Membaca Surat dari Tuhan (4)
Suatu hari, di rumah Cak Nun di Kasihan ada pertemuan penting. Rumah yang dirancang arsitek Achmad Fanani masih dalam bentuk asli. Dan di ruang yang setiap ada pengajian Mocopat Syafaat dipergunakan untuk menerima tamu dan merancang acara bersama grup KiaiKanjeng serta tamu malam itu, dalam pertemuan penting ini dihadiri oleh para seniman, sastrawan, dan aktivis budaya Muslim.
Mengapa pertemuan ini ada dan terselenggara? Penyebabnya adalah ada info dari Kiai Abdul Mujab Mahalli dari pesantren Al Mahalli Brajan Wonokromo bahwa di pegunungan selatan ada Sultan Ground yang bisa dimanfaatkan untuk membangun pesantren budaya.
Pertemuan itu untuk merembug hal itu.
Saya datang ke Kasihan, kalau tidak salah, bersama Jabrohim. Yang datang cukup banyak. Kami duduk melingkar, berbicara gayeng dengan suguhan martabak telur ditemani makanan lain. Minuman ada yang teh ada yang kopi panas.
Sebagaimana biasa kalau mendatangi rapat serius, saya meniru kebiasaan Mas Iman Budhi Santosa, siap dengan konsep.
Sebagaimana tradisi Cah Muhamadiyah, sebelum berpikir dan berbuat selalu mencari dan menyiapkan dalil. Dalil mendirikan pesantren budaya ini apa? Apa ayat Al-Qur’an atau hadits yang kuat untuk hujjahnya? Karena saya pernah membaca tulisan Kang Hazim AU, guru ngaji saya di pengajian API Masjid Gede Kotagede yang kemudian menjadi ketua PB PII tentang ayat Al Qur’an yang berfungsi sebagai inspirasi perlu dilengkapi dengan kesadaran bahwa ayat-ayat Al Qur’an juga bisa digunakan sebagai dasar perumusan aspirasi.
Maka, saya mencari ayat atau bahkan surat yang dapat untuk aspirasi sekaligus inspirasi ikhtiar mendirikan pesantren budaya. Bahkan saya kemudian menambahkan bahwa dalam ayat-ayat Al-Qur’an tersedia isyarat atau dasar-dasar aplikasi tertentu, termasuk aplikasi mendirikan sebuah pesantren budaya. Ketemulah saya dengan surat At-Tiin atau Wattiini waz zaitun.
Secara konstruksi makna dan maqoshidul ayat surat At-Tiin ini berbicara tentang fondasi peradaban. Allah Swt dalam surat ini bersumpah dengan menyebut empat hal penting. Pohon tin, pohon zaitun, Gunung Sinai, dan negeri yang aman. Dan hadirnya empat hal ini berkorelasi atau memiliki konteks dengan penciptaan manusia sebagai makhluk yang paling baik konstruksi kemakhlukannya (memiliki hakikat jasmani ruhani, nafsu dan spirit, konstruksi tubuh dengan jaringan kulit, daging, otot, darah, syaraf, tulang yang memiliki 360 persendian atau sambungan tulang; dan mungkin juga memiliki 360 unsur kimia dasar, jaringan organ vital untuk hidup dan mengembangkan hidupnya termasuk instrumen pikiran, perasaan, hati nurani, akal, big database untuk informasi tentang ingatan, harapan, kenangan, imajinasi keindahan, cita cita, cinta; juga mekanisme penyelamatan diri berupa gerak refleks, ketakutan dan sadar ancaman, mekanisme dan instrumen metabolisme jasmani ruhani yang rumit dan dan masih banyak lagi yang belum terketahui potensinya).
Manusia yang diciptakan dengan sebaik-baiknya konstruksi oleh Allah Swt ini, setelah Nabi Adam diturunkan ke bumi, memiliki kemungkinan jatuh dan merosot menjadi makhluk dalam posisi asfala safiilin, selemah-lemahnya kondisi kemanusiaannya. Dia menjadi makhluk yang amat merugi dalam kepungan waktu yang dia mubadzirkan sendiri. Kecuali manusia yang waspada untuk menjaga posisi dirinya untuk selalu berjaga dan terjaga sebagai ahsani taqwim.
Caranya dengan menjaga instrumen ruhani bernama iman dan selalu mau dan mampu mengoperasikan iman dalam bentuk amal shaleh, amal yang dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan. Manusia yang demikian akan mendapatkan pahala atau energi positif yang permanen, tiada putus-putusnya.
Tentu masih ada tantangan serius, yaitu hadirnya kemungkinan munculnya nafsu untuk mendustakan datangnya keadilan Tuhan. Bukankah Allah itu selalu ahkamul hakimin? Sehakim-hakimnya hakim. Sebijak-bijaknya yang Maha Bijak.
