CakNun.com
Kebon (177 dari 241)

Mata Uang Maiyah

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Yang saya tempuh selama sekian puluh tahun bersama bermacam-macam komunitas dan kelompok masyarakat di berbagai tempat dari Jombang keliling dunia hingga ke Yogya, ternyata sama sekali tidak ada alurnya menuju kehebatan sebagai manusia, keunggulan sebagai tokoh, bahkan tidak pula ada langkah yang memuarakan dirinya menuju bangunan apapun yang ada dalam masyarakat.

Perjalanan hidup ini tidak membawa saya untuk menjadi intelektual canggih, menjadi ulama mumpuni, menjadi pengusaha sukses, menjadi pejabat tinggi negara yang menghiasi lembar-lembar buku kepahlawanan, atau apapun. Teman-teman segenerasi saya, kakak atau adik generasi, kebanyakan menjadi manusia sukses sebagai tokoh parpol atau ormas, Konglomerat, cendekiawan canggih atau pengusaha kaya. Sementara saya tidak pernah mencapai suatu derajat untuk menjadi apa-apa atau siapa-siapa yang penting perannya bagi masyarakat.

Maiyah yang saya setiai dan istiqamahi puluhan tahun ternyata juga tidak akan pernah menjadi kekuatan massa, energi politik kenegaraan, kelompok thariqat atau apapun. Maiyah tidak menjadi apapun yang sejarah bisa mengidentifikasinya. Banyak buku saya tulis, tetapi tidak bisa diletakkan di rak sebelah manapun, tidak jelas identifikasi dan kategorinya di peta sejarah penulisan.

Saya sendiri tidak pernah menjadi seperti sejumlah tokoh yang kaum muslimin mempercayai beliau-beliau adalah waliyullah dengan kadar dan tingkat spiritualitas yang tinggi. Ada sejumlah kiai yang di kalangan santri dan ummat Islam disebut “Kiai Khoriqul ‘Adah”, tokoh spiritual yang banyak perilaku dan ekspresinya yang “di luar kebiasaan” manusia biasa. Kumpulan dari perilaku dan gejala-gejala “khoriqul ‘adah” untuk secara random membuat masyarakat luas berasumsi atau bahkan berkesimpulan bahwa beliau adalah waliyullah. Pengakuan umum atas identitas dan derajat wali ini sangat istimewa, hebat, dan suci.

Sebenarnya semua yang saya jalani sampai formula Maiyah juga “khoriqul ‘adah”. Tetapi tidak menghasilkan kepercayaan apa-apa pada ummat Islam, apalagi menyebabkan kekaguman seperti sejumlah kiai atau ulama yang saya sebut tadi.

Alhamdulillah “krisis eksistensi” saya dan Maiyah itu tidak membuat kami lantas berlagak atau “acting”, mengarang-ngarang perilakunya di depan orang banyak, dengan maksud supaya disangka wali. Misalnya caranya berjalan menuju mimbar pengajian, gerak-gerak mimik wajahnya, atau improvisasi berbagai macam kemungkinan yang tidak lazim, sehingga orang diharapkan menjadi berpikir bahwa beliau adalah wali-nya Allah. Jadi jangan main-main kepadanya.

Anak-anak saya di Maiyah andaikan saya libatkan masuk ke dalam sejumlah lingkaran arus Thariqat yang ada, misalnya Naqsabandiyah, Wahidiyah atau apapun, rasanya “tidak potongan” juga. Satu-satunya yang agak cocok dengan kami hanyalah gerakan “Dzikrul Ghofilin”, dzikirnya orang-orang yang lalai, yang hidupnya penuh kelalaian.

Kalau Maiyah disebut kelompok kaum muda aktivis Islam, tidak layak. Intelektual muslim, tidak pantas. Gerakan politik kerakyatan, tidak memenuhi syarat. Saya sudah cari-cari apa yang cocok, tak kunjung ketemu. Hanya tinggal satu, kalau kami adalah bagian yang paling penuh kelalaian di antara masyarakat, agak sukar dibantah. Komunitas Patangpuluhan yang salah satu kebiasaannya adalah bermain remi atau gaple hampir tiap malam, mau dikategorikan sebagai apa selain kumpulan orang-orang yang lalai.

Sebab sepanjang Dipowinatan hingga Kadipiro pekerjaan yang paling mudah adalah menemukan orang-orang lalai. Secara khusus banyak jenis-jenis kelalaian dari personal KiaiKanjeng yang terkadang potensial untuk didramatisasikan untuk “dikaromah-karomahkan”. Sekeramat-keramatnya para wali, Mbah Hamid Pasuruan, Gus Ud Kedungcangkring, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Masrur Curahmalang, Imam Lapeo Pambusuan dan siapapun, tidak pernah saya dengar beliau-beliau itu pernah ngrakoti dahan kayu seperti Nevi Budianto gara-gara dikasih tahu bahwa kayu pohon itu bisa menyembuhkan diabetes.

