CakNun.com

Melacak Jejak Teologi Inklusif Cak Nun

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit
Jurnal

Tulisan ini berusaha membincangkan kajian Muhamad Supraja tentang Understanding the Transformative-Inclusive Theology of Emha Ainun Nadjib pada subbagian kedua Eastern Perspectives on Religion Religiosity dalam buku Western and Eastern Perspectives on Religion and Religiosity (2021)1. Temuan Supraja menunjukkan bahwa keterbukaan dialog tanpa monopoli atau indoktrinasi merupakan teologi inklusif yang dipraksiskan Cak Nun.

Penanda atas keterbukaan itu terlihat gamblang dalam praktik majelis ilmu Maiyah. Ia tidak dapat dikatakan semata-mata sebagai pengajian dalam pengertian sempit, sebagaimana menempatkan satu figur sebagai titik pusat, sementara audiens lain sebatas pendengar-pasif. Di Maiyah hubungan antara pembicara dan pemirsa berpola dialogis, yakni tiap orang menjadi subjek-aktif untuk sama-sama tumbuh dan belajar secara bersama.

Kecenderungan sinau bareng demikian lalu didasarkan atas pencarian sekaligus partisipasi suatu kebenaran tanpa tiap orang mendaku mencapai titik finalnya. Pemikiran tentang pencarian itu menegaskan upaya terus-menerus, sehingga Maiyah begitu menoleransi perbedaan atas keberagaman interpretasi. Supraja menyebut paparan Cak Nun selalu memberikan keluasan dan keluwesan setiap pribadi untuk berdaulat, baik dalam praktik mencari diri sendiri maupun keagungan Tuhan melalui pengalaman sehari-hari. 2

Inklusivitas dalam beragama bukan saja penting tapi juga perlu. Terutama bila konteks praktiknya di Indonesia yang dinilai Supraja sebagai negara yang secara sosial dan budaya masyarakat setempat begitu plural. Bila tidak maka agama akan memicu potensinya yang destruktif. Sepanjang peristiwa sejarah, alih-alih konstruktif, agama acap menunjukkan sisinya yang destruktif. 3

Namun, Supraja tidak menguji lebih lanjut apakah proposisi ini benar atau salah. Apakah letak destruktif ataupun konstruktifnya suatu agama terletak pada dirinya sendiri ataukah justru di luar keduanya: cenderung memosisikan masalah pada pemeluk, manusia, atau subjek yang mengklaim beragama itu.

Masalah ini masih menjadi perdebatan di kalangan jamak orang. Khususnya saat menjustifikasi seseorang yang dianggap teroris. Ketika ia membawa nama agama tertentu, apakah bisa dikatakan terorisme selalu berwajah agama. Bagi sebagian orang terorisme selalu beragama, sementara pihak lain berusaha menampik.

Antara agama dan praktik beragama seseorang selalu berjarak. Seperti terdapat kecenderungan bahwa agama sebagai sesuatu yang ada di sana dan suci maupun perilaku seseorang yang di sini dan profan. Kedua hal ini sayangnya absen dalam kajian Supraja. Barangkali ranah ini tidak menjadi titik fokus. Padahal, menurut saya, persoalan kontekstual tersebut dapat dijawab oleh teologi inklusif Cak Nun sesuai dengan kajian Supraja.

Konteks Sosial dan Kultural

Membaca teologi inklusif Cak Nun haruslah menengok terlebih dahulu situasi di mana ia dikondisikan dan dimungkinkan. Itu mengapa penyelidikan berdasarkan sejarah penting dilakukan untuk melihat sejauh mana rekam jejak Cak Nun selama ini seturut membangun keterbukaan teologis yang dimaksudkan Supraja.

Ia mencatat kiprah Cak Nun dan karya kreatif yang dihasilkan sejak era 70-an selalu menegaskan langgam keberpihakan kepada kelompok marjinal. Karya-karya itu meliputi buku, tulisan di media massa, serta seni pertunjukan maupun sastra (teater dan gamelan musik KiaiKanjeng). Di samping produksi karya, aktivisme yang dilakukan Cak Nun juga merambah wilayah advokasi masyarakat akar rumput.

Berbagai kegiatan Cak Nun, menurut Supraja, tidak pernah tidak dihadiri wong cilik. Mereka merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan karena ketidakadilan sosial-ekonomi. Mereka merasa cocok untuk bergabung dalam forum sinau bareng karena merasa di tempat itulah posisinya dianggap ada. Uniknya, kendati mereka berasal dari aneka latar belakang, forum Cak Nun menampung keseluruhan tanpa pretensi dan pengecualian.

Di Maiyah semua orang tidak tereksklusi 4. Di luar itu mungkin akan berbeda bila menengok forum-forum elit lainnya seperti pengajian yang membagi audiens berdasarkan gender, afiliasi politik, sampai masalah perbedaan mazhab.

