Memangku Elang dan Naga
Tiba-tiba dia menyentak, tepat ketika kepala saya baru melongok lewat pintu apartemennya. Sembari masuk dan menutup pintu, saya menebak-nebak. Apakah tadi ketika mengambil pakaian-pakaiannya, saya melakukan kesalahan. Tapi belum selesai saya menduga-duga, dia nyerocos lagi, “Kita pernah ngobrol tentang politik kan?”
Oh, saya paham apa maksud dia. November lalu, seminggu setelah Pilpres, dia ngajak saya ngobrol sebentar. Biasanya, saat saya mengembalikan pakaian-pakaiannya yang sudah dicuci dan memasang seprai serta sarung bantal, dia tidak pernah ada di apartemen. Kalaupun ada, setelah tugas selesai, saya menyapa basa-basi sebentar, dan cus pulang. Tapi, waktu itu dia sedang baca koran, dan tanya pendapat saya tentang hasil perolehan suara Joe Biden.
Saya bilang hasilnya menarik dan menyenangkan. Tapi dia agak kurang senang dengan jawaban itu. Dia pun nyerocos panjang sekali dan yang saya tangkap ternyata dia seorang konservatif. Pasti milih Republik. Tentunya nyoblos Trump.
Dia terangkan panjang lebar bagaimana ekonomi sangat baik di masa Trump. Dan memang ekonomi meningkat. Mungkin kalau tidak dihajar Covid-19, ekonomi tetap baik dan Trump terpilih lagi.
Dari perspektif orang asing yang tidak punya hak nyoblos, yang menyenangkan dari Pilpres kemarin bagi saya bukan kemenangan Biden-Harris. Melainkan bagaimana Trump yang selalu merasa benar dan tidak pernah mengalah ini mengalami kekalahan.
Saya penasaran bagaimana orang yang analisisi psikologisnya dinyatakan unfit, tidak layak jadi presiden, akhirnya harus merasakan kekalahan di usianya yang sudah sepuh.
Saya tidak membantah sedikit pun apa omongannya. Justru saya menyenangkan hatinya dengan mengatakan bahwa Trump tidak pernah menyerang negara manapun secara militer.
Saya dengarkan terus, cukup mengiyakan saja, dan kadang merespons singkat. Sampai akhirnya tiba saatnya pamit, dia bilang senang sekali ngobrol dengan saya. Hahaha.
Saya selalu ingat kutipan dari buku wajib bacaan para pelaku MLM karya Stephen Covey, bahwa pembicara yang baik itu adalah pendengar yang baik.
Namanya Frank. Usianya 76 tahun. Pekerjaannya pegawai negeri. Pernah bilang ke saya kalau dia punya kanker. Tapi masih segar bugar. Hidupnya sebatang kara. Mungkin istrinya sudah meninggal.
Saya tidak pernah menanyakan hal-hal pribadi. Saya hanya menduga dari foto dia di masa muda yang dipajang di kamarnya. Sebuah foto pengantin. Ada foto anak perempuan kecil di sana, mungkin itu anaknya. Kalaupun ada, tentu tidak tinggal bersama Frank.
Lazimnya warga Amerika, hidup mandiri sampai tua. Tidak mau membebani anak-anak mereka. Kalau butuh hidup bersama, mungkin ke panti jompo saja. Tapi itu mahal ongkos bulanannya. Kalau tidak menabung sejak muda, ketika pensiun dan tua, tak cukup biaya.
Jika menyaksikan itu, sebagai orang Asia, saya cukup senang dengan Indonesia. Ikatan kekeluargaan masih ada. Anak-anak masih merawat orangtuanya. Di sini, memang jika anaknya bergaji pas-pasan, merawat orangtua itu cukup membebani. Tagihan dan cicilan banyak sekali. Dan itu rata-rata kehidupan warga Amerika.
Frank ini tampaknya seorang Yahudi. Dia sih tidak pernah bilang. Hari pertama saya ke apartemennya, sekilas saya melihat Kippah di atas meja. Kopiah kecil yang biasa mereka pakai ketika beribadah yang bentuk dan ukurannya mengingatkan saya kepada salah satu guyonannya Gus Dur: mirip kap BH. Baru ketika kedatangan saya beberapa minggu kemudian, saya melihat Taurat di mejanya. Dia memang Yahudi.
Dan ini cukup menarik bagi saya. Frank seorang Yahudi tapi Republikan, apalagi mendukung Trump. Padahal Trump selalu memberikan angin kepada kelompok ultra kanan yang beberapa kali terang-terangan sebagai Neo-Nazi. Kelompok yang setelah saya pelajari pikiran dan sikap-sikap mereka, ini tak lebih dari orang-orang yang kata Mbah Nun berpikir 3C: ciut, cethek, dan cekak. Sedikit jumlahnya dan tidak akan betah lama.