Membangun negeri yang aman dengan fondasi alam tumbuhan dan alam semesta yang bergunung-gunung dengan aktor manusia yang ahsani taqwim, dilengkapi iman untuk memandu amal shalehnya di bawah kesadaran untuk senantiasa berhukum yang bijak di bawah payung kebijaksanaan Tuhan semua menjadi mungkin. Memproses manusia yang kompatibel terhadap terjaganya dia sebagai ahsani taqwim yang punya tugas sebagai aktor membangun negeri yang aman, dapat diproses dan difasilitasi oleh ikhtiar yang dilakukan di dalam pesantren budaya.
Intinya, dalam pertemuan di rumah Cak Nun di Kasihan itu saya menyiapkan semacam draf proposal pendirian pesantren budaya dengan menggunakan fondasi dalil surat At-Tiin. Ketika saya bacakan draft proposal ini dan banyak yang tidak dong dan kurang punya imajinasi menghubungkan surat At-Tiin dengan pesantren budaya saya paham.
Cak Nun yang paham akan ide ini kemudian berbicara bahwa pesantren budaya ini jangan dibayangkan seperti pesantren biasa sebagai lembaga pendidikan yang kaku. Mungkin ada gedung tetapi bukan gedung sekolah tetapi hanya ruang tempat untuk mendiskusikan bagaimana membudayakan nilai agama. Tidak ada mata pelajaran dan proses belajar mengajar biasa, tetapi cukup dengan program workshop yang relevan dan urgen saja.
Hadirin lain merespons dengan urun ide yang macam-macam sehingga pertemuan ini lebih menjadi forum curhat dan forum brainstroming. Membadaikan ide-ide. Tidak ada atau belum ada kesimpulan yang gumathok. Kesimpulan dan keputusan dari forum adalah perlu diadakan pertemuan serupa untuk waktu waktu berikutnya. Entah kenapa pertemuan lanjutan ini tidak pernah berlangsung sampai hari ini.
Waktu Kiai Abdul Muhaimin, Kiai Zainal Arifin Thoha, saya dan teman-teman sehabis menyelenggarakan Kongres Kebun Pesantren yang pertama di Pesantren Pandan Aran, bertemu dan mendirikan Institut Maulana Maghribi gagasan mendirikan pesantren budaya muncul lagi. Pak Abdul Muhaimin bilang dia dititipi tanah dekat Ring Road. Tapi gagasan ini menguap. Meski demikian saya tetap terus membaca surat At-Tiin dengan memperbarui cara membaca dan cara mengamalkannya. Termasuk ketika ada komunitas penggemar pohon tin mengenalkan khasiat pohon tin dan berkebun pohon tin, mendirikan laboratorium untuk mengolah buah tin dan daun pohon tin saya ikuti diskusinya.
Cara mengamalkan surat At-Tiin yang sederhana ada manfaatnya untuk menjaga kesehatan. Demikian juga ketika banyak dijual minyak zaitun. Salah satunya minyak zaitun impor dari Spanyol. Saya kaget, jangan-jangan dulu umat Islam terusir dari Spanyol karena kebun pohon zaitun terbaik di dunia ingin direbut orang. Sebagaimana diketahui, sehabis umat Islam terusir dari Spanyol, produksi minyak zaitun sebagai super food terus mengalir ke seluruh dunia. Termasuk ke Amerika dan monopoli perdagangan minyak goreng di dan dilakukan oleh orang Italia untuk fondasi membangun kerajaan mafia di sana. Demikian saya baca dalam lembar lembar buku berjudul The Godfather karangan Mario Puzzo.
Saya masih terus membaca surat At-Tiin. Sampai kemudian Kiai Zainal Arifin Thoha mendirikan Pesantren Hasyim Asy’ari dan Komunitas Kutub, Cak Nun mengembangkan pengajian Maiyah, Kiai Nasruddin Anshoriy mendirikan Pesan Trend Ilmu Girindi pegunungan Selopamioro, Pak Jabrohim suntuk dengan menyelenggarakan Festival Muharam dan Pekan Seni Mahasiswa Muhamadiyah se-Indonesia dengan menggunakan instrumen LSBO PP Muhammadiyah dan saya menemani anak muda di Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta, Rumah Kreatif Sastro Mbeling, dan Majelis Ilmu Nahdlatul Muhamadiyyin, ide-ide dalam surat At-Tiin masih saya hidupkan dan saya rawat sampai hari ini.
Membaca dan terus membaca surat dari Tuhan, surat At-Tiin masih bisa mendidihkan ide-ide baru di dalam kepala saya.
Yogyakarta, 4 Juni 2021.