Membaca Surat dari Tuhan (1)
Saya bukan orang yang rajin sekali membaca kitab suci. Sebab saya selalu tertatih-tatih atau tersendat gara-gara saya pernah belajar bahasa Arab dan ilmu tafsir elementer. Dengan ilmu bahasa Arab dan ilmu tafsir yang ibarat jurus beladiri hanya terbatas satu jurus ini, ketika membaca ayat-ayat dalam kitab suci yang dikelompokkan dalam kelompok surat saya sering tergoda untuk memberi makna baru.
Saya merasakan, ketika membaca kitab suci seperti membaca surat-surat dari langit, surat dari Tuhan. Tuhan yang Tuhan, Allah subhabanu wa ta’ala. Saya sering merenung, kenapa Tuhan mengirim surat-surat suci ini kepada manusia dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam? Di dalam surat itu, lewat ayat-ayat, disebutkan kalau kumpulan surat suci bernama Kitab Suci, yakni Bacaan Mulia (Al Qur’anul Karim) yang diturunkan atau dikirim kepada umat manusia, adalah sebagai petunjuk yang tidak ada keraguan di dalamnya. Juga sebagai penjelasan atas petunjuk sekaligus instrumen pembeda. Pembeda antara yang haq dengan yang bathil, pembeda antara jalan terjal naik yang penuh rintangan dan halangan dengan jalan menurun yang dihiasi bayang-bayang pemenuhan nafsu.
Ketika suatu hari sehabis mengkhatamkan Al-Qur’an dan membaca doa khatmil Qur’an yang kalau dinyanyikan anak-anak TPA saat wisuda terdengar indah sekali dan pernah menghibur tiap sore ketika saya sebulan sakit di RS Sardjito dan anak-anak TPA Masjid perjuangan bernama Masjid Mardliyah rutin melagukan doa itu tersiar lewat pengeras suara masjid.
Allhummarhamna bilquran. Waj’alhu lana imaman wa nuran wa hudan wa rohmah. Allhumma dzakkirna minhu maa nasiina wa ’allimna minhu maa jahilna warzuqna tilawatahu aana-allaili wa’atrofannahaar waj’alhu lana hujjatan ya rabbal ’alamin.
Itu bunyi doanya. Kita memohon kepada Allah Swt agar dengan membaca Al-Qur’an kita diberi petunjuk dan rahmat. Diingatkan bila lupa, dilimpahi ilmu jika bodoh dan seterusnya.
Hal-hal sepenting ini yang membuat hari hari pertama diskusi Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin di pendapa rumah pak Daliso dulu diwarnai dengan pencarian tentang metode tafsir Al-Qur’an yang pas untuk kebutuhan umat Islam hari ini dan kompatibel untuk memecahkan masalah kehidupan yang tengah dihadapi. Diskusi membahas masalah ini dilakukan tiga kali paling tidak. Berbagai metode tafsir yang pernah ada dikaji ulang sampai akhirnya ketemu metode tafsir fungsional berbasis konstruksi makna.
Yang dimaksud dengan tafsir fungsional adalah menggali kemungkinan tafsir yang bisa berfungsi sebagai amal atau kegiatan tertentu sesuai dengan semangat dan arah dari ayat yang tercantum dalam surat Al-Qur’an. Untuk ini konstruksi makna sebuah surat dilakukan lebih dahulu. Misalnya dengan menuliskan mata rantai makna yang ada dalam surat itu. Misalnya dalam surat Al-Fatihah yang diawali ayat basmalah dan diakhiri dengan doa agar diberi petunjuk menempuh jalannya orang yang konsisten dan diberi nikmat berupa petunjuk itu sendiri. Dalam konteks ini ayat-ayat dalam kitab suci yang menjelaskan bahwa kitab suci punya potensi kuat sebagai pembawa pesan petunjuk jadi masuk. Lalu kemungkinan mengamalkan ayat dalam surat Al Fatihah digali. Misalnya, bagaimana mengamalkan basmalah dan seterusnya.
Umat Islam Indonesia paling ahli dalam membaca Al-Fatihah. Yang ahli dalam mengamalkan ayat-ayat dalam Al-Fatihah belum kami temukan. Dulu memang pernah ada tokoh Islam yang menulis buku berjudul Samudera Al-Fatihah. Ketika saya menjadi penjaga perpustakaan Pemuda Muhammadiyah Kotage saya hampir hapal isi buku yang menjadi koleksi perpustakaan ini. Suatu hari datang seorang tokoh seniman budayawan Muslim. Dia menanyakan buku itu. Dia kami suruh menunggu sementara saya sendiri mencari buku ini. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit buku ini ketemu. Buku saya bawa ke hadapan tamu itu. Kontan wajahnya berbinar. Dengan sorot mata memancarkan kebahagiaan dia bilang kalau dirinya sendiri yang menulis buku itu. Dia sudah tidak punya koleksinya, padahal buku ini mau dicetak ulang. Dia memberi uang ganti rugi dan berjanji akan mengirimkan buku cetak ulang ke perpustakaan. Al-Fatihah membuat orang bahagia, batinku.
Lalu saya mendapat banyak info kalau Al-Fatihah menyimpan fungsi sebagai alat untuk menyembuhkan orang yang sakit, berdasarkan bunyi sebuah hadits. Ada ustadz yang punya pengalaman bisa menyembuhkan sakit anaknya dengan membaca wirid Al-Fatihah. Anak itu sembuh. Sang ustadz pun mengembangkan metode penyembuhan dengan wirid Al-Qur’an ditambah ayat ruqyah, bekam dan herbal dosis tinggi.
Teman teman masih mempunyai kemungkinan lain yaitu ‘menerjemahkan’ ayat tekstual ke dalam tindakan atau serangkaian kegiatan yang kontekstual. Dari basmalah melahirkan apa? Dari hamdalah melahirkan tindakan taktis dan strategis yang bagaimana? Mengapa KPK bisa dimaknai sebagai turunan tafsir tindakan untuk penyeimbangan hidup berdasarkan hukum yang adil sebagaimana semangat ayat maliki yaumid din ketika beroperasi memberantas kolusi korupsi dan nepotisme?
Frekuensi membaca Al-Fatihah sudah sangat tinggi. Akan tetapi frekuensi pengamalan Al-Fatihah masih sangat rendah, atau malah belum ada.
Bagaimana persisnya bentuk pengamalan iyyaka na’ budu wa iyyaka nasta’in yang bukan semata tindakan klaim juga belum ditemukan.
Jadi ketika membaca surat Al-Fatihah kebanyakan dari kita baru sampai pada ikhtiar membaca yang biasa-biasa yang sepertinya tidak berdampak kepada perubahan kualitatif atas hidup dan kehidupan nyata kita selama ini. Mungkin ini disebabkan ketika kita membaca surat dari Tuhan yang bernama surat Al-Fatihah kita belum serius.
Yogyakarta, 31 Mei 2021