CakNun.com

Membaca Surat dari Tuhan (11)

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 6 menit
Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash

Masa mengaji di pengajian anak-anak, masa penuh kegembiraan. Tidak formal. Lebih terasa bermainnya. Diajarkan banyak lagu perjuangan, maklum banyak di antara pengasuh pengajian adalah pelajar. Kalau mereka habis training PII, baik Batra, Mentra, atau PKP kakak pengasuh ini terasa memindahkan suasana training ini ke pengajian anak-anak.

Lagu baru penguat militansi dalam berdakwah diajarkan dan dengan penuh semangat anak-anak menghafal lagu-lagu ini. Ada yang memberi kultum penyemangat amar makruf nahi munkar yang dosisnya terlalu banyak. Ini menyebabkan hampir saja sehabis pengajian ada banyak teman sepengajian diam-diam menyusun acara menyerbu pasar untuk membubarkan perjudian roulette tradisional yang disebut puteran.

Untungnya ketahuan pengasuh pengajian yang cermat memperhatikan perilaku anak-anak. Dia curiga ada segerombolan anak pengajian sehabis ngaji tidak langsung pulang malah berkumpul seperti mengadakan rapat.

“Hei, kalian akan gelut kan? Gelut dengan cah ngendi?,” gertak pengasuh pengajian yang guru pencak silat itu tiba-tiba.

“Tidak kok, Kang. Kami tidak mau gelut,” jawab salah seorang anak.

“Lantas kenapa kalian seperti mengadakan rapat rahasia? Sementara teman yang lain sudah pulang.”

“Kami mau nggropyok wong puteran di tengah pasar. Boleh ya, Kang?”

Pengasuh pengajian anak-anak itu menggeleng.

“Kenapa nggak boleh Kang? Ini kan nahi munkar?”

Pengasuh pengajian anak itu ikut duduk di antara anak-anak.

Ia berbicara dengan suara lembut.

“Begini adik-adik. Kita kalau berjuang tidak boleh grusa-grusu. Tidak boleh ngawur. Tetapi harus pakai strategi, pakai otak, pakai Ilmu. Kalian masih anak-anak. Kalau mereka melawan dan menghajar kalian gimana. Kalian memang punya ilmu pencak silat. Tetapi mereka kan bisa juga pencak silat karena semua warga kota ini ketika kecil dan remaja belajar pencak silat. Dan lagi kalau kalian kalah dan babak belur pasti lalu mengadu kepada ayah kalian yang juga bisa beladiri. Kalau ayah-ayah kalian marah dan menyerbu tempat judi di tengah pasar pasti terjadi tawuran massal. Geger. Pasti polisi datang mendamaikan orang tua yang bentrok. Lalu diusut. Lalu diantara kalian ada yang mengaku mendapat gagasan menyerbu tempat judi itu karena tadi mendapat kultum di masjid. Nah, kami para pengasuh pengajian anak-anak yang jadi repot. Ditanyai pak polisi.”

“Lantas baiknya gimana Kang?”

“Kalian lapor polisi, atau saya yang lapor. Tapi tidak sekarang malam-malam begini. Sekarang pulang. Kalau kalian telat pulang pasti dicari orang tua.”

Anak-anak ini menurut. Setelah menyalami guru ngajinya mereka pamit pulang.

Guru ngaji di pengajian anak-anak itu lega.

Tapi lain hari ada pengalaman yang lebih mendebarkan. Yaitu ketika pengajian mengadakan hiking ke makam Imogiri. Hari itu hari Jum’at, sekolah libur. Semua anak dan pengasuh pengajian membawa ransel di punggung. Berisi sajadah, sarung, peci, minuman, dan bekal makanan.

Dari Kotagede kami jalan kaki menuju Segoroyoso, menyeberangi jembatan bambu atau sesek di atas kali Opak. Kami menyusuri jalan desa, keluar desa lewat alam terbuka.

Dari Segoroyoso yang terkenal dengan produksi kreceknya yang terkenal dan di zaman Mataram menjadi Puslatpur pasukan Mataram untuk melakukan simulasi penyerangan ke Batavia dan waktu zaman perang mempertahankan kemerdekaan pernah menjadi markas TNI yang brigadenya dipimpin oleh Pak Harto, kami tidak lewat jalan timur melewati Desa Pucung dan desa Nagasari yang indah pemandangannya, tetapi kami justru berjalan naik turun bukit dengan jalan setapak yang menantang. Kalau kami lewat Pucung dan desa Nagasari menuju belakang makam Imogiri jalan relatif tertata. Anak-anak pengajian lebih memilih rute baru dengan mendasarkan arah pada kompas yang dibawa oleh salah seorang pengasuh pengajian.

