Mbah Kiai Alhamdulillah, Imunitas dan Imanitas
Kalau kita menatap diri kita masing-masing. Kalau kita menatap diri kita bersama-sama. Kalau kita menatap diri masyarakat kita. Kalau kita menatap Indonesia dan dunia. Kalau kita menatap semua zaman, seluruh peta sejarah, serta kehidupan ini seluruhnya. Dengan sangat mudah kita menemukan dan menghimpun sangat banyak hal yang salah dan meleset, yang buruk dan busuk, yang tidak tepat arahnya dan penuh dosa, yang mencemaskan, menggelisahkan atau membosankan. Tapi juga lebih untuk menemukan hal-hal yang sebaliknya. Yang kita sukai dan nikmati. Yang kita setujui dan bangun bersama. Yang kita syukuri dan awetkan hingga ke masa depan sejauh-jauhnya.
Sejak saya hidup sebagai kanak-kanak, kemudian remaja, muda, dewasa, hingga tua sekarang ini. Tidak pernah mengalami kesulitan untuk menemukan sangat banyak hal yang kita sukai dan tidak kita sukai. Sangat banyak hal yang kita syukuri atau kita sesali. Sangat banyak hal yang kita puji atau kita kutuk. Sangat banyak hal yang membuat kita mengucapkan “astaghfirullah” atau “alhamdulillah”. “Subhanallah” atau “masyaallah”. “Robbana ma kholaqta hadza bathila” atau “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”.
Bedanya adalah, di usia senja sekarang ini, ketika menatap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dunia secara keseluruhan, untuk sampai ke ucapan “alhamdulillah wa syukru lillah”, untuk menemukan hal-hal yang kita sangat menikmati dan mensyukuri, kita memerlukan penelitian yang mendalam, penghayatan yang tidak mudah, perenungan, tadzakkur dan tafakkur yang sekhusyu-khusyunya. Sementara untuk menemukan hal-hal yang kita bersedih, berprihatin, mengeluh kepada Allah, yang membuat jalan darah kita penuh sumbatan-sumbatan dan gumpalan-gumpalan, pusing kepala, hati nelangsa, jiwa prihatin – sama sekali tidak memerlukan upaya perenungan atau tidak perlu mencari-cari. Karena hal-hal seperti itu sangat bertebaran di mana-mana. Kita berpapasan, bersenggolan, bersentuhan atau bertabrakan ke manapun saja kita berjalan. Kita dikepung oleh kebusukan di mana-mana. Kita ditimbuni oleh kebrutalan nilai di mana-mana. Kita dihimpit oleh kedhaliman, kehinaan, dan kerendahan di mana-mana. Jangankan perlu mencarinya, bahkan hampir tidak ada ruang dan waktu di mana kita tidak disapu olehnya.
Di era 2020-an sekarang ini sudah tidak ada lagi berbagai hal yang di era 1960-an hingga 1980-an hadir kepada kita sebagai kegembiraan, sekurang-kurangnya menjadi harapan. Dengan Bahasa sehari-hari, sekarang ini kalau mau hidup pesimis dan putus asa, sangat mudah karena melimpah-limpah bahannya. Kalau mau optimis dan tetap bersyukur, harus berjuang dan berusaha keras meningkatkan daya penglihatan yang dipenuhi “husnudhdhan” dan rasa syukur.
Kita tidak perlu mencapai level rohaniah dan ketauhidan sebagaimana Mbah Kiai Alhamdulillah di Pati Jawa Tengah yang almarhum beberapa dekade yang lalu. Yang hidupnya sedemikian dipenuhi oleh sangka baik kepada Allah, menemukan muatan-muatan kebaikan di dalam keadaan seburuk apapun. Tidak bisa melihat, mengamati atau mengalami apapun kecuali menghasilkan rasa syukur alhamdulillah kepada Allah. Mungkin kita cukup selalu berusaha ingat dan menyadari bahwa Allah tidak mungkin membiarkan ciptaan-Nya ini mengelami ketidakseimbangan.
Dan manusia, dengan akal yang adil, dengan hati yang murni dan dengan jiwa yang utuh, harus terus melakukan upaya-upaya untuk menemukan dan memelihara keseimbangan itu. Baik dalam konteks kehidupan pribadinya, keluarganya, masyarakat, negara dan dunianya. Manusia adalah pegawainya Allah. Manusia adalah karyawannya Allah. Dan seratus persen harus bekerja dengan landasan dan pedoman keseimbangan yang mutlak diniscayakan oleh Allah bagi kehidupan.
