CakNun.com

Membaca Surat dari Tuhan (3)

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 6 menit
Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash

Pasca tragedi politik nasional tahun 1965 para orang tua Kotagede bergerak cepat menyelamatkan generasi anak-anak. Caranya dengan mengadakan Diniyah Course untuk anak-anak SD kelas 4,5,6. Juga untuk anak SMP. Anak-anak dari pelosok kampung Kotagede pun berdatangan kalau sore. Saya bisa berkenalan dengan anak lintas kampung yang di kemudian hari bermanfaat untuk menggerakkan organisasi pelajar dan pengajian anak-anak. Juga organisasi kesenian seperti grup teater.

Uniknya, yang diajarkan di Diniyah Course ini berbeda dengan yang diajarkan di sekolah atau di pengajian anak-anak. Banyak yang baru. Misalnya, untuk mata pelajaran akhlak, langsung ditekankan pentingnya akhlak kepada Allah Swt yang intinya bagaimana selalu mencintai Allah Swt sehingga Allah Swt pun mencintai manusia.

Semua tindakan baik, termasuk ibadah hendaknya dimaksudkan dalam kerangka mencintai Allah. Contoh perwujudan cinta kita kepada Allah melakukan hal yang konkret-konkret. Mencintai alam semesta, mencintai tumbuhan, hewan, sesama manusia, mencintai Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, mencintai ulama sebagai pewaris ilmu para Nabi.

Karena disampaikan dengan menarik, saya pun senang mengikuti pelajaran ini dan sebagian masih terus masuk dan menjadi bagian dari ingatan penting di masa kanak-kanak. Apalagi yang menyampaikan Ustadz Shodiq bin Abdul Kahar Muzakir. Atau putranya Mbah Dulkahar.

Di kemudian hari saya menyadari, apa yang dilakukan oleh para orang tua Kotagede ini merupakan langkah taktis sekaligus strategis dan juga menciptakan antitesis terhadap ideologi kebencian yang tahun tahun 1960 digencarkan oleh kekuatan untuk politik dominan, kekuatan politik kiri yang telah bertransformasi menjadi bagian dari kekuatan politik Orde Lama. Dengan Diniyah Course diharapkan anak-anak terbebas dari virus ideologi kebencian itu. Maka yang diajarkan adalah ideologi cinta yang dikemas dalam mata pelajaran akhlak.

Dan ini, di kemudian hari saya menjadi kompatibel mengikuti kegiatan sastra Malioboro yang dipimpin oleh ‘khodimul ummah’ bernama Umbu Landu Paranggi. Kegiatan yang juga merupakan antitesis atau malah merupakan antioksidan politik berbasis ideologi kebencian yang dikibarkan selama Orde Lama berkuasa.

Selain mata pelajaran akhlak, dalam Diniyah Course, saya ingat ada mata pelajaran menikmati indahnya Al-Qur’an lewat pelajaran qiroah. Waktu itu surat surat pendek yang menjadi favorit adalah surat At-Tiin ( wattiini) dan Surat Al-Qodar (Inna anzalnahu). Untuk surat panjang adalah surat Ar-Rahman dan surat Maryam. Saya tidak tahu kenapa ustadz yang mengampu pelajaran qiroah memilih surat itu sehingga populer di kalangan anak-anak. Bahkan tetangga saya ada yang setiap hari mengaji dengan suara lantang sehingga orang seluruh kampung bisa mendengar.

Saya yang punya modal suara fals semangat dan bergaya ikut pelajaran qiroah dan tidak percaya diri untuk ikut lomba atau musabaqoh Tilawatil Quran tingkat SD sekalipun. Pernah saya didaftarkan ikut MTQ antar kelas di SD saya dan saya memilih melarikan diri terbirit-birit, sehari mengungsi di tempat nenek teman saya di desa Wonokromo.

Nenek teman saya ahli batik tulis dan di rumahnya membatik dengan canting, dengan ‘malam’ atau, lilin membatik mencair panas dengan uap beraroma khas. Nenek teman saya ini juga ahli memasak gudeg gurih gaya Wonokromo dengan nangka setengah matang. Di desa ini saya berjalan keliling dan napak tilas melihat langgar-langgar yang dulu merupakan pesantren tempat Ayah, paman, pakde dan ulama kelas kampung Kotagede, Karangkajen, dan Kauman belajar ilmu agama dan ilmu alat. Termasuk ilmu membaca Al Qur’an dengan gaya tartil, bukan gaya qiroah. Dengan demikian untuk membaca Al-Qur’an dengan gaya tartil saya cukup percaya diri, bukan gaya qiroah yang mempergunakan teknik vokal kelas atas atau kelas advance.

Karena pernah mengikuti kursus agama itu saya menjadi akrab dengan surat Ar-Rahman dan ingat lekuk liku lagunya. Kalau ada orang membaca dengan gaya qiroah saya bisa mengikuti walau dengan suara amat lirih. Surat Ar-Rahman merupakan salah satu surat dari Tuhan yang banyak dibaca atau didengarkan. Bunyi surat dengan ayat-ayat yang unik. Di tengah penjelasan dari informasi yang membangkitkan kesadaran kosmos pembaca surat ini digelitik oleh Tuhan dengan pertanyaan yang bernada menggugat kebiasaan manusia yang jarang bersyukur malahan sering mendustakan ayat-ayat Tuhan.