Dengan naik turun perbukitan, di musim kemarau, sawah kering kerontang, tanah pecah, hanya sedikit pohon perindang waktu yang ditempuh menjadi lebih lama, tetapi pengalaman menjadi lebih banyak.

Waktu kami berada di sebuah puncak bukit waktu sudah menunjukkan tengah hari. Hari itu hari Jum’at, kami memutuskan shalat jamaah Jum’at di puncak bukit yang kering. Ada sawah tanpa pohon mirip padang rumput kering. Ada potongan kayu bekas pohon besar di tebang kayu ini kami jadikan mimbar Jum’at.

Teman-teman memetik daun jati yang lebar untuk sajadah, tempat sujud. Semua mempraktikkan pelajaran tayamum karena di tempat ini tidak ada mata air. Ini sawah tadah hujan yang habis dipanen terakhir kali dengan mencabut singkong masih terlihat bongkah tanah tidak rata. Bagi kami cukuplah.

Ada anak melantunkan adzan, suaranya terdengar amat merdu di puncak bukit sepi ini. Sambil menahan perut yang mulai lapar kami semua melaksanakan ibadah Jum’at. Saya diminta menjadi khatib. Khatib di alam bebas. Dalam hati saya ingat novel karya pak Kuntowijoyo, Khutbah di Atas Bukit. Ternyata yang berkhutbah di atas bukit di alam nyata bukan Pak Kuntowijoyo, tetapi saya. Dalam hati saya tersenyum. Dalam hidup saya tercatat saya dua kali khutbah Jum’at di alam bebas dan sekali menjadi imam shalat Dhuhur. Shalat jamaah Dhuhur ini kami lakukan waktu kami berada di dekat Kali Opak dan kami berwudlu dengan air segar di kali ini. Kami waktu itu hiking menyusuri bukit bukit sekitar kali Opak di utara timur Plered.

Kembali ke petualangan membawa anak-anak pengajian mendaki bukit dan menuruni jalan terjal tersebut, yang ternyata kami sampai di dekat Sindet.

Sindet sebuah desa yang dulu sangat sepi sebelum dibangun kompleks perumahan. Dulu ada bumi perkemahan yang saya bersama teman-teman kakak pembina Pramuka pernah berkemah di sini dalam perkemahan besar antar pembina yang karena usia dikategorikan sebagai Pramuka Pandega. Jelas Pramuka Pandega ini sangat serius. Upacaranya, juga lombanya. Mirip pelatihan militer dengan disiplin ketat banget saya waktu itu menikmati. Paling tidak meningkatkan militansi dalam mengajar Pramuka.

Dan pengajian anak-anak kami ini memang didesain dari oplosan metode pendidikan pesantren, Pramuka, training model PII, model perguruan pencak silat dan disiplin pendidikan di kelompok teater.

Yang jelas dari oplosan metode pendidikan ini menghasilkan sesuatu yang unik. Kami menjadi akrab dengan solidaritas tinggi, memiliki kecakapan memecahkan masalah, militan dalam bekerja di sebuah tim untuk menjalankan misi dakwah. Meski pada awalnya, seperti pengalaman yang mendebarkan ketika kami sampai di kompleks makam Imogiri lewat samping. Kami memutari tembok makam.

Sampai di depan sebuah gerbang makam terlihat seorang abdi dalem sedang memandu peziarah untuk melakukan ritual di depan pintu makam. Kami menguping apa yang terjadi. Ternyata peziarah itu meminta sukses dan kenaikan pangkat yang ini disampaikan oleh abdi dalem kepada penghuni makam. Mendengar ini salah seorang dari pengasuh pengajian anak tidak tahan. Dia pernah mengikuti training pelajar dan pernah berlatih teater. Dengan teknik vokal yang mantap dia berteriak, “Adik-adik lihatlah. Ini sungguh praktik kemusyrikan yang nyata!”

Abdi dalem dan peziarah kaget, tersentak dan marah. Anak-anak tertawa dan pengasuh pengajian ini dengan gaya seorang Theretias dalam lakon Oedipus Rex melanjutkan kata katanya,”Lihatlah, lihatlah orang tersesat ini marah karena saya menyampaikan kebenaran!”

Dengan wajah merah padam dua orang itu berdiri dengan tangan terkepal. Melihat keadaan genting ini saya membuat langkah taktis. Pengasuh pengajian anak dan rombongan anak-anak pengajian saya suruh cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Setelah mereka jauh saya mendekati dua orang itu minta maaf dan memintakan maaf atas kelakuan anak-anak yang mengganggu ritual mereka. Melihat saya bersungguh-sungguh, mereka berdua reda kemarahannya. “Kami maklum, anak zaman sekarang memang suka kurang ajar,” kata abdi dalem itu.

