Memahami Kemaritiman dan Perairan dalam Perspektif Ekosofi
Bertempat di aula Dewaruci Gedung B Kampus Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS), semalam berlangsung Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng yang digelar oleh PPNS sebagai bagian dari rangkaian kegiatan memperingati dies natalisnya yang ke-34.
Dengan audiens terbatas terdiri atas tamu undangan, jajaran civitas akademika PPNS, dan jamaah Maiyah, Sinau Bareng tadi malam mengambil tema “Berguru Kepada Kejayaan Maritim Majapahit dan Sriwijaya untuk Menyongsong Kejayaan Laut Masa Depan Kita”.
Ini adalah untuk ketiga kalinya PPNS mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk Sinau Bareng. Dua yang pertama berlangsung sebelum masa pandemi dan diselenggarakan di halaman depan kampus dengan audiens yang tidak dibatasi jumlahnya sebagaimana biasanya Sinau Bareng sebelum pandemi.
Merespons tema, Mbah Nun mengingatkan seluruh hadirin agar selalu memiliki kesadaran historis yang utuh dan lengkap ke belakang dan ke depan. Mbah Nun menganalogikannya, “Jangan jadi buah yang lupa pohonnya, jangan jadi tanah yang lupa buminya, jangan jadi manusia yang lupa siapa yang menciptakan dirinya.”
Untuk itu Mbah Nun memberikan sejumlah contoh dari pencapaian nenek-moyang bangsa Nusantara dengan maksud agar kita sebagai generasi bangsa sekarang tidak ingat pohon dan akar sejarah kita di masa lampau. Ketangguhan dan kehebatan maritim Sriwijaya dan Majapahit adalah salah satunya. Lebih jauh, Mbah Nun mengingatkan dengan keberlimbahan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia Nusantara, sesungguhnya Nusantara adalah Pusat Kemakmuran Dunia dan disimbolkan oleh keberadaan Candi Borobudur yang menggambarkan bahwa energi alam di Nusantara ini bersifat menyerap berkah dari langit. (Tentang hal ini baca: Melacak Ekosofi Hulu Nusantara). Karena itu dunia sangat bergantung dan membutuhkan Indonesia. Mbah Nun mengatakan, “Setiap presiden Indonesia harus punya pandangan mendasar tentang Indonesia Pusat Kemakmuran Dunia.”
Terkait geografi dan topografi Nusantara yang bersifat archipelago dan dikelilingi oleh perairan laut, Mbah Nun mengingatkan juga bahwa generasi pendahulu sangat jago dalam transportasi di perairan sungai, dan ini dimiliki salah satunya oleh era Majapahit. Tidak semua orang mampu punya kuda untuk menempuh perjalanan darat. Alternatifnya, perahu-perahu atau gethek sungai berkembang sebagai moda transportasi untuk masyarakat umum saat itu.
Menarik pula dalam hal ini, Mbah Nun mengajak hadirin mengingat kisah Joko Tingkir yang naik gethek di sungai atau bengawan dengan disangga dan didorong oleh empat puluh bajul/buaya putih. Menurut Mbah Nun ini bukan soal kesaktian di mana Joko Tingkir mampu menaklukkan buaya lalu dibuat tunduk melayani kepentingannya, tetapi ihwal Joko Tingkir yang mampu harmonis bekerja sama dengan buaya. Buaya sebagai bagian dari penghuni ekosistem alam semesta tidak dimusuhi tetapi diposisikan sebagai partner yang dijaga keberadaannya.
Karena itu, tadi malam KiaiKanjeng menghadirkan satu nomor medlei yang salah satu isinya adalah tembang Jawa berjudul Sigra Milir yang berkisah Joko Tingkir dengan 40 biaya putih tersebut. Selain itu, dalam medlei ini juga dihadirkan lagu mars Sriwijaya, lagu Maju Tak Gentar, lagu Bengawan Solo, dan beberapa lagu lain termasuk lagu I Am Sailing. Komposisi ini dimaksudkan untuk merespons tema kejahatan maritim Indonesia, juga untuk menunjukkan satu prinsip manajemen hidup dan politik bahwa Jowo Digowo, Arab Digarap, Barat Diruwat.
