Membaca Surat dari Tuhan (5)
Pengalaman membaca Surat dari Tuhan sungguh merupakan pengalaman beragama yang asyik sering tidak terduga. Rezeki berupa ilmu dan hikmah tumpah ruah saat momentum membaca surat dari Tuhan itu. Saya merasa diperjalankan oleh Tuhan dan dipertemukan oleh Tuhan dengan momentum penting dalam hidup saya, momentum yang tidak pernah terulang lagi. Misalnya, saat saya awal-awal mengikuti Pengajian Padhangmbulan di Menturo dengan “podium” sederhana, meja pendek diletakkan di serambi Langgar atau surau yang dibangun oleh keluarga Bani Muhamad Latif atau keluarga besar Cak Nun.
Hadirin melimpah ruah juga, dari depan langgar sampai kebun sekitar rumah dan jalan desa dengan kendaraan diparkir di lapangan desa yang biasa untuk shalat Id. Diawali dengan wirid ya Allahu ya Mannanu Ya Karim Ya Allahu Ya Rahmanu Ya Rohiim yang membuat tubuh dan hati gemetar. Kemudian Cak Fuad menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan ‘tekstual’ dan terasa ruh dan spirit dari bahasa Arab Al-Qur’an terpancar. Kemudian dilanjutkan dengan Cak Nun, menyampaikan tafsir atau sekarang disebut tadabbur yang dilakukan dengan pendekatan kontekstual.
Uniknya apa yang disampaikan Cak Fuad dan Cak Nun nyambung dengan keadaan dan situasi kondisi yang tengah terjadi dan berkembang. Misalnya ketika Cak Fuad dalam uraiannya sampai pada ayat-ayat tentang Bani Israil, saat itu serdadu Israel sedang menggempur warga Palestina. Atau gerakan Intifadah marak di sana. Dengan demikian Cak Nun menguraikan atau menyampaikan ‘tafsir kontekstual’ dengan leluasa.
Yang hadir nyambung dan merasa terhubung dengan kenyataan yang nyata. Ayat-ayat itu terasa hidup menemani manusia yang seringkali bingung kalau menghadapi perkembangan keadaan yang tidak terduga. Dengan ditemani ayat-ayat itu masyarakat yang mau mengaji menjadi mendapat rujukan yang jelas. Mendapat petunjuk tentang arah perkembangan dan makna dari peristiwa atau barisan peristiwa yang bermunculan.
Momentum yang juga berfungsi mempertemukan saya dengan ayat-ayat yang nyambung dengan situasi dan kondisi genting terjadi tahun 1971. Ketika saya kelas 4 sekolah guru agama dan setiap Ahad siang saya mengaji Ilmu nahwu shorof dengan membaca kitab kuning dan kitab gundul (teks yang dihapal di kepala Kiai). Saya berguru kepada Pakde saya, kakak Ayah untuk melengkapi pelajaran bahasa Arab di sekolah yang kadang lumayan sulit.
Setiap Ahad, seharian, Pakde Zuhri Hasyim buka praktik memberi pelajaran aneka macam ilmu. Bergantung kebutuhan santri yang datang, saya kebagian waktu jam 14.00 sampai Asar. Sebelum saya, biasanya ada muballigh baru yang memerlukan bahan untuk diceramahkan di kampung. Dia belajar tafsir dan terjemahan ayat Al Qur’an. Waktu itu menjelang Pemilu pertama di era Orde Baru. Kebetulan yang dipelajari baru sampai pada bagian awal surat Al-Baqarah.
Dengan suara mantap dan dingin Pakde menjelaskan bahwa dalam suasana Pemilu kita akan bertemu tiga golongan manusia. Manusia beriman, manusia kafir, dan manusia munafik. Ciri-ciri mereka diidentifikasi oleh ayat-ayat di awal Al Baqarah. “Jangan kaget kalau kita akan ketemu dengan manusia munafik yang merupakan golongan terbesar di zaman ini,” kata Pakde tanpa bermaksud mempolitisasi ayat. “Ayat ayat ini berbunyi nyaring dan tegas jelas dan manusia tidak bisa membantah satu huruf atau satu kata pun,” tambahnya.