Nazi, yang waktu Frank baru lahir sedang membinasakan etnisnya di Eropa. Awalnya saya pikir orang-orang Yahudi ini cenderung Demokrat. Tapi ternyata tidak juga.
Sama seperti saya kira para muslim di Amerika ini pasti mendukung Demokrat. Karena Republik yang anti imigran. Dan mayoritas muslim di sini pasti imigran, rasanya lebih senang dengan Demokrat yang mendukung mereka.
Eh, ternyata tidak juga. Ada juga imigran muslim yang mendukung Republik. Mereka tidak mau kepada Demokrat karena partai ini memberikan jalan kepada kelompok LGBT.
Bagi saya lucu cara berpikir orang-orang di Amerika ini. Manusia dilihat hanya ada Demokrat atau Republik. Liberal atau konservatif. Seakan-akan itu sebuah cap identitas manusia.
Jamaah Maiyah yang dilatih berpikir proporsional oleh Mbah Nun, tentu akan lebih jernih melihat bahwa tidak mungkin ada manusia yang total liberal, konservatif, atau radikal. Semua itu hanya sifat atas perilaku atau sebagian sikap hidup manusia.
Ada waktunya kapan dan terhadap apa dia harus bersikap liberal. Ada saatnya dan dalam momen apa dia harus konservatif. Dan adakalanya ketika kepepet harus mengambil sikap yang radikal. Semua itu sifat manusiawi yang ada dalam diri manusia.
Saya jadi ingat Profesor Imtiyaz Yusuf, yang menyelesaikan Ph.D-nya di Philadelphia dan mengajar di Washington, kemudian mengajar di Malaysia dan Thailand.
Suatu ketika beliau bertemu Mbah Nun dan mendapat bekal cara berpikir yang seperti itu. Dan itu menjadi sikapnya tatkala di sebuah airport di Jerman, beliau oleh petugas di sana dikatakan radikal. Beliau tidak terima itu dan menentang cara berpikir yang generalis ini.
Semua manusia itu punya tindakan radikal dalam hidupnya. Tidak ada itu manusia yang radikal saja. Atau konservatif belaka. Profesor Imtiyaz menceritakan itu saat saya menjemput beliau untuk ke Kadipiro bertemu Mbah Nun yang kedua kalinya.
Frank sendiri pernah mengatakan kepada saya bahwa dia konservatif. Tapi saya tidak menanyakan dia konservatif dalam hal apa.
Yang penting setiap hari senin saya mengelola pakaiannya untuk dicuci di laundry apartemennya. Dan senin kemarin dia menyergap saya dengan pertanyaan di awal tulisan ini.
Usut punya usut, ketika saya masuk apartemennya, dia sedang nonton ketua DPR, Nancy Pelocy, yang hendak meng-impeach Trump lagi. Saya sempat lihat TV di kamarnya pas datang pertama pagi hari, sedang tayang Fox News. Oh, pantesan dia sewot.
Apapun berita yang keluar dari Fox News, pastilah dengan framing menyudutkan Demokrat. Sejak awal memang media ini menahbiskan diri sebagai corongnya Republik.
Frank mangkel dengan berita penyerbuan pendukung Trump ke gedung US Capitol yang lalu. Dia bukan jengkel atas perilaku mereka, tapi atas pemberitaan rombongan media liberal seperti ABC, CBS, NBC, CNN, dkk tentang penyerbuan itu. Lucu. Dan dia minta pandangan saya mengenai peristiwa itu.
Ya, saya bilang jujur saja. Sebagai warga negara dari yang dicap Dunia Ketiga oleh Amerika dan sekutunya. Terlebih selalu mendapatkan paparan Amerika yang dengan gagahnya mengajarkan ke mana-mana kalau demokrasinya hebat.
Maka setelah peristiwa di Capitol kemarin, saya bilang, kalau Amerika ngomong lagi tentang demokrasi, kami akan tutup telinga.
Frank pun sedih. Karena selama ini dia menganggap memang demokrasi Amerika yang paling top. Tapi saya menghiburnya, untuk tenang saja, nanti akan hebat lagi kok. Ya namanya hidup, macam roda berputar. Masak mau di atas terus.
Dia pun senyum. Saya akhirnya bisa punya alasan segera menyelesaikan pekerjaan. Karena ngobrol dengan dia sudah melebihi batas waktu parkir mobil.
Kalau saya perpanjang lewat aplikasi, minimal harus 30 menit, dan itu membuang setengah upah per jam saya. Kalau mobil dibiarkan tanpa tanda parkir yang aktif, bisa kena tilang dan dendanya sama dengan gaji seminggu.
Yang penting Frank bilang senang ngobrol dengan saya.
Rasanya watak kita orang Nusantara tidak cocok berebut siapa yang paling hebat di dunia ini. Atau siapa yang paling unggul, seperti Elang Amerika dan Naga Cina itu. Ya, kita memangku mereka saja lah.
Chicago, 11 Januari 2021