Mas Tatamu’alaikum, Mau Mas Aan Padang?
Kalau kata “hero” dikenal oleh bangsa Indonesia adalah “pahlawan”, dan kalau benar bahwa pahlawan berasal dari “Pahala-wan”, maka pahlawan seluruh kehidupan manusia dan makhluk apapun lainnya adalah Allah Yang Maha Pahlawan. Kalau manusia diakui oleh sesamanya sebagai pahlawan karena himpunan perbuatan-perbuatan baik dan jasa-jasa yang membuatnya dipenuhi oleh pahala, maka Allah malah bukan Dzat yang penuh pahala, melainkan justru yang maha tak terbatas keluasan dan kekayaan-Nya untuk senantiasa siap menganugerahkan pahala kepada siapapun saja dan seberapa saja pun banyaknya pahala itu.
Maka “hero” atau pahlawan harus dibatasi konteks dan skalanya. Sesudah Allah pastilah Muhammad pahlawan kita, dengan klausul Kenabian maupun Kerasulan beliau, terutama karena Allah mengabarkan “Aku menciptakan Nur Muhammad sebelum segala sesuatu yang lain”.
Dan semua komunitas yang saya ceritakan ini bersepakat bahwa pahlawan kami semua antara lain adalah Nevi Budianto. Tidak saja karena keteguhan hidupnya, kerja keras dan kreativitasnya, kepeloporan dan totalitas dedikasinya, serta karena penemuan-penemuan (ijtihad, tajdid) keindahan keseniannya. Kami semua sudah sangat terhibur oleh celetukan-celetukan plesetannya setiap dia hadir di tengah kita. Tentu saja jangan salah kuda-kuda ketika mendengarkan kata plesetan, supaya langsung disentuh oleh nuansa dan akurasinya.
Saya punya ipar bernama Mahfudh dan dipanggil Cak Fudh, Nevi memelesetkannya menjadi “Cak Fud dan tujuan”. Adik saya Nadhroh yang panggilannya Mbak Roh diplesetkan menjadi Candi Mbak Roh Budur. Kalau bosan makanan Jawa bisa cari sahabatnya Cak Anang Anshorullah di daerah Minggiran Yogya, sebab namanya saja “Mas Aan Padang”. Ada teman lama bernama Noor Janis Kelamin, jadi Stafnya Bupati Bantul. Entrepreneur kreatif Kadipiro Dik Heri, dipanggil oleh Nevi “Dik Heri Sabang sampai Merauke”. Pemilik sound-system yang selalu dipakai oleh “Kenduri Cinta” bernama Mas Tatam, dan setiap kali KiaiKanjeng tampil di “Kenduri Cinta”, Nevi kulo nuwun dengan mengucapkan “Mas Tatamu alaikum”.
Ketika ke Mesir dan ketemu bapak angkatnya Nabi Musa di Museum Cairo, Nevi menyapa “Halo Nasi Ramses”. Sebelumnya bis kami lewat ada apotek, Nevi nyeletuk “Apotek Kokandao”, dari “Apose kokandao” lagu Papua. Bis pulang lewat sebuah “Prapatan Anak Tiri”. Berpapasan dengan Jeep yang ada tulisannya “Hujan di bulan Devender”. Terkadang rindu Indonesia dan ingat “Habib Anis sepah dibuang”, juga “Pak Nuh, kadas dan kurap”. Bahkan sampai kangen tokoh sejarah “Masker-èbèt” alias Joko Tingkir. Sayang Mundzir Madjid santri Patangpuluhan yang setia bermaiyah tidak ikut ke Mesir. Mungkin “Mundzir menyelam minum air”. Setengpuluhan juga tidak ikut keliling Mesir. Tapi dua Marja’ Maiyah, Cak Fuad dan Syekh Nursamad Kamba ada bersama kami semua, meskipun tidak ada warung “Marja’ Cingur”.
Andaikan ada angin besar yang biasanya menyapu Sungai Nil, kami khawatir Nevi keprucut bilang angin “Lesus Kristus”. Sebagaimana ketika umroh dia kalah sama nafsu mulutnya untuk menyebut “Miqocok”, sehingga Allah mematahkan engkel lututnya.