Dan kalau sampai terjadi ketidakseimbangan, dalam urusan apapun, dalam konteks dan skala seberapapun, yang salah pasti manusia. Sebab Allah Maha Mustahil untuk Salah.
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Manusia tidak mampu menjaga “mizan” dalam kehidupan hanya dengan ilmunya. Karena yang Allah “uutitum minal ‘ilmi” hanyalah sangat sedikit dan mencukupi untuk membungkus supra-gejala kehidupan, meskipun justru karena itu manusia harus memaksimalkan ikhtiar ilmunya. Manusia harus melangit-bumikan ilmunya, tidak bisa hanya dengan membumikan saja atau melangitkan saja. Manusia harus mendunia-akhiratkan hidupnya, akan terkapar jatuh kalau hanya manduniakannya atau hanya mengakhiratkannya. Manusia tidak bisa menemukan keseimbangan hidupnya serta membangun peradabannya hanya dengan mengilmukannya, tetapi juga harus mengimankannya. Ilmu harus dinikahi oleh iman.
Jangan seperti mayoritas manusia modern dengan lembaga-lembaga politik, pendidikan, kebudayaan dan politiknya yang menyuruh ilmunya tinggal di sebuah rumah khusus, kemudian imannya disuruh tinggal di rumah yang lain yang tidak ada pintu butulan di antara keduanya. Bahkan memakai ilmunya untuk membangun seluruh bagian dari rumah dan kebun-kebunnya, sementara imannya dikurung atau diisolasi di sebuah bilik kecil di pojok belakang rumahnya.
Sebutan birokrasi dan lembaga seperti itu adalah sekularisme. Suatu cara, ideologi, prinsip dan sistem kehidupan yang bukannya membuang Tuhan, Rasul dan Nabi serta Agama, tetapi memenjarakannya di guthekan, kamar samping yang tidak berfungsi primer. Ia hanya ditengok sesekali ketika membutuhkan laba kapitalisme yang lebih besar, atau ketika mengalami masalah yang tak terjangkau oleh ilmunya. Tetapi ternyata untuk urusan Covid-19, Tuhan dengan segala kelengkapan fungsi dan peran-Nya itu bukan hanya tidak ditengok, tapi bahkan benar-benar diisolasi. Seluruh Satgas Covid-19 di muka bumi terang-terangan meniadakan Tuhan, melarang doa bersama mohon perlindungan-Nya, dan menghapus semua tayangan yang tidak ada kaitannya dengan peta ilmu kedokteran modern.
Dalam urusan Covid-19 hanya ada virus yang tak henti-henti bermutasi dan menyebarkan ancaman permanen dan laten, ditambah satu faktor lagi, yaitu manusia sedunia yang tak berdaya. Semua yang lain, Tuhan, Nabi, Agama, iman, taqwa, tawakkal, istighotsah, dzikir, wirid, ritus mohon pertolongan kepada Allah dan apa saja, disembunyikan di ruang gelap di gudang bagian paling belakang dari rumah besar Globalisasi.
Untung setiap orang, terutama rakyat kecil, kaum awam, para wong cilik, rakyat jelata, penduduk desa-desa dan kampung-kampung pinggiran kota, diam-diam tetap merawat jiwa kekeluargaannya dengan Allah, Agama, Kanjeng Nabi Muhammad Saw dengan syafaatnya, hifdhullah, hasbiyallah, shalat hajat, wiridan, dzikir harian dan semua yang memang sudah menjadi tradisi sejak berabad-abad silam. Tidak mungkin rakyat Indonesia sudi mentuhankan yang bukan Allah. Mustahil masyarakat Indonesia mentuhankan WHO, Pemerintah Indonesia, Satgas Covid-19, Menteri Kesehatan atau siapapun selain Allah. Rakyat Indonesia tidak akan pernah makar kepada negara dan pemerintah Indonesia, tetapi juga jangan berharap mereka akan mentuhankan keduanya. Bahkan para cerdik pandai tidak membuka asumsi atau apalagi hipotesis, bahwa dengan berbagai inkonsistensi penanganan atas Covid-19, seharusnya korban di Indonesia akan luar biasa membludagnya, bergelimpangan di tepi-tepi jalan, dalam jumlah yang mencapai rekor dunia. Tetapi itu tidak terjadi, karena tidak pernah ada kelas atau ruang kuliah yang memperlajari misalnya “anthropoligical collective immunity”. Tentang peta genekologi yang lebih detail dan waspada. Tentang berlakunya “syu’uban wa qabaila” dalam urusan kesehatan dan ketahanan badan atau psikologis.
