Membaca Surat dari Tuhan (6)
Apa yang menggetarkan dari ayat 22, 23, 24 surat Al-Hasyr? Tiga ayat terakhir surat Al-Hasyr ini full terdiri atas susunan Asmaul Husna. Kalau yang tekun mempelajari ilmu ketuhanan, tauhid dapat sampai pada empat “lapis” pemahaman tentang Tuhan. Itu saja hasilnya jelas tidak sama dengan hakikat dan ma’rifat Tuhan. Yang dapat diketahui baru jejak pengetahuan, jejak ingatan, jejak harapan, jejak bayangan, dan jejak makna dari dan tentang Tuhan.
Oleh karena itu, dalam beragama Islam sering disebutkan bahwa keberuntungan manusia di alam akhirat adalah ketika manusia bisa bertemu dengan Tuhan. Bertemu yang secara hakikat dan ma’rifatnya kita tidak tahu persis. Yang jelas di alam akhirat tiada kebahagiaan bagi jiwa manusia selain bertemu dengan Tuhan. “Disapa”, “dilihat”, “ditemui”, “diridlai”, “dicintai” dan “dipanggil dengan lembut” ya ayyatuhan nafsul mut’mainnah, irji’i ila robbiki rodliatan mardliyah, fadkhulii fii ‘ibadii, wadkhulii jannatii merupakan prakondisi menuju kondisi bertemu dengan Tuhan. Bertemu dan menyaksikan dengan jiwa yang tenang.
Kembali ke empat lapis pemahaman tentang Tuhan. Lapis pertama adalah asma-Nya. Ini nyambung dengan lapis kedua yaitu sifat-Nya, terus nyambung dengan af’al-Nya dan nyambung serta menyatu dengan dzat-Nya. Pemahaman seperti ini kemudian diadopsi dalam “struktur pengetahuan” tentang kekuasaan raja dalam kerajaan tempo dulu. Raja yang hidup dalam sistem kerajaan yang dinastik pada saat pelantikan diberi gelar berupa nama-nama yang hebat.
Pemberian Gelar hebat ini merupakan simbol harapan agar Raja itu memiliki sifat dan perbuatan yang sesuai dan selaras dengan gelar yang hebat itu. Untuk memikul beban nama dan sifat yang hebat, dan untuk memikul af’alnya atau potensi perbuatan yang hebat selaras dengan gelar hebat dan sifat yang hebat itu, maka seorang raja diberi kelengkapan sipat kandel. Untuk sebuah nama gelar, terdapat sebuah sifat raja yang sesuai dengan gelarnya, dan untuk mengawal perilaku raja agar selaras dengan gelar dan sifatnya, maka ada pusaka sendiri.
Jadi, misalnya seorang raja memiliki kesatuan gelar yang terdiri dari sembilan nama, sembilan sifat dan sembilan perilaku utama, maka Raja itu memerlukan sembilan pusaka. Dari kesatuan gelar, sifat, perilaku dan pusaka ini seorang raja menghimpun potensi atau kesatuan kekuatan dari kekuasaannya sebagai raja. Kalau raja dalam kerajaan yang dinastik menginginkan kekuatan dan kekuasaan spiritualnya permanen maka gelar, sifat, perilaku, dan pusaka dia akan dipermanenkan dalam arti dilestarikan dari generasi ke generasi. Paling kalau ada suksesi gelar sebagai password atau pin kekuasaan diberi tambahan angka di belakangnya.
Untuk Tuhan tentu tidak seperti itu. Sebab “sistem” kekuasaan Tuhan tidak dinastik sehingga asma, sifat, af’al, dan dzat-Nya permanen dengan sendirinya. Tuhan, Allah subhanahu wa ta’ala, dalam Islam adalah Dzat yang bersifat beraf’al dan memiliki asma sebagai Yang Maha Awal sekaligus Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir sekaligus Yang Maha Batin.
Asmaul Husna yang termaktub dan tersusun dalam ayat 22, 23, 24 surat Al-Hasyr oleh manusia dengan kemampuan dan ilmu alatnya yang terbatas bisa dibaca sebagai sesuatu yang menginformasikan kehadiran Tuhan dengan sebagian “potensi” dan kekuatan serta kekuasaan Tuhan sebagai Tuhan. Untuk keseluruhan potensi, kekuatan, dan kekuasaan Tuhan yang bisa dibaca manusia lewat informasi tentang Asmaul Husna yang lengkap dengan Asmaul A’dlom-Nya kita tidak tahu persis.
Dan sebagai ikhtiar untuk mencicipi nikmat yang tersembunyi di dalam makna Asmaul Husna dalam tiga ayat terakhir surat Al-Hasyr teman-teman LSBO PP Muhammadiyah pernah menyajikan “pertunjukan multi ekspresi”. Terdiri atas gabungan seni puitisasi terjemahan ayat Al-Qur’an, pembacaan qiroah, pelukisan kaligrafi, musik instrumental dan gerak indah tari pencak silat.
Puitisasi terjemahan ayat 22, 23, 24 saya lakukan sendiri dan kemudian saya bacakan setelah sebelumnya Ustadz Robert Nasrullah membacanya dengan indah dengan metode qiroah. Pada saat yang sama Mas Sigit Baskara bermain musik instrumental, dan Mas Syaiful Adnan melukis kaligrafi di kanvas di panggung di sebelah anak-anak SD Muhammadiyah Jogokariyan menari dengan tarian jurus pencak silat Tapak Suci. Sajian multiekspresi berbasis ayat 22, 23, 24 surat Al-Hasyr ini dilakukan di halaman masjid Jogokaryan. Alhamdulillah, mendapat sambutan hangat dari hadirin.
Sebagaimana diketahui, puitisasi terjemahan ayat Al-Qur’an merupakan ikhtiar puitik dan estetik yang dikenalkan oleh Mohammad Diponegoro pada zaman kejayaan seni deklamasi. Puitisasi terjemahan ayat Al-Qur’an ini biasa ditampilkan dengan cara dihapalkan dengan menggunakan teknik vokal dan artikulasi panggung model deklamasi. Ketika kejayaan seni deklamasi surut, diganti poetry reading dan poetry singing maka karya puitisasi terjemahan ayat Al-Qur’an jarang ditulis orang.
Surat-surat pendek dalam Al-Qur’an sebenarnya sangat potensial untuk diijtihadi menjadi karya multiekspresi seperti ini. Kemungkinannya tidak terbatas. Sebagai ikhtiar membaca surat dari Tuhan dengan cara kreatif sebaiknya memang perlu dicoba terus-menerus.
Yogyakarta, 6 Juni 2021.