CakNun.com

Membaca Surat dari Tuhan (9)

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 4 menit
Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash

Pertanyaan semacam ini sering muncul ketika rombongan pecinta alam selesai mendaki bukit terjal, sampai di sebuah puncak. Di bawah terhampar lembah, desa, sungai, sawah-sawah, bagian dari kota dan perbukitan di seberang lembah, perbukitan kapur yang memanjang mendekati cakrawala.

Setelah istirahat sebentar, minum wedang jahe dan makan pisang rebus, atau mengunyah tomat pemberian petani di bawah, kami mendaki lagi menuju puncak kedua. Tubuh mandi keringat, segar oleh hembusan angin kencang. Waktu itu yang ada hanya gembira. Rasanya seperti perjalanan ke langit dunia, langit yang indah dan damai. Pemandangan berubah makin indah. Anggota rombongan pecinta alam yang perempuan tampak lebih cantik karena keringat membasahi wajahnya dan oleh kegembiraan yang terpancar dari mata mereka. Percakapan menjadi ringan, obrolan menjadi gojekan dan kami menyangka masa muda yang membahagiakan ini akan berlangsung lama.

Sampai di puncak kedua, yang kelihatan dua macam pemandangan. Di depan puncak, hutan sanakeling, hutan pinus yang lebat dengan jalan setapak di tengahnya. Di bawah, tampak laut selatan yang jauh, bukit Menoreh yang jauh di tengah hamparan lautan hijau karena sawah tengah habis musim tanam padi. Sungai-sungai berkelok dan bertemu di tempuran untuk menuju muara.

Kami tidak berhenti terlalu lama, teman-teman ingin segera masuk ke jalan setapak yang teduh. Semua ceria, sebab di depan sana ada mata air kecil yang airnya melimpah. Menjadi tempat minum kambing yang digembalakan siang hari dan menjadi tempat minum binatang hutan, mungkin satu dua harimau yang kalau siang biasanya bersembunyi dari istirahat di dalam gua-gua batu kapur.

Ketemu. Mata air jernih. Seorang pecinta alam senior setengah berlari mendahului teman yang lain. “Stop. Akan saya periksa dulu airnya.”

Dia membalikkan telapak tangan kiri, meletakkan di permukaan air. Hanya segar yang terasa. Aman. Kalau punggung telapak tangan terasa gatal atau panas berarti air tidak aman, ada racun atau kotoran yang bisa membahayakan. Sebenarnya kalau ketemu penggembala lebih mudah deteksi dininya. Mempersilakan kambing minum. Kalau kambing tetap sehat, aman.

Mata air ini letaknya di simpang tiga. Kami minum sekadarnya, makan penganan dan banyak teman yang pernah sampai sini berceloteh pengalaman dia.

Saya membuka peta yang saya buat sendiri lengkap dengan nama titik-titik pemberhentian, jalur menuju ke bawah, dan masuk jalur pulang.

“Kita ke kanan nanti setelah sampai Mbengkung bisa menerobos jalan ini sampai di makam Imogiri. Dari Imogiri ada jalan pulang yang kita semua sudah hafal,” kataku sambil menggerakkan tangan di peta.

“Kalau ke kiri, Kang?”

“Kita sampai disini. Di Terong, terus menyusuri punggung pegunungan, sampai di atas Widodaren, terus belok belok sampai di atas Jalasutra, kalau diteruskan, sampai di bukit Patuk. Dari sini kita turun lewat jalan berliku sampai Piyungan. Jalur pulangnya kita sudah hafal.”

“Ke kanan atau ke kiri sampai rumah malam nggih Kang?”

“Ya. Jauhnya hampir sama. Nanti kita menjelang senja akan sama-sama bisa menyaksikan bukit-bukit seperti menyala, sebelum berubah jadi ungu dan pelan pelan menghitam ketika matahari tenggelam.”

Teman-teman seperti terpana mendengar uraian saya. Mereka menghidupkan mesin imajinasi dalam kepala. Generasi pecinta alam ini termasuk generasi yang baru saja membebaskan imajinasi masa depan seluas-luasnya setelah tahun-tahun enam puluhan imajinasi politik konflik yang buram menyiksa mereka. Politik bagi generasi pecinta alam ini adalah sesuatu yang buruk dan sering jahat karena politik merusak persahabatan dan persaudaraan antar manusia.

Gerakan pecinta alam ini dimaksudkan mengembalikan dan mengenalkan kembali persaudaraan dan persahabatan antar anak muda yang orangtuanya pernah cerai berai gara gara politik Orde Lama. Mereka kembali ke alam dengan maksud juga kembali ke alam kemanusiaan. Imajinasi kemanusiaan dan imajinasi alam bebas telah tumbuh kembali di jiwa teman-teman.

