Memaknai Struktur Shiddiq-Amanah-Tabligh-Fathonah
Sering saya membaca cuitan di Twitter ketika hari Jum’at, sebuah pesan yang menyiratkan agar membaca surat Al Kahfi di hari Jum’at. Ada pendapat yang mengatakan bahwa surat Al-Kahfi memang memiliki keutamaan dibaca di hari Jum’at. Walaupun, pada hakikatnya seluruh ayat di dalam Al Qur`an juga baik buat dibaca kapanpun saja. Tapi, tidak usah pula kita kemudian berpolemik memperdebatkan surat apa saja yang baik untuk dibaca di hari-hari tertentu. Apalagi kalau pada akhirnya tidak kita baca juga.
Pada Mocopat Syafaat edisi Januari 2021, salah satu ilmu yang diwedar Mbah Nun adalah mengenai sifat-sifat wajib bagi Rasul; Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah. Yang saya tangkap dari penjelasan beliau adalah bahwa sifat-sifat itu tidak bisa diubah urutannya. Untuk mencapai titik Fathonah, maka kita harus terlebih dahulu Shiddiq, kemudian setelah itu kita mampu untuk Amanah, baru kemudian Tabligh.
Seperti dalam khasanah Jawa; Sandang, Pangan, dan Papan. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diubah urutannya. KH. Imam Zarkasyi dan KH. Ahmad Sahal menyusun falsafah hidup di Gontor; Berbudi Tinggi, Berbadan Sehat, Berpengetahuan Luas, Berpikiran Bebas. Urutannya tidak bisa diubah. Nomor satu adalah Akhlak. Seperti halnya dalam surat An-Naas, ada dialektika rububiyah, mulkiyah, dan ilahiyah yang urutannya tidak mungkin diubah. Bahkan Allah pun menyusun dialektika tersebut tidak main-main, yang kemudian mengilhami manusia untuk juga mampu menyusun dialektika serupa. Bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang sila demi silanya berurutan dengan puncaknya yaitu sila kelima.
Maka, urutan Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah pun diwedar oleh Mbah Nun pada Mocopat Syafaat edisi Januari dengan penjelasan yang kurang lebih sama, bahwa urutan sifat-sifat tersebut tidak bisa diubah urutannya.
Kembali ke surat Al-Kahfi. Dalam surat Al Kahfi ayat 110 Allah berfirman;
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Katakanlah, ‘Aku itu sungguh hanya manusia biasa seperti kalian yang diberikan wahyu bahwa Tuhan kalian itu sungguh Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya sesuatu pun.’ (Surat Al-Kahfi ayat 110).
Setidaknya, dari sudut pandang yang sempit saya memahami bahwa Allah menyampaikan apabila kita ingin berjumpa dengan-Nya maka syaratnya adalah falya’mal ‘amalan sholihaa. Berbuat baik. Sangat relevan dengan pesan ibunda Mbah Nun ketika Mbah Nun harus terjebak situasi kampanye PPP di tahun 1982; Selalu berbuat baik, di mana saja, kapan saja, dengan siapapun saja. Betul adanya, dalam ayat 110 surat Al Kahfi tersebut dilengkapi dengan narasi agar kita tidak menyektukan Allah dengan sesuatu apapun. Tapi, pijakan utamanya adalah berbuat baik. That’s it.
Dari semua dialektika di atas, mulai dari Surat An-Naas, sifat-sifat Rasul, Falsafah Jawa hingga Pancasila, ada satu hal yang saya sendiri memaknai bahwa apa yang sudah disampaikan oleh Mbah Nun beberapa tahun lalu di Maiyahan menjadi semakin jelas. Bahwa di atas hukum ada akhlak, namun di atas itu semua ada cinta, mahabbah.
Kita menjalani kehidupan saat ini tidak mampu lepas dari hukum, baik hukum agama maupun hukum bernegara atau juga hanya sebatas aturan main dalam sebuah komunitas. Apapun itu, kita terikat dengan yang namanya hukum. Salah satu cara agar kita taat terhadap hukum tanpa ada tekanan adalah memaknainya dengan akhlak. Ketika kita melakukan sesuatu, bukan karena ada ancaman akibat pelanggaran hukum tersebut namun karena memang kita memahami bahwa hal itu yang harus kita lakukan.
