CakNun.com

Mas Sabrang dan “Social Systems”

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit
YouTube video player

Ibarat sebuah pendulum pemikiran Mas Sabrang mengayun dari satu titik menuju titik lain. Ayunan itu bergerak bergantung pada seutas tali. Terlepas berapa panjang temali yang digunakan, berpindahnya bandul menuju titik-titik tertentu itu membentuk keserupaan pola.

Pada Mas Sabrang, bandul adalah disiplin ilmu. Ia sangat luwes membincang satu pokok masalah dengan menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu. Bukan saja ia menguasai bejibun ilmu, melainkan Mas Sabrang cakap mengaitkan titik-titik yang jarang ditengok orang kebanyakan.

Ia kerap memberikan keterangan — bahkan alaram — bahwa kompleksitas yang dihadapi manusia sekarang mustahil sekadar dijawab dengan sekotak ilmu. Apalagi kotak itu berpredikat siap pakai. Ilmu memang menyediakan kemungkinan-kemungkinan, namun belum tentu menyediakan jawaban memadai. Kemampuan menghubungkan antarpola karenanya merupakan selangkah menuju pemecahan masalah.

Salah satu topik perbincangan yang