Memastikan Tak Ada Defisit Iman Selama Pandemi
Mbah Nun berpesan kepada penggiat agar jangan tergesa-gesa menyalahkan Tuhan. Kecenderungan menyalahkan ini bukan saja bermasalah. Melainkan juga terjebak perilaku justifikasi sepihak.
Barangkali terkesan klise. Tapi betapa benar pandemi ini membawa dua sisi mata uang. Kegembiraan dan kesengsaraan bergantung pada pengalaman individu masing-masing. Di depan penggiat Simpul Maiyah kontingen Ponorogo dan sekitarnya, Mbah Nun mengajak bermuhasabah sejenak.
“Selama pandemi ini awakmu laba dan ruginya apa saja? Defisit atau labamu seperti apa? Tidak hanya soal penghidupan, sosial, dan psikologis. Ada tidak yang merasa defisit iman?” tanya Mbah Nun.
Di pendopo Ponpes Dipo Kerti, Ponorogo, Senin pagi (29/03) sekitar 20-an penggiat secara bergantian setor pengalaman selama bertahan hidup di tengah Corona. Sebagian besar mengamini kalau pihaknya terkendala masalah penghasilan. Namun, hambatan tersebut tak lantas menciutkan tekad.
Pengalaman bermaiyah membentuk mental tangguh penggiat. “Mau seperti apa ya tergantung bagaimana kita bisa menikmati. Dari yang sedikit pun kita bisa menikmati,” ungkap salah seorang peserta. Kecukupan di sini lalu dikaitkan dengan konsep nilai Jawa mengenai cukup lan dicukup-cukupke.
Kalkulasi untung dan rugi mendorong penggiat lebih kritis menghadapi efek pageblug. Di luar itu Mbah Nun berpesan kepada penggiat agar jangan tergesa-gesa menyalahkan Tuhan. Kecenderungan menyalahkan ini bukan saja bermasalah, melainkan juga terjebak perilaku justifikasi sepihak. Padahal, kejadian tertentu niscaya menyiratkan pembelajaran tertentu. Menyalahkah adalah tanda kekurangarifan.
Naik dan turunnya grafik pengalaman bertahan hidup sepanjang pandemi menunjukkan kehidupan selalu berlangsung dinamis. Dinamika tiap penggiat ataupun simpul inilah yang beraneka rupa. Dari beragam pengalaman, cerita Mas Rahadian, simpul Maiyah Blitar, menarik perhatian.
Ketika sebagian besar orang diputus hubungan kerja, Mas Rahadian justru mengajukan diri untuk keluar dari pekerjaan. Pasalnya, di awal pandemi sejumlah kerabatnya di-PHK. Meski ia tidak termasuk salah satu di antara mereka, dorongan untuk senasib dan sepenanggungan praktis terealisasi.
Mas Rahadian resmi keluar lalu mendirikan usaha kuliner. Bulan-bulan awal menjajakan dagangan secara daring. Seiring melonjaknya permintaan pasar, ia dan sang istri berani membuka lapak langsung. Usaha keluarganya ini tetap eksis sampai sekarang. Walau dibarengi pula dengan “persaingan usaha” yang menjual kuliner serupa.
Lain tempat, lain penggiat. Bila Mas Rahadian menemukan jalan penghidupan baru di awal pandemi, cerita Mas Deni — simpul Tulungagung — malah sebaliknya. Sebelum Corona ia punya dua outlet. Awal wabah Covid-19 sebenarnya belum begitu memukul. Tapi semakin lama kedua outletnya sepi pelanggan. Mau tak mau salah satunya harus gulung tikar. Tutup untuk menopang kebutuhan outlet satunya.
“Dulu ada dua sekarang jadi satu. Masalah itu tidak begitu berpengaruh sih. Tergantung sudut pandang kita,” ungkapnya. Kendati harus menelan pil pahit, kenyataan yang dihadapinya justru menuai hikmah. Bagi Mas Deni, pembelajaran inilah yang tak kalah penting di samping kesiapan menghadapi konsekuensi membuka usaha: untung dan rugi tak sekadar masalah finansial tapi juga nilai pengalaman.
Terdapat tiga fokus pembahasan yang diwedarkan Mbah Nun siang ini. Fase cara bertahan, berdaulat, dan membuka lebar pintu cita-cita. Langkah pertama inilah yang akan menopang dua tahap berikutnya. “Rezeki itu terletak dalam keterpepetan. Desakan keadaan akhirnya membuat kita pintar serta dinamis. Dalam antropologi Jawa disebutkan kalau menghadapi masalah itu tergantung pada diri sendiri. Seperti konsep cukup dan dicukupe tadi,” tandas Mbah Nun.
Kumandang azan dzuhur menandai selesainya acara. Mbah Nun langsung diminta ke ruang transit untuk beristirahat dan menikmati hidangan. Tak sampai setengah jam, Mbah Nun dan rombongan menuju mushola. Biasanya beliau tak berkenan menjadi imam shalat. Kali ini Mbah Nun bersedia. Terlihat beberapa jamaah menetaskan air mata usai menjalankan ibadah dzuhur. Tepat di deret belakang Mbah Nun.