“Ya, Pak, karena itu maafkan kami,” kataku merendah sambil tetap waspada dan tanpa sadar dua kakiku membentuk formasi muda kuda bertahan.

Dua orang itu rupanya memperhatikan sikapku yang merendah tetapi waspada.

“Ya, nggak papa Dik. Lain kali teman-temanmu itu diajari sopan santun,” kata peziarah yang terpaksa mengulang ritualnya.

“Ya, Pak, terimakasih atas nasihatnya,” kataku kemudian balik badan, berjalan pelan menuju arah anak-anak tadi menghilang. Telingaku tetap kupasang aktif, kalau ada yang menyerang dari belakang siap menghindar lalu lari.

Ketika ketemu dengan rombongan dengan anak-anak dan pengasuh pengajian yang emosional tadi saya jelaskan bahwa bersikap lemah lembut tetap yang terbaik.

“Saya tahu, kalau terjadi gelut, kita mungkin tidak bisa dikalahkan, tetapi juga belum tentu menang. Maka sebaiknya bentrok tetap dihindari,” kataku.

Dengan kompak mereka menurut kata kataku yang ketika mendongeng sering menggambarkan adegan gelut bermutu dan dimenangkan pihak yang membela kebenaran.

Dengan solidaritas tinggi seperti ini saya dan pengasuh pengajian anak melakukan eksperimen menghidupkan ayat-ayat suci dalam sebuah pertunjukan dramatik. Kami memilih surat Al-Fiil dan membagi pemain menjadi tiga kelompok. Kelompok yang menggambarkan pasukan Abrahah yang menunggangi gajah, Abdul Muthalib dan pengikutnya dan satu kelompok lagi menggambarkan burung-burung Ababil. Lalu ditunjuk sutradara dan seorang narator.

Kami tidak menggunakan instrumen musik, kecuali musik mulut berupa yel-yel dan teriakan berirama dengan menunggu kode dari narator yang membaca puitisasi terjemahan ayat Al-Qur’an yang dibaca dengan gaya deklamasi, yang setiap kalimat tertentu disambung yel atau teriakan dari gerakan indah dramatik.

Dengan kostum seadanya. Burung Ababilnya mengenakan kostum mukena ibu anak-anak yang diambil dari rumah. Pasukan bergajah memakai sarung yang diikatkan di kepala. Sutradara dan narator mengenakan peci dan busana muslim warna cerah.

Pertunjukan ini dilakukan di kantor Kelurahan Singosaren yang waktu itu terletak di desa atau kampung Joyopranan. Gayeng, meriah, dan sukses. Anak-anak gembira dan penonton puas. Pada kesempatan berikutnya, dalam sebuah pengajian muda-mudi kami pengasuh pengajian mencoba menghidupkan ayat-ayat suci dalam surat Al-Kahfi. Cerita penghuni gua yang lari dari kejaran serdadu kerajaan sebuah rezim dan ketika ada di antara mereka pergi ke pasar dengan membawa koin uang berusia tiga ratus tahun sungguh menarik kalau dijadikan adegan-adegan dalam drama dua babak.

Kami menggunakan teknik improvisasi model ketoprak. Bermain drama tanpa naskah. Terjemah dari ayat-ayat itu cukup jadi pedoman gerak dan dialog dalam drama. Dan kami pemain laki-laki semua bersemangat main di sebuah longkangan rumah tradisional yang besar dan luas. Apalagi yang menonton adalah muda-mudi, yang kebanyakan di antara mereka adalah pengasuh pengajian anak-anak Puteri di sekitar tempat itu. Kami sungguh bahagia ketika muda-mudi yang menonton pertunjukan menghidupkan ayat-ayat dalam surat Al-Kahfi ini disambut tepuk tangan dan teriakan puas oleh penonton.

Saya rasakan ada kekompakan penghayatan antara pemain drama dengan penonton yang muda-mudi ini. Ternyata menghidupkan surat dari Tuhan dengan membuat pertunjukan dramatik cukup mengasyikkan. Surat Al-Fiil, surat Al-Kahfi, dan surat Al-Hasyr yang kami garap menunjukkan hal ini. Syaratnya kami harus senasib, kompak dengan solidaritas korp yang tinggi. Yang ini antara lain dibentuk oleh jam terbang yang tinggi sebagai pengasuh pengajian anak-anak atau sebagai pembina Pramuka.

Yogyakarta, 24-25 Juni 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik