CakNun.com

Memasuki Pasca Reformasi: Perubahan Tanpa Melukai

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 6 menit
Image by Mohamad Trilaksono from Pixabay

Untuk menuju ke dewasa dalam beragama dan dewasa dalam berpolitik kemanusiaan dan politik kebangsaan maka diperlukan kerendahan hati, keterbukaan pikiran, dan lapang dada seluas samudera ditambah cakrawala dalam menghadapi, membersamai, dan menemui perubahan fundamental yang sangat mungkin segera terjadi atau yang akan terjadi beberapa saat nanti.

Beberapa saat itu berapa lama? Jawabnya bisa kita ukur dan kita bayangkan dari dan lewat tafsir serta tadabbur kita pada ayat terakhir surat At-Thoriq. Famahhilil kafiirina amhilhum ruwaida. Amhilhum ruwaida itulah gang disebut beberapa saat lagi. Dalam perspektif dan gerak optimis kita bisa menjangkaunya, menjangkau mumkinul wujud berupa perubahan itu, dengan tenang dan damai. Itulah salah satu arti dan makna penting menjadi dewasa dalam beragama dan dewasa secara politik. Mengapa dewasa beragama dan dewasa dalam berpolitik perlu dihubungkan? Sebab inilah masalah yang mungkin saja kita hadapi.

Menurut jadwal perubahan besar di Indonesia, kata simbah yang tidak mau disebut namanya, sekarang sudah saatnya kita memasuki era Pasca Reformasi atau Post Reformation era. Reformasi sudah berusia 24 tahun dan kelihatannya banyak orang sudah melupakan atau malahan bosan dengan kata reformasi sebagaimana dulu pernah ada yang bosan dengan kata revolusi. Bahkan diduga dan dirasakan ada gerak sejarah yang seperti berjalan di tempat atau mundur ke era pra reformasi, yaitu era Orde Baru. Era Orde Baru yang ditandai dengan tiga perilaku yang bersahabat kompak seperbuatan dan cenderung menyebar keburukan, bukan kebajikan. Yaitu kolusi-korupsi-nepotisme alias Trio KKN.

Trio KKN ini di akhir Orde Baru begitu dimusuhi dan dijadikan jargon atau malahan dijadikan amunisi perjuangan untuk menumbangkan Orde Baru. Trio KKN bahkan disebut sebagai penyakit akut dan penyakit menular massif yang merusak serta membuat sakit bangsa dan negara. Kalau dalam istilah ilmu kesehatan, sebenarnya di masa itu telah terjadi pandemi sosial di mana virus korupsi-kolusi dan nepotisme begitu ganas menginfeksi tubuh bangsa dan negara. Maka untuk melawan ganasanya virus KKN diperlukan gerak antitesis yang kuat berupa gerakan Reformasi. Gerakan Reformasi awalnya dimaksudkan untuk membungkam, membersihkan, dan mendisfungsi virus korupsi-kolusi-nepotisme itu.

Ada juga yang mengatakan, kondisi dalam tubuh bangsa dan negara di era Orde baru ibarat di dalam dunia botani atau tumbuh-tumbuhan telah demikian menderita karena masuk dan terjadinya penetrasi yang ganas tiga jenis benalu yang kompak manis membentuk jaringan benalu sehingga efektif menghisap kekayaan rakyat, kekayaan bangsa, dan kekayaan negara secara serentak.

Oleh karena itu, Trio benalu KKN harus diberantas. Dijadikan musuh bersama dan agar sehat pohon bangsa harus dibersihkan dari benalu-benalu ini. Caranya dengan menebang pohon Orde Baru lewat metode reformasi, Pohon Orde Baru pun ditebang secara simbolis, secara teknis, dan secara strategis sehingga bangsa dan negara bersih dari benalu korupsi-kolusi-nepotisme sambil sekaligus menumbuhkan pohon reformasi. Diharapkan pohon reformasi menjadi pohon yang bersih dan sehat karena tidak mengenal kompomi terhadap munculnya tiga sekawan benalu itu, korupsi-kolusi-nepotisme itu.

Kalau menurut bahasa wong ndeso atau menurut idiom budaya desa, reformasi dulu itu adalah sebuah upaya perubahan yang dilakukan lewat upacara Bersih Desa, membersihkan desa dari segala macam sengkala atau energi buruk yang mungkin saja sudah masuk ke dalam tubuh desa dan warga desa itu. Maka dalam upacara Bersih Desa kalau dalam keadaan genting di mana energi buruk itu mendekati dominan atau malah dominan sama sekali maka dipentaskan wayang ruwat dengan dalang ruwat yang kekuatan spiritualnya tinggi sekali. Bersih desa pun memiliki makna sebagai ruwatan desa. Dalam konteks ini, Reformasi nasional tahun 1998 bisa diberi makna dan tafsir baru sebagai Bersih Negara dan Bangsa atau Ruwatan Bangsa dan Negara.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Salam Bahagia dan Sejahtera untuk Mbah Nun

Salam Bahagia dan Sejahtera untuk Mbah Nun

Sesungguhnya bumi Jombang, Yogya, dan Indonesia sangat beruntung dengan lahirnya hadirnya dan berkembang serta bergeraknya sedulur tuwo Emha Ainun Nadjib yang sekarang kita panggil dengan penuh rasa cinta: Mbah Nun.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
Exit mobile version