Mematikan Gelombang?
Memang capek rasanya. Saya pernah mencoba me-report akun-akun di kanal youtube yang seringkali mengambil cuplikan video maiyah. Belum lagi jika membaca komentar yang seringkali lebih bias dari informasi yang disampaikan. Tetapi jumlah video yang masif tentu tidak sebanding dengan tangan dan waktu yang masih harus berbagi dengan aktivitas lain. Menjengkelkan memang. Ketika kita mengetahui ada pemelintiran informasi, bahkan secara disengaja dengan motif yang rupa-rupa. Ada sekadar mencari penghasilan, lebih-lebih yang sengaja berlatar belakang memecah belah umat.
Juga tentang Mbah Nun yang banyak videonya dikaitkan dengan peristiwa dan konteks yang seringkali berbeda. Lebih-lebih properti pribadi maiyah yang disebarluaskan tanpa mengetuk pintu dan meminta izin terlebih dahulu. Memang kemudian ada yang bercelatuk bahwa risiko menjadi seorang public figure harus siap terhadap segala kemungkinan yang mengganggu privasinya. Tetapi zaman yang beranjak semakin tua, taumpaknya tidak semakin mendewasakan etika bersosialisasi dalam media massa.
Sulit memang mengontrol tangan-tangan yang semakin tidak bisa lepas dari gadget. Setiap peristiwa kalau bisa diabadikan entah lewat gambar atau video, pasti akan diabadikan. Banyak sekali foto anak-anak muda misalnya di toilet umum suatu bioskop, di atas meja makan, di dalam kamar pribadi mereka, bahkan di dalam kamar mandi pribadi. Untung-untung sebagian besar orang belum hilang akal sampai menganggap wajar mengambil momen adegan mesra dengan pasangannya lalu mempostingnya. Naudzubillah.
Indonesia memang bangsa yang sering kagetan. Sejak hilang jati diri pasca kemerdekaan dan kemajuan hanya dikte dari bangsa lain, Indonesia menjadi bangsa follower yang tujuan hidupnya hanya berkutat materialisme. Karena kagetan, maka yang dilakukan pemerintah hanya adopsi kemajuan. Dulu (mungkin sekarang masih meskipun jumlahnya berkurang), ketika orang-orang ingin naik kereta di stasiun, hampir pasti terjadi tabrakan antara penumpang yang ingin keluar dan yang ingin masuk. Butuh waktu belasan bahkan puluhan tahun untuk sekadar memahami dan mengatur bahwa penumpang yang keluar memiliki prioritas untuk didahulukan dan menghindari adanya tabrakan di pintu masuk kereta.
Juga misalnya, pasca pesawat terbang mengalami perubahan fungsi dari moda yang menawarkan kecepatan dan kenyamanan menjadi moda yang mengejar keuntungan dengan menurunkan tarif, mempersempit ruang duduk sehingga muat lebih banyak penumpang, dan meniadakan menu meals on board, kondisi toilet pesawat begitu mengenaskan. Penjelasannya tentu sederhana. Penumpang anyaran dan ‘ekonomis’ belum mendapatkan pembelajaran mengenai cara menggunakan toilet yang benar.
Indonesia pintar membangun infrastruktur fisik (meskipun dengan utang), tetapi begitu gagap membangun infrastruktur lunak nya. Sehingga banyak fasilitas publik yang jauh dari kata nyaman karena tidak siapnya pengguna. Sekolah hanya mengajarkan ilmu hitung dan ilmu pasti. Pokoknya, ilmu yang laku untuk pelaku industri. Sekolah miskin ajaran tentang bagaimana bersosialisasi di ruang publik, menggunakan fasilitas publik yang menjadi tanggung jawab bersama, atau memahami aturan-aturan umum berikut falsafahnya. Kita mengimpor barang industri dari negara lain tapi lupa bertukar nilai yang menyertainya. Di Jerman, anak-anak kecil bukan sibuk latihan membaca dan berhitung. Mereka disibukkan dengan pelajaran bagaimana cara menyeberang jalan, menyeka air di wastafel setelah digunakan, menggunakan flush di toilet, dan memasuki fasilitas umum seperti museum atau restoran.