Rakyat Indonesia sudah lama menjadi kumpulan hamba-hamba Allah yang “imanitas”nya sangat tinggi. Dan mereka percaya hal itu tidak mungkin tidak berpengaruh terhadap “imunitas” jasadiyah mereka. Mereka juga tidak mungkin mengucapkan “A’udzu biPemeringah Indonesia minal Covidiirrajim”. Mereka mustahil mengandalkan badan penanganan virus yang tidak punya single data, melainkan silang sengkarut dengan multidata yang berbeda satu sama lain di dalam internal kepemerintahan.
Mereka juga tidak akan mengandalkan para Ilmuwan-ilmuwan modern untuk mampu melindungi mereka dari wabah. Karena ilmu-ilmu paling modern pun belum bisa menjangkau “ma’rifat Covid”. Para ilmuwan modern belum bisa memproduksi Kaca Benggala yang murah harganya, yang bisa dibeli oleh rakyat paling miskin, yang bisa di bawa ke mana-mana, yang cukup dengan meneropong menggunakan Kaca Benggala itu bisa langsung diketahui di depannya atau di sekitarnya ada virus Covid-19 dan anak turunnya atau tidak.
Rakyat kecil Indonesia diam-diam tetap menggunakan Ilmu Hikmah warisan nenek moyang mereka, yang sudah dikubur dan diperhinakan sejak Indonesia memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945. Ilmu Hikmah yang dunia global dan kaum ilmuwan merendahkan dan memperhinakannya sehingga menyebutnya sebagai “Kearifan Lokal”. Hikmah itu di atas hukum dan segala ilmu formal. Hikmah adalah hasil dari tindakan membijaksanai sesuatu, kejadian, peristiwa, tuntunan, wacana, narasi, nilai, tokoh, jasa, Covid-19 atau apapun.
Manusia menjadi manusia karena ia punya kegiatan utama yang bernama menghikmahi. Kalau manusia tidak mampu menghikmahi sesuatu, tidak berguna Allah memberinya akal, hati, roh, dan jiwa. Orang Jawa menempuh proses hikmah dengan “Ilmu Titèn”, kebiasaan untuk mengingat-ingat apa yang pernah ada dan pernah terjadi dengan kesadaran hikmah.
Sesungguhnya ilmu titèn ada juga dalam diri binatang meskipun tidak berupa kesadaran akal, namun berlangsung dalam nalurinya. Anda naiki kuda, menempuh suatu rute jalan. Besok Anda naiki lagi kuda itu, tak usah Anda kendalikan, ia akan berlari di rute yang kemarin Anda lalui. Bahkan kuda punya Ilmu Titèn. Kehancuran dan kemusnahan bangsa Indonesia di masa depan adalah karena melupakan, meremehkan dan mensirnakan tradisi Ilmu Titèn dari kehidupan mereka. Karena yang terjadi pada kuda bisa terjadi pada alur kesehatan suatu bangsa dalam rentang sejarahnya. Bahkan titèn-nya kuda tidak menggunakan akal pikiran atau intelektualitas.
Bangsa Indonesia mengangkat pejabat yang tugasnya memberi hukuman kepada orang bersalah, dikasih gelar Hakim. Pengertian hakim dibatasi oleh terjemahan itu hanya di wilayah hukum. Menghukum artinya menentukan vonis. Tidak seorang pun dari ulama, ilmuwan, cendekiawan yang menuntun pemaknaan kepada masyarakat bahwa hakim bukanlah orang yang mengetokkan palu menentukan hukuman. Hakim adalah orang yang membijaksanai suatu peristiwa.
Demikian disempitkan pengertian hukum dan hakim dalam narasi sejarah Indonesia modern. Dan lebih dipersempit lagi atau bahkan dibelokkan atau digeser substansinya, ketika Hakim mengambil keputusan didasarkan atas pemihakan politik dan kekuasaan. Belum lagi ada gejala keras dan merebak di mana orang belajar hukum untuk suatu hari bisa menipu atau menjebak orang-orang lain yang tidak mengerti hukum.
Tetapi Kebon ini saya potong di sini, karena jangan sampai malah terjebak menambah tebaran rasa jengkel, bosan, uring-uringan, marah dan frustrasi.