Dari kisah Joko Tingkir ini, Mbah Nun membawa hadirin untuk mengenal satu terminologi yang dalam kesempatan sarasehan Menemukan Kembali Hulu Nusantara minggu lalu di Rumah Maiyah Kadipiro beberapa waktu lalu disebut oleh Romo Manu J. Widyaseputra sebagai “ekosofi”. Dalam penjelasan Romo Manu waktu itu, manusia selama ini sibuk memusatkan segala sesuatu untuk pemenuhan kepentingan dirinya (antroposentris), sehingga mengabaikan kosmos (kosmologi) dan lingkungan (ekologi). Di sinilah, dari antroposentrisme melulu, sudah saatnya manusia memperbaiki laku dirinya dengan kesadaran ekosofi. Setiap tindakannya dalam menyentuh dan memanfaatkan alam/lingkungkan hendaknya mempertimbangkan keberadaan lingkungan alam tersebut yang merupakan anugerah Tuhan yang perlu dijaga dan dihormati. Bukan malah merusak dan menghancurkannya.
Dalam bahasa Mbah Nun, ekosofi ini tak lain adalah tipe kesadaran yang dimiliki Sayyidina Ali karromallahu wajhahu yang setiap melihat apa saja yang terhampar di alam ini langsung ingat Allah. Jika ingat Allah, maka alam sebagai anugerah dan kosmos besar di mana manusia berada di dalamnya tidak akan ditundukkan kepada kepentingan manusia belaka, tetapi keberadaannya dijaga. Manusia memungut darinya seperlunya saja (terukur, tidak dihabis-habiskan) untuk kelangsungan hidupnya. Karena itu Mbah Nun mengajak agar kita meninggalkan laku-laku yang tidak ekosofis, seperti gampang mateni semut, serangga, tikus, bedes, dll.
Sementara itu, dalam sambutan awal, Direktur PPNS Ir. Eko Julianto, M.Sc., FRINA., menyampaikan alasan mengapa Sinau Bareng ini diselenggarakan, yakni, yang terutama Pak Eko sangat prihatin dengan kondisi saat ini di mana orang-orang segenerasi beliau dan juga kaum muda banyak yang lupa akan jati diri bangsa Indonesia. Pak Eko mengatakan tahun 2045 adalah Indonesia Emas/100 tahun kemerdekaan RI di mana diharapkan Indonesia menjadi paling tidak 5 besar kekuatan ekonomi dunia, dan itu bukan hal yang mustahil.
Pak Eko mengingatkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa serta keuntungan demografis yang sangat besar yakni jumlah usia produktif sangat banyak prosesntasenya dari total jumlah penduduk Indonesia. Kalau tidak disiapkan dengan sebaik-baiknya keuntungan itu akan malah menjadi malapetaka. Pak Eko mengatakan, dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, dengan kekayaan alam tak terkira dikandungnya. Artinya, dua pertiga amanah Indonesia adalah mengurusi laut untuk kesejahteraan dan kejayaan bangsa Indonesia. Namun, kata Pak Eko kenyataan yang terjadi belum seperti itu. “Berapa banyak pemuda/pemudi yang mau mengurusi laut. Banyak yang tak peduli. Kalau laut kita dicuri, baru bingung, marah sana-sini,” ajak Pak Eko kepada hadirin untuk berefleksi.
Muatan-muatan yang disampaikan Mbah Nun dalam Sinau Bareng tadi malam pun in line dan memenuhi apa yang diharapkan Pak Eko, yakni menghidupkan kembali kesadaran kemaritiman dan Mbah Nun memberikan perspektif yang mendasar dan mondial dengan konsep ekosofi. Malahan, pada satu dua kesempatan terakhir, dalam perspektif historis, Mbah Nun punya hipotesis bahwa para pendahulu kita di abad-abad lampau sesungguhnya telah menyiapkan diri bangsa kita untuk menjadi bangsa yang maju, tangguh, dan jaya.
Saat persembahan medlei pertama dibawakan KiaiKanjeng, terutama ketika sampai pada lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut, Pak Direktur ikut bernyanyi dengan penuh semangat. Beliau bersama jajaran dosen PPNS, Tiga Perwakilan Mahasiswa, Pak Suko Widodo, dan Pak Darmadji mendampingi Mbah Nun hingga paripurna acara. Kurang lebih pukul 00.00 lebih sedikit, acara selesai, dan para hadirin pulang kembali ke tempat masing-masing.
Paginya kampus akan kembali diisi dengan aktivitas perkuliahan, karena PPNS saat ini sudah memulai kuliah tatap muka meski secara terbatas dan prokes, karena memang banyak mata kuliah yang sulit diselenggarakan jika tidak dengan langsung tatap muka, terutama kuliah yang harus diadakan di dalam laboratorium.