Sejadzab-jadzabnya Gus Miek tidak pernah selalai Imam Fatawi vokalis KiaiKanjeng, pergi pakai vespa ke warung, pulangnya setengah mati cari angkot karena lupa kalau bawa motor. Kiai Shiddiq yang dahsyat tidak pernah punya keberanian seperti Narto Piyul: di tengah musik berbunyi dalam pertunjukan di Stadion Olahraga Jakarta mendadak turun dari panggung. Atau di tengah acara Ramadlan in Campus di Gelanggang Olahraga UGM Yogya mendadak mundur dan bergeser ke salah satu tembok untuk kencing. Sayang sekali kami tidak memverifikasi kejadian di Gelanggang Olahraga UGM malam itu, apakah kencingnya Narto ada bekasnya atau tidak, sebagaimana Gus Ud Kedungcangkring Pagerwojo yang suka kencing di masjid tapi tak ada cairan kencingnya di lantai.

Mana mungkin Yai Shidiq, Syaikhona Kholil atau Gus Miek “mbludus” naik kereta api tanpa beli karcis sebagaimana dulu rombongan puluhan orang Karawitan Dinasti yang menyerahkan nasibnya di kereta api kepada dua orang “gentho” yang bernama Godor Widodo dan Novi Budianto. Dua preman kampung ini tidak perlu berurusan dengan loket untuk beli tiket. Semua warga Dinasti langsung naik sepur, nanti Godor dan Nevi langsung “shortcut” berurusan dengan kondektur, entah bagaimana negosiasinya.

Tentu saja itu dulu ketika KAI masih PJKA dan belum dipimpin oleh si Boss Jonan, perokok berat yang melarang penumpang kereta api merokok. Godor dan Nevi bisa “nyerobot” ke kondektur karena perusahaan kereta api belum manjadi BUMN, Badan Usaha Milik Negara yang praktiknya adalah Badan Usaha Milik Ndasmu: perusahaan swasta penuh, kapitalisme murni, tidak ada “bau” rakyatnya sama sekali. Seolah-olah rakyat bukan lumbung modal dan pemilik perusahaan itu.

Tentu saja semua ini saya tulis dalam rangka menyadari kerendahan saya dan kami semua komunitas Dipowinatan hingga KiaiKanjeng dan Maiyah. Itu cerminan kesadaran betapa tinggi derajat para Kiai Khash atau Kiai Khoriqul ‘Adah di kalangan kaum muslimin Indonesia itu di hadapan Allah Swt.

Sedangkan anak-anak muda yang bersama saya itu hanyalah manusia-manusia lalai: kalau malam saya temani main gaple, yang seolah-olah secara bunyi terasosiasikan ke ghafil, orang lalai, ghafilin orang-orang lalai. Gaple semalaman, seakan-akan mereka pelaku thariqat “Dzikrul Ghafilin”, duduk empat orang berhadapan bersilang satu sama lain, sampai menjelang Subuh. Dzikirnya ceplak-ceplok banting kartu, Ghafilinnya atau lalainya sampai Subuh “linak lilur lingo lico lilir: lali anak lali dulur lali tonggo lali konco lali sembarang kalir”.

Pendekar Dzikrul Gaplein Patangpuluhan terutama adalah Pakde Nuri, Mas Bambang Sosiawan, dan Godor Widodo serta Udin Mandarin yang anggota Bengkel Teater. Kalau melihat mereka main gaple, melihat pose badannya yang bersila, melihat posisi tangan dan komposisi jari-jemarinya memegang kartu-kartu gaple, saya sudah minder duluan. Mereka ini “kasyful hijab”, pandangannya mampu menembus tabir, tahu kartu lawan mainnya apa saja. Sehingga mereka seperti Direkur CIA atau FBI atau BIN yang mengerti persis jalannya politik dengan kepekaan dan kecerdasan intelijen yang tinggi.

Saya dan mereka semua tidak akan marah kalau ada siapapun yang menuding kami dengan menggunakan firman Allah Swt:

الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ

Orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai.” Asalkan mohon bermurah hati mendoakan agar Allah berkenan menyampaikan kami kepada waktu di mana:

يُنَبَّأُ الْإِنسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ

Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.”