Saya yang hadir awal, duduk di kursi dengan anyaman rotan, minum teh hangat dan ngemil jajan pasar menyimak apa yang disampaikan Pakde. Dalam hati saya merasa beruntung, kebetulan mendapat bahan untuk diskusi pelajar di tengah Masjid Gede Kotagede jam delapan malam sampai tengah malam. Kelompok diskusi ini bernama Dilemoas (Discussion of leaner of moslem assotiation) dengan anggota pelajar sekolah menengah yang aktif di PII dan IPM, yang semua kompak menjadi pengasuh pengajian anak anak API Masjid Gede Kotagede. Ayat-ayat dalam awal surat Al Baqarah ini terasa hidup di kepala saya. Hidup bahkan mendidih di kepala sehingga dalam diskusi di malam Jum’at setelah saya ngaji di tempat Pakde Zuhri itu saya bisa ngomong lancar penuh semangat sampai teman-teman heran karena biasanya kalau saya ngomong gagap.
Dalam momentum ibadah umroh selama sepuluh hari di awal Ramadhan ketika jamaah tarawih di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram saya menyimak imam yang setiap malam merampungkan satu juz ayat Al-Qur’an. Ketika di Madinah pada tanggal awal Ramadhan kembali saya bertemu dengan Surat Al-Baqarah. Saya jadi ingat momentum perjumpaan dengan surat Al-Baqarah di Jombang dan di Kotagede itu. Dengan spektrum pemaknaan yang lebih kaya. Ketika mendengar ayat-ayat terakhir surat Al-Baqarah saya jadi ingat doa wasilah yang pernah dibaca waktu mementaskan Konser Puisi karya 9 penyair dengan konduktor Hari Leo.
Sebelum pentas Hari Leo berkonsultasi dengan seorang Mbah Kiai dan minta doa wasilah. Mbah Kiai itu bilang kalau menurut semacam pedoman wali kutub yang melindungi Yogya maka doa yang perlu dibaca adalah akhir surat Al-Baqarah. Doa ini dibaca di awal pertunjukan, dan semua lancar dan selamat. Doa di akhir surat Al-Baqarah ini kemudian juga dikenal sebagai doa ruqyah untuk menepis gangguan makhluk halus.
Tentu di dalam surat Al-Baqarah banyak sekali ayat-ayat yang selalu hidup dalam ingatan saya. Terutama Ayat-ayat yang diajarkan menjadi bagian dari ilmu tafsir Al-Qur’an.
Misalnya ayat yang berbunyi Innallaha la yastahyi anyadlriba matsalan ma ba’udlotan fama fauqoha… Ayat ini harus dihapal lengkap dengan artinya sampai pada identifikasi manusia fasiq. Yaitu orang yang mengingkari janji setelah dia menetapkan perjanjian itu dan gara-gara kepentingan (politik) sampai memutus tali persaudaraan dan berbuat kerusakan (destruksi lingkungan, destruksi ekonomi, destruksi hukum dan keadilan dan sebagainya) di muka bumi.
Surat dari Tuhan bernama Surat Al-Baqarah ketika dibaca, lebih dari itu yang dapat kita temukan dan kita temui. Dengan parameter ayat-ayat dalam kitab suci bisa menjadi pemicu inspirasi, pemacu aspirasi, dan melahirkan aplikasi solusi kehidupan maka menghidupkan ayat-ayat Al Qur’an dalam surat Al Baqarah sungguh pekerjaan yang menantang umat Islam semua agar tidak membeku dalam kejumudan berpikir dan tidak mudah terbakar oleh provokasi di medsos misalnya.
Yogyakarta, 5 Juni 2021.