Mendustakan nikmat dari Tuhan. Kalau dibaca dengan tartil, khidmat dan khusyu’ surat ini sering mendatangkan air mata. Jiwa-jiwa yang tunduk yang mengaku bodoh dan banyak dosa serta terlalu jauh mengembara di pasar-pasar maksiat begitu mendengar surat ini tumbuh kesadarannya untuk bertaubat, tumbuh keinginan untuk kembali suci dan menapaki jalan dan taman yang subur oleh bunga-bunga pahala, rahmat, barokah dan buah-buah keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Di YouTube, surat ini pernah panen viewer sebanyak 16 juta dan ada kemungkinan sebagian besar dari mereka menangis setelah membaca dan mendengarkan ayat-ayat Allah Swt dalam surat ini. Dan tangis mereka membasahi jiwa dan semesta dan meneguhkan iman bahwa Allah Swt ada, hari akhir ada dan pasti terjadi, manusia akan menghadapi pengadilan yang paling adil di akhirat nanti karena semua saksi dan bukti perbuatan manusia tidak bisa dimanipulasi seperti yang terjadi di pengadilan dunia yang sering tidak adil dan banyak lucunya karena saksi dan bukti bisa dimanipulasi.

Data-data forensik yang tersaji di pengadilan akhirat nanti orisinil, otentik, akuntabel karena disimpan dalam the biggest data Tuhan yang hardisknya seluas semesta dan tercatat dalam durasi waktu jutaan tahun atau lebih selama proses selama penciptaan dan pemeliharaan alam semesta yang dilakukan oleh Tuhan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir sekaligus. Saya sendiri merasa merinding dan gemetar kalau mengingat konstruksi makna yang fungsional yang terkandung dalam surat Ar-Rahman ini.

Apalagi secara kultural Surat Ar-Rahman ini mengingatkan dan menyadarkan saya akan pernah adanya tradisi qiroah di Yogyakarta yang dulunya dipelopori Masjid Syuhada Kotabaru Yogyakarta. Pusat penyebaran qiroah di Yogyakarta tahun 1960 ada di Masjid Syuhada ini. Apalagi masjid ini dekat sekali dengan Studio RRI Nusantara Dua Yogyakarta. Setiap Jum’at pagi RRI menyiarkan pelajaran qiroah yang disampaikan oleh Kiai atau ustadz dari Banjarmasin, Ustadz Anang Acil. Ini merupakan mata siaran favorit pendengar RRI Yogyakarta, selain sebelumnya ada siaran anak-anak Nasyiatul Aisyiyah.

Siaran qiroah dan anak NA di pagi hari Jum’at di tahun-tahun 1960 sungguh merupakan oase ruhani di tengah pidato politik yang membakar jiwa-jiwa kering yang bagai lalang, lengkap dengan lagu-lagu revolusioner yang bisa dipergunakan menjadi semacam pengalihan isu kemiskinan dan kelaparan dan remuknya ekonomi. Dengan lagu mars yang gegap gempita, lengkap dengan ganyang nekolim masyarakat yang sebenarnya lapar dan banyak yang mati kelaparan setelah menderita busung lapar karena sawah dipenuhi tikus ganas dan langit sering dipenuhi hujan abu letusan gunung Agung Bali yang menyesakkan dada dan memerahkan mata.

Dalam suasana yang demikian membaca surat dari Tuhan dengan gaya qiroah bisa sangat menyejukkan. Peran penting Masjid Syuhada dan RRI Studio Nusantara Dua Yogyakarta dalam hal ini jarang disebut orang. Dan hadirnya perantau dari Kalimantan Selatan selain berdagang kayu juga menyebarkan seni qiroah dalam membaca Al-Qur’an di Yogyakarta perlu dicatat dan dikenang.

Selain Ustadz Anang Acil, ada dosen saya Ustadz Hayatullah Hasani juga mahir membaca Al-Qur’an dengan gaya qiroah. Di sela memberikan ilmu tentang dasar-dasar dakwah beliau membaca ayat Al-Qur’an dengan gaya qiroah.

Berkembangnya seni qiroah yang waktu itu boleh disebut sebagai antitesa dari maraknya pidato politik bombastis sloganis makin terasa dan menguat ketika di sebuah malam di tahun antara 1965-1966 terjadi penganiayaan terhadap santri Masjid Syuhada oleh kelompok merah.

Waktu itu seorang santri qiroah pulang dari Masjid Syuhada naik sepeda malam hari. Santri yang tengah-tengahnya belajar ilmu qiroah ini selalu husnudhdhon kepada keadaan dan naif. Dia pulang dari Masjid Syuhada lewat Malioboro menikmati suasana malam yang dia sangka sudah normal dan aman. Dia terus bersepeda ke arah Alun-alun Utara lalu berbelok ke timur lalu masuk pelengkung Wijilan.