Walaupun Cak Nun menampung semua golongan, tidak berarti ia menerima keseluruhan doktrin keagamaan yang mereka pegang. Supraja menggarisbawahi kalau Cak Nun tidak pernah meliyankan aliran seperti Ahmadiyah, Syiah, bahkan ateis sekali pun. Semua kelompok yang datang ke Maiyah Cak Nun tampung. Mereka diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat.

Tidak jarang Cak Nun melemparkan kritik. Tentu saja kritik ini merupakan bagian penting dari sinau bareng. Tanpa kritik teks-teks keagamaan yang diperbincangkan hanya menjadi sesuatu yang terberi (taken for granted). Itu pun kerap kali telah tereksploitasi oleh sejumlah para penafsir yang dianggap jamak orang sebagai makna sebenarnya dari ayat suci. Cak Nun, dengan kata lain, menggugat ortodoksi yang terlanjur dipolitisir serta dianggap kanonis sebagian kelompok.

Bagi Supraja, pandangan Cak Nun mengenai Islam berada dalam satu garis antara Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Kesamaan itu terletak pada keyakinan hendaknya rasional dan individual. Mendudukkan ketiganya sebagai bagian yang mempunyai titik persinggungan pemikiran yang sama, selain problematis juga akan terjebak pada generalisasi, bahkan simplifikasi.

Akan tetapi, sebagai bagian penting untuk menjelasakan kesamaan lanskap dalam pembaruan teologi yang inklusif saya kira tidak menjadi masalah. Sekalipun tetap harus dilakukan kajian tersendiri yang terfokus pada ketiga figur tadi 5. Setidaknya yang dapat dicatat di sini antara Cak Nun, Harun Nasution, dan Nurcholish Madjid memandang Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta. 6

Dari Inklusif ke Partisipatoris

Hal lain yang terlihat kontras di antara ketiganya, selain latar belakang akademis, menurut Supraja adalah target audiens. Taruhlah ketiga figur tersebut menerapkan “transformative-inclusive theology” tapi Harun dan Nurcholish sekadar menyasar kelas menengah urban seperti kelompok profesional, pelajar, mahasiswa, PNS, akademikus, sampai pebisnis.

Berbeda dengan Cak Nun yang menyasar semua kalangan di Indonesia, baik kelompok menengah bawah maupun menengah atas. Seperti pekerja, petani, pelajar, kaum ateis, dan lain sebagainya. Mengetahui perbedaan audiens inilah Cak Nun menggunakan pendekatan retorika yang mudah dipahami beragam kelompok.

Itu kenapa Cak Nun disebut Supraja telah menerapkan transformasi teologi yang inklusif karena ia menyadari sepenuhnya kompleksitas masalah di Indonesia. Menyandarkan perubahan pada demokrasi elektoral bukan sebuah solusi sebab ia sekadar menggeser masalah pada tataran elit politik.

Dengan Maiyah yang mempraktikkan teologi inklusif itu Cak Nun menggantungkan sepenuhnya sebuah perubahan kepada Tuhan agar forum yang telah digelar selama ini menumbuhkan “generasi baru” dengan perspektif yang baru pula 7. Upaya ini cenderung melihat perubahan sebagai upaya sistemik yang harus dimulai dari bawah, terutama generasi mudanya.

Sementara perubahan yang dimaksudkan di Maiyah dibasiskan pertama dan terutama melalui kesadaran sebagai individu, manusia, dan makhluk sosial. Cara ini sangat moderat, komunal, terbuka, dan dinamis. Tesis ini akan lebih menarik bila Supraja mengaitkannya dengan cara pandang arus utama dalam memahami perubahan sosial yang selama ini dipahami banyak orang: melalui politik praktis atau lebih klasik lagi lewat perjuangan kelas.

Laku pembebasan yang sama sekali berbeda dengan corak lainnya membuktikan kekhasan gerakan sosial di Maiyah. Ia bisa berawal dari perubahan macam apa yang dimaksudkan, mengapa perubahan mesti berangkat dari episentrum konstruksi berpikir seseorang. Pada dasarnya lokus pembahasan di Maiyah adalah seputar “pendidikan cara berpikir” baru kemudian memasuki wilayah aktivisme sosial.

Tentu saja diperlukan kajian berikutnya mengenai bagaimana pengartikulasian teologi inklusif yang sudah transformatif tersebut ke dalam kerja-kerja emansipatoris dengan studi kasus aktivisme simpul Maiyah di seluruh Nusantara. Saya kira itu merupakan penelitian besar dan Supraja telah mengawalinya secara apik dengan memberikan basis epistemisnya.

Exit mobile version