisata, banyak pedagang justru berpedoman sebaliknya dari unen-unen itu. Sing penting bathi sak okeh okehe, rugi sedulur ora papa. Toh wisatan bukan kenalan, paling cuma ketemu sekali dalam hidup.

Bahkan di kampung lain, bukan pedagang yang lucu, tetapi justru konsumen atau pembeli yang notebene tetangga yang menyebabkan sebuah warung tutup atau bangkrut karena para tetangga punya kegemaran dan semangat yang berlebih untuk berutang di warung dengan semangat dan kegemaran yang minus untuk membayar utang.

Bahkan saya pernah mengamati, ada pedagang yang kalau berangkat ke pasar bersama tampak rukun, tetapi setelah sampai pasar yang tampak adalah binatang ekonomi yang ganas termasuk kepada teman sesama naik kendaraan pulang balik ke pasar dari rumah. Untuk perdagangan luar kota, biasa ada pedagang yang melakukan dumping harga untuk merebut order atau pesanan. Bahkan ada yang tega merebut pelanggan dengan mengatakan saudaranya sudah berhenti berdagang, padahal waktu itu orangnya sedang libur tidak memasok dagangan karena sedang sibuk merawat ibunya yang sakit.

Anatomi kerusakan dan perusakan muamalah ini bisa saya ungkapkan dan saya ceritakan sehari semalam karena bahan cerita sungguh melimpah. Apalagi kemudian banyak yang salah paham terhadap agama. Disangkanya, agama itu hanya akidah dan ibadah. Asal akidah lurus dan rajin beribadah semuanya beres. Muamalah berantakan nggak papa. Toh nanti bisa ditebus dengan kedermawanan.

Padahal Nabi Muhammad Saw bersabda, “Innama bu’itstu liuttamimma makarimal akhlaq.” Pada hadits lain disebutkan, “Addabani Robbi faahsana ta’dibi.” Lalu ada hadits pertama dalam kitab mungil Arba’in yang berbunyi, “Akmalul mu’minina imaanan ahsanuhum khuluqon.” Dan untuk perkara ini di dalam Al-Qur’an Nabi Muhammad disebut sebagai Uswatun Hasanah.

Muamalah mahmudah dan muamalah karimah sungguh merupakan basis bagi pembangunan peradaban yang adil dan beradab. Dalam hal ini peradaban Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. bersama para sahabatnya yang mengamalkan ayat-ayat muamalah menjadi bukti yang tidak terbantahkan lagi. Apalagi Kanjeng Nabi Muhammad Saw. adalah Nabi kelima Ulul Azmi dalam konstruksi kenabian dan kerasulan sejarah Nabi-nabi dan para Rasul. Maka sesungguhnya makna peradaban yang dibangun dengan muamalah mahmudah dan muamalah karimah oleh Nabi Muhammad Saw. bersama para sahabatnya memiliki makna dan signifikansi yang menyemesta.

Yogyakarta, 6-7 Agustus 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Exit mobile version