Mbah Nun pernah mencontohkan, ketika ada seorang Jamaah Maiyah yang sedang menyelesaikan studi akhir di bangku kuliah, kemudian menghadapi kemalasan untuk menyelesaikan penulisan skripsi, sehingga tertunda kelulusannya, Mbah Nun berpesan bahwa menyelesaikan skripsi bukan karena agar segera lulus kuliah namun alasan utamanya agar membahagiakan kedua orang tua. Pada pesan Mbah Nun ini, saya memahami ada akhlak yang berlaku; membahagiakan orang tua.
Contoh lain, Mbah Nun pernah juga mengajak kita semua Jamaah Maiyah untuk mempertanyakan lagi bahwa sebenarnya kita itu tidak suka berpuasa, maka dari itu Allah mewajibkan kita semua berpuasa. Juga ibadah-ibadah mahdhloh lainnya. Landasan utamanya ibadah tersebut menjadi wajib karena pada dasarnya manusia tidak suka melakukannya. Mbah Nun pun menggambarkan bahwa dengan landasan cinta, karena kita cinta kepada Allah, maka apapun yang Allah perintahkan kepada kita akan kita lakukan tanpa perhitungan.
Dari Surat Al Kahfi ayat 110 tadi, saya kemudian teringat pula ketika Mbah Nun menjelaskan Surat Ali Imron ayat 31, yang menurut pemahaman saya menjadi landasan utama dari kehidupan kita di dunia ini. Landasan itu adalah cinta. Qul in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullau wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallahu ghofuurun rohiimun. Sudah jelas, bahwa landasan utamanya adalah cinta. Jika kita cinta kepada Allah maka kita harus mengikuti, meneladani Rasulullah Saw. Maka, dalam hemat saya, untuk falya’mal ‘amalan sholihaan pun tidak terlalu rumit melakukannya, karena kita punya sosok teladan Rasulullah Saw.
Sebagaimana kita semua sudah mengetahui, Rasulullah Saw sampai pada titik Fathonah, sebagai sosok manusia yang cerdas karena telah terlebih dahulu melalui tahapan Shiddiq, Amanah, dan Tabligh. Rasulullah Saw adalah sosok manusia yang sungguh-sungguh dalam hidupnya, tidak ada resisten, sehingga di usia yang masih belia, Muhammad bin Abdullah sudah mendapat gelar sebagai Al Amin, sebagai orang yang Amanah. Orang yang sanggup memberikan keamanan kepada orang-orang di sekitarnya. Aman nyawanya, aman hartanya dan aman martabatnya. Sehingga, ketika Rasulullah Saw harus melakukan dakwah pun, beliau memang sudah pada tahap yang semestinya. Beliau memahami apa yang harus disampaikan kepada ummatnya.
Mari kita refleksikan ke dalam diri kita masing-masing. Situasi hari-hari ini adalah situasi dan kondisi yang sangat tidak menentu. Mungkin gambarannya persis dengan apa yang pernah disampaikan Mbah Nun, bahwa saat ini ibarat kita sedang naik pesawat terbang, kita sedang mengalami turbulensi, sehingga terkadang sesuatu yang sebenarnya baik karena kita tidak tepat menempatkannya dan menyampaikannya menjadi sesuatu yang buruk.
Situasi pandemi Covid-19 ini, sebenarnya telah mengantarkan kita sampai pada titik yang mana? Apakah telah mampu membawa kita untuk lebih dewasa memahami kehidupan? Atau juga lebih menyadarkan kita tentang eksistensi Allah di dalam kehidupan kita? Atau jangan-jangan hanya akan kita anggap angin lalu saja?
Maka di Mocopat Syafaat edisi Januari 2021 kemarin, Mbah Nun mengajak kita untuk kembali tajdiidun-niyaat, memperbaharui niat hidup kita untuk lebih sungguh-sungguh lagi. Sehingga kita lebih ikhlas memahami pada setiap dinamika kehidupan yang berlaku di hadapan kita. Berulang kali Mbah Nun menyampaikan agar kita titen, waspada terhadap setiap peristiwa yang kita alami.
Seperti saya tulis dalam tulisan sebelumnya, jangan-jangan alur kehidupan yang kita alami saat ini memang itu yang dikehendaki oleh Allah Swt. Pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan memilih untuk ikut terbawa arus yang ada, atau kita mengambil sikap yang radikal untuk berani hidup tidak mainstream?