Dia dicegat segerombolan orang.

Dia ditanya cah ngendi dan dari mana. Dengan lugu anak muda ini menjawab kalau dia Cah Kotagede dan pulang dari Masjid Syuhada. Kontan dia dikeroyok. Ada seseorang dari pengeroyok ini yang punya ide menutup mata santri qiroah. Dia disuruh berjalan ke arah depan dengan mata tertutup dan dihajar oleh orang yang tidak dia kenal. Wajah dan tubuhnya bersimbah darah. Dia pasrah dan membaca wirid yang pernah diajarkan guru ngajinya. Dia merasa kalau pukulan dan tendangan bisa mampir ke tubuhnya, tetapi sabetan pedang selalu luput. Dia hanya merasa ada kesiur angin. Dia mendengar pengeroyoknya memaki-maki.

Pemukulan dan penendangan yang mengenai tubuh juga penyabetan pedang yang selalu luput ini dilakukan sepanjang jalan yang jauh. Dari Wijilan, terus ke selatan, berbelok-belok menuju Plengkung Gading. Dia khusyuk dengan wiridnya, lupa dengan sepeda yang ternyata dituntun oleh salah seorang pengeroyok. Prosesi penganiayaan lewat jalan panjang ini seperti berlangsung secara estafet. Dari gerombolan yang menghentikan dia di Timur Alun-alun Utara kemudian di satu tempat disambut oleh gerombolan dari kampung merah berikutnya.

Mereka yang mendapat bagian mengeroyok berikutnya segera berpesta kekerasan, memukul, menendang, memaki-maki dan tertawa. Korbannya, santri Masjid Syuhada ini merasa berjalan sangat jauh dan lama menerima siksaan ini. Dia juga heran, meski takutnya sampai ubun-ubun, tubuhnya masih kuat untuk menempuh perjalanan penuh siksaan ini. Dia hanya bisa mengira-ngira kalau dia berjalan atau dipaksa berjalan sampai luar Plengkung Gading terus sampai di Jogokariyan.

Sampai di suatu tempat, rombongan berhenti. Tutup mata dibuka, sepeda dikembalikan. Baru dia tahu kalau ada korban lain yang juga mengalami siksaan serupa. Anak ini sebenarnya korban salah tangkap. Karena bersepeda di belakang santri masjid Syuhada dia ikut ditangkap dan dihajar.

Wis kana mulih. Ini cedhak Karangkajen.”

“Awas, jangan mencoba membalas kami!”

Anak muda Kotagede pulang lewat Karangkajen, Nitikan, Tegalgendu dengan mengayuh sepeda dengan kepala pusing. Dia selamat sampai rumah dan mendapat perawatan.

Siangnya Kotagede geger. Dia shalat Jum’at di Masjid Gede Kotagede dan sehabis Jum’atan memberikan kesaksian atau testimoni atas peristiwa yang menimpa dirinya semalam.

Kejadian ini memicu dua hal. Pertama, anak-anak muda Kotagede yang punya bekal beladiri pencak silat justru berani melewati kampung merah yang waktu itu menjadi pendukung Orde Lama. Karena tahu yang lewat adalah pendekar atau setengah pendekar, maka tidak ada yang berani mencegat. Dan pernah ada yang mencegat, justru pendekar muda ini turun dari sepeda menghajar pencegatnya sampai babak belur.

Kedua, santri masjid Syuhada yang kebetulan paman saya sendiri justru makin giat mempelajari ilmu qiroah sehingga menjuarai berkali-kali MTQ tingkat daerah. Kemudian menjadi guru qiroah, menjadi guru Al-Qur’an di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta yang salah satu muridnya adalah anak saya. “Le, ilmu ngaji iki asale seka Mbahmu. Ini saya ajarkan kepadamu agar Mbahmu dapat ganjaran amal jariyah,” katanya kepada anak saya.

Selain menjadi guru ngaji, paman saya juga pernah berpengalaman sebagai wartawan dan kemudian mengembangkan kemampuannya menjadi mubaligh.

Karena di waktu muda pernah menjadi siswa pendengar di SMSR SSRI angkatan Untung Basuki, dia kenal baik dengan mas Untung Basuki. Dia pernah melukiskan adegan penganiayaan di malam jahanam itu. “Tapi dengan itu saya justru bersemangat belajar di Masjid Syuhada, malah saya kemudian diminta mengajar di masjid itu,” katanya.

Sampai hari ini, kalau ada orang mengaji surat Ar-Rahman dengan gaya qiroah, saya teringat pengalaman religius di malam yang mendebarkan itu.

Yogyakarta, 3 Juni 2021

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Menggerakkan Gelombang Kelima

Menggerakkan Gelombang Kelima

Kelemahan puncak masyarakat atau bangsa kita sekarang adalah tiada semangat untuk merawat, menyiram, menumbuhkan kembali secara permanen kemudian menggelorakan kesadaran akan nilai menjadi gelombang kesadaran, gelombang pikiran, gelombang kehendak dan gelombang-gelombang tindakan yang positif.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
Exit mobile version