Kisah-kisah kecil tentang main gaple, remi, begadang dan beberapa hal lagi itu bukan sesuatu yang paling penting menurut skala prioritas nilai penulisan sehingga saya ungkapkan. Tetapi ada banyak sekali tema lain, peristiwa-peristiwa lain, jenis-jenis manusia lain, terutama dalam peta perpolitikan nasional, yang mungkin malah lebih penting, namun tidak akan saya tuliskan.

Dalam hidup ini ada hal-hal yang sebaiknya dibuka dengan transparan, ada yang wajib ditutupi dan dirahasiakan, ada gradasi di antara itu. Banyak pengalaman saya di Gontor hingga Yogya yang sangat penting untuk pembelajaran kehidupan manusia, masyarakat, dan bangsa. Tetapi saya harus menahan diri untuk menceritakannya, karena pertimbangan manfaat atau bahaya, karena hitungan mashlahat atau mudlarat.

Bung Karno hingga Puan Maharani, dari Pak Harto hingga Tommy, dari Gus Dur hingga Yenni, Pak Amien Rais hingga Gibran, atau tokoh-tokoh lain siapapun. Mereka adalah putra-putra terbaik Indonesia. Sementara kami adalah gentho-gentho dan uwuh buangan. Saya bersama komunitas-komunitas yang saya kisahkan, juga para Jamah Maiyah, bukanlah Muttaqin, melainkan Ghafilin. Bukan kumpulan manusia bertaqwa, melainkan rombongan lalai. Kami bukan generasi teladan, melainkan generasi buangan.

Jadi di antara peristiwa-peristiwa sejarah bangsa ini ada banyak “aurat”, atau sesuatu yang harus ditutupi. Yang celaka dan dilematis adalah kalau untuk suatu solusi nasional diperlukan pengetahuan publik tentang sesuatu hal, tetapi hal itu harus diauratkan atau dirahasiakan.

Apalagi di tengah komplikasi sejarah bangsa yang “salah kedadèn”, yang demokrasinya mogol, yang kesenian dan olahraganya magel, yang urusan kepemimpinan dan manajemen nasionalnya kemampo. Bangsa yang bukan hanya tidak mau menjadi dirinya sendiri, melainkan bahkan menghina karakter asal-usulnya sendiri, merendahkan dan melecehkan kepribadian sejarahnya sendiri. Di tengah suasana dialektika sosial yang sakit parah. Di mana sejumlah orang tidak menerima kebenaran apapun dan dari manapun kecuali dari dirinya sendiri. Tidak bisa mendengar atau membaca kalimat yang bukan dari dirinya kecuali selalu menghadapinya dengan subjektivitas kepentingan golongan atau politiknya. Tidak bisa berbagi kepentingan dan hanya bisa mendominasikan “benarnya sendiri”. Tidak bisa menerima kalimat-kalimat kecuali dipenggal berdasarkan kepentingan politiknya. Tidak bisa membaca ayat-ayat Al-Qur`an kecuali dipotong sesuai dengan keperluan subjektifnya dalam permusuhan dengan kelompok lain.

Satu-satunya kebenaran yang bisa saya ungkapkan hanyalah bahwa saya bersama komunitas dan anak-anak saya adalah kumpulan orang-orang lalai, bahkan dholim.

وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبٗا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقۡدِرَ عَلَيۡهِ
فَنَادَىٰ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan ingatlah kisah Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dhalim.”

Itu semua merupakan tembok besar tinggi tebal gelap di hadapan perjalanan kami, sementara bangsa Indonesia sedang menempuh jalan lapang sejarah dan dinantikan oleh cahaya yang memancar dari cakrawala. Kami sedang menelusuri kegelapan yang sangat pekat yang membuntu kemashlahatan masa depan kami, sementara Indonesia sedang ditaburi oleh cahaya Allah.

Saya, Kiai Kanjeng dengan sejumlah golongan masyarakat di sekitar dan jaringan kami, termasuk anak-anak Maiyah, tidak punya mata uang yang laku di pasaran ummat manusia abad 21. Kami bahkan tidak pernah ada bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa kali kami mencoba “berhijrah saja gabung dengan masyarakat Jin”, tetapi mereka juga ogah-ogahan menerima kami. Padahal tak henti-henti kami membaca:

وَلِكُلّٖ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَاۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ
أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًاۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah berbuatkebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Lainnya

Tak Usah Kau Minta Maaf

Tak Usah Kau Minta Maaf

Siapa sajakah dalam pemahaman berdasarkan pengalaman hidup kita “golongan yang berbondong-bondong menuju neraka, ila jahannama zumaro” sementara ada “golongan lain yang berduyun-duyun ke gerbang sorga, ilal jannati zumaro”?

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version