Ada dinamika antara infrastruktur fisik dan lunak. Saling melengkapi dan memperkaya program socio engineering di masa depan. Tanpa pemahaman yang memadai terhadap benda dan kegunaannya, maka ekses dari semua itu hanya terpacunya kepuasan karena sekedar memiliki. Mirip anak kecil yang bakal bosan dengan mainannya. Juga melihat gadget yang berubah menjadi barang semi wajib di masyarakat. Yang difasilitasi hanyalah kemudahan mendapatkan gadget. Entah harganya yang murah atau cara pembayarannya yang mudah. Tetapi tidak ditemui dalam sekolah manapun di Indonesia yang khusus mengajari tentang bagaimana menggunakan gadget secara bijaksana. Bahkan tidak ada aturan pada umur berapa orang diperbolehkan menggunakan gadget sendiri. Aturan yang ada hanya membatasi terhadap konten yang dianggap meresahkan. Frasa “dianggap meresahkan” pun disesuaikan dengan interpretasi pembuat kebijakan dalam UU ITE.
Akhirnya sekarang kita bisa mengalami sendiri. Berbagai kemudahan memang ditawarkan; e-payment, virtual meeting, order makanan, kirim barang dan banyak lagi. Meskipun juga harus disadari eskalasi perpecahan dan segala potensi penyertanya semakin hebat karena munculnya gadget. Kita tahu gadget seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak atau membunuh. Barang netral. Maka faktor pengguna menjadi signifikan penting untuk diatur dan didewasakan. Tapi ya wes kadung. Mudharat-nya sudah sampai tingkat murokkab. Kuadrat dan eksponensial.
Susah sekali tentu. Membatasi orang untuk tidak merekam acara yang memang diperuntukan untuk publik. Jika yang diupload para pembajak di Youtube itu adalah lagu, film, atau dokumenter yang memang dibuat orang lain secara pribadi, maka mudah bagi kita untuk mengontrol re-upload-nya. Bisa dengan menelusuri metadatanya dan meminta platform unggahan untuk takedown. Tapi jika yang di-upload adalah acara yang memang diperuntukan untuk publik, didatangi publik, dan dikonsumsi publik, akan susah sekali mengontrol orang-orang yang mengambil gambar dan video pada saat acara berlangsung. Yang bisa dicegah mungkin dengan penelusuran keywords di platform digital. Misal setiap tag judul video yang menyertakan nama Mbah Nun atau Maiyah akan di-takedown kecuali yang berasal dari akun resmi Maiyah di Youtube misalnya.
Tetapi permasalahan mendasarnya justru bukan dalam hal teknis. Setiap hal teknis yang diinisiasi manusia akan bisa dicari celah lemahnya untuk bisa ditembus. Yang justru bermasalah dan krusial adalah sampai kapan kedewasaan kita dalam bersosial media tidak bertumbuh-kembang. Sampai kapan sekolah hanya berhenti kepada urusan materialisme yang mencetak siswa menjadi penerus roda industri.
Maiyah justru hadir menjadi pendidikan alternatif. Meskipun juga sama seperti yang terjadi dalam setiap sekolah. Tidak ada guru yang bisa seratus persen memastikan bahwa anak didiknya paham benar apa yang dimaksudkan. Maiyah sebagai sekolah dengan beribu-ribu siswa didik harus menempuh perjalanan panjang untuk menumbuhkan kesadaran kolektif di tengah ekosistem pendidikan yang bertujuan berseberangan. Jamaah Maiyah bisa jadi seperti Musa yang baru bisa memahami keadaan setelah gurunya, Khidir harus bersiap meninggalkannya. Itu pun jika kita sebagai jamaah Maiyah pantas disandingkan dan diserupakan dengan kisah Nabiyullah Musa dan Khidir.
Maiyah adalah nilai yang bergelombang. Dan setiap muatan akan berakhir jika tidak ada lagi gelombang baik yang memutari inti muatan ataupun yang menjalar keluar. Permasalahannya manusia hidup selalu berhadapan dengan gelombang. Dan sialnya (atau untungnya) manusia juga kekal sebagai gelombang. Faman ya’mal mitsqola dzarrotin khoiro yarroh, waman ya’mal mitsqola dzarrotin syarron yaroh. Tak perlu dijelaskan tentang teori bootstrap paradox ataupun apocalypse. Intinya selalu ada dinamika gelombang. Baik dan buruk. Jika seperti itu halnya, bagaimana (mungkin) Maiyah bisa mati?