Sampai di tempat menginap langsung nge-charge Hp di “colokan Badru ‘Alaina”. Yoyok buka komputer ngecek “Email Salim”. Islamiyanto rengeng-rengeng mengaji pola lagu “Bayati Pèsèk”. Fotografer KiaiKanjeng bernama “Arul Jeram”. Sesepuh KiaiKanjeng bernama “Pakde dan Kapas”. Sementara ibunya anak-anak saya ternyata “Mbak Via Patuk”. Kiai Tohar dimesrai dengan “To rekotok di pinggir kali”. Punya teman senior mas Amir bergelar “Amir ika Serikat” tumbèn celananya “Blu Jeans Soeharto”. Penyair Maiyah Mustofa W Hasyim diparabi “Cak Mus Bahasa Inggris”. Sahabat setia di Jakarta mas Uki Bayu Sejati terpeleset jadi Mas “Uki Bing Slamet”. Pak Bariman di era “Hammas” Kelapa Gading awal-awal Maiyah mendapat kehormatan dipanggil “Cak Man Wis Akhir”. Peniup seruling KiaiKanjeng almarhum Pak Is nama lengkapnya “Pak Is gelap terbitlah terang”. Musisi Jazz kita ternyata nama aslinya “Beben adus kali”. Untung dia suka nraktir kita makan “Ayam Bakar As-Shidiq”.
Budaya plesetan pada hakikatnya adalah ekspresi kelakar. Kalau Anda belajar psikologi, Anda tahu tanda anak cerdas bisa terindikasikan oleh kecenderungannya untuk berkelakar. Kita harus punya keluasan jiwa untuk menampung tidak terbatasnya fenomena kejiwaan dan budaya manusia. Akan terkungkung oleh kemiskinan jiwa dan kekerdilan mental kalau Anda mendengarkan plesetan dengan kuda-kuda fiqih atau hukum Negara dengan pasal-pasal Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam pergaulan antar bahasa di dunia juga ada kelakar-kelakar misalnya “bèsèk” diasosiasikan menjadi “best sex”. Tas Kresek itu “crash sex”. Pèsèk bisa “peace sex”. Bakso “back show”. Ketupat adalah petunjuk kegemukan: “key to fat”. Mundur itu “moon door”.
It is kisstomary to cuss the bride, aslinya cuctomary to kiss. Maredon me padam, this pie is occupewed. Can I sew you to another sheet? Maksudnya Pardon me Madame, this pew is occupied. Can I show you to another seat? Kosakata Bahasa Inggris pun banyak rawan plesetan: antara hear dengan here, seat dengan sheet. Orang bisa nakal bilang Fart smeller sengaja dipelesetkan menjadi smart feller. Check my portfolio diubah jadi check my fort polio.
Atau orang Indonesia salah lidah menyebut “Magic Jar” dengan “Mic Jagger”. Transfer menjadi “franster”. Atau sengaja mengejek Globalisasi dengan Gombalisasi.
Yang menjadi ketidakenakan psikologis dan kemudian bisa berkembang menjadi ideologis dan memicu permusuhan antar kelompok manusia kalau “Makkah” atau “Mekah” diplesetkan menjadi “Mekakah”. Apalagi plesetan logika misalnya “Berzinalah secara halal”. Dan sudah pasti bisa dijamin oleh kesungguhan sejarahnya, Nevi dan komunitas Dipowinatan, Dinasti, Perdikan hingga KiaiKanjeng, sangat peka dan memahami batasan-batasan manfaat-mudlarat plesetan.
Toh putra sulung Nevi bernama gagah anggun “Tegar Maulana” dipanggil oleh Jemek dengan “Darsono”. Nevi tidak merasa dihina atau dikriminalisasi, karena mengerti ranah, dimensi, dan nuansa bebrayan antar manusia memang bemacam-macam. Orang modern diajari Barat menyebutnya pluralisme.