Dalam hal ini memilih berjalan ke kanan yang berarti naik turun bukit menuju mata air Bengkung yang mengalirkan air sampai makam Imogiri dan di dekat mata air tumbuh pohon kluwih yang bunganya banyak dicari pasangan suami istri untuk memicu kesuburan. Demikian pernah saya dengar dari abdi dalem di makam Imogiri.

Dari mata air Bengkung menuju Imogiri imajinasi alam liar dimanjakan oleh pemandangan yang indah yang kadang mengingatkan saya kepada ayat-ayat di awal surat Al-A’la. Surat ini ketika Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin masih punya markas diskusi di Kauman pernah dibahas tuntas, bahkan dengan menggunakan matriks makna. Tentu waktu generasi pecinta alam ini suka mengembara ke alam bebas masih belum sampai menghubungkan ayat-ayat kauniah ini dengan ayat kitabiah.

Bagi teman-teman yang memilih membayangkan lewat jalan ke arah kiri, ke utara tentu membayangkan asyiknya berjalan di punggung bukit sambil menikmati lembah, sungai, dan barisan bukit yang lebih rendah. Mirip gaya pesawat drone mengamati pemandangan melewati garis paralel. Melihat lekuk liku sungai opak gemerlap memantulkan sinar matahari, satu dua pesawat terbang menembus awan rasanya seperti di alam lain.

Belum lagi kalau sebelum sampai Patuk ada desa yang punya lapangan, kalau sore sering untuk latihan jatilan anak-anak. Udara pasti bertiup dingin ketika rombongan meluncur menuruni jalan pintas dari bukit Patuk menuju Piyungan. Hari hampir Magrib dipastikan ketika sampai di bawah, dan memilih masjid pinggir jalan di Desa Payak untuk shalat Maghrib, istirahat sebentar lalu berjalan mencari penjual bakmi yang sudah buka untuk makan malam ramai-ramai sebelum merampungkan perjalanan mendekati kota kecamatan kami.

Akhirnya, perang imajinasi ini dimenangkan oleh pilihan berjalan ke arah kiri. Yang dibayangkan oleh teman-teman adalah asiknya berjalan di punggung bukit yang panjang dan mata bebas memandang ke bawah.

Jalur ini memang asik dilewati zaman itu, ketika semua masih sepi dan jalan dari Patuk berujung di kota kecamatan Dlingo.

Kami pernah hiking dari Kotagede – Imogiri – Dlingo. Berkemah di depan sebuah gedung sekolah dasar di dekat mata air jernih. Dan di malam hari ketika langit bersih kami menggelar tikar di luar tenda, berbaring berjaga seperti ikan dengan kepala menghadap langit. Inilah pengalaman yang dirindukan oleh setiap pecinta alam. Bisa menyaksikan begitu banyak bintang berkedip seperti dekat sekali di depan wajah. Aku biasanya langsung teringat ayat-ayat suci yang terdapat dalam surat At Thoriq, Al Buruj, An Najm dan ayat-ayat di surat lain yang mengabarkan tentang hadirnya bintang di langit, nama bintang itu, perjalanan orbitnya, bagaimana nelayan dan petani menggunakan perubahan letak bintang di langit sebagai perubahan tanggal, menentukan arah, dan bergantinya musim.

Dalam kesempatan berkemah di manapun saya menyempatkan diri untuk melakukan “upacara” berbaring diam mengamati langit sambil berdzikir, dan membayangkan tengah membaca surat dari Tuhan berupa ayat ayat semesta yang rujukannya dapat ditemukan di dalam kitab suci. Rasanya sungguh rugi kalau malam hari berkemah hanya diisi dengan ngobrol sehabis api unggun, atau tidur kekenyangan atau bermimpi memeluk pacar.

Di mana alamat manusia di tengah alam semesta ini? Setelah berkali-kali membaca surat dari Tuhan berupa ayat tentang alam semesta dan setelah berkali-kali membaca langsung surat dari Tuhan berupa bentang langit dengan jutaan bintang, maka jawaban atas pertanyaan ini menjadi sederhana.

Di manakah alamat manusia di alam semesta? Jawabku; di antara jutaan bintang di langit.

Di tengah jutaan malaikat yang beterbangan menjalankan aneka tugas menjaga manusia dan alam semesta.

2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Welkom t’huis

Welkom t’huis

Pokoke yen Simbah kondur mangke kulo ajeng mbengok — Hidup Maiiyahh! — Pokoknya nanti kalo Mbah Nun pulang saya akan teriak Hidup Maiyah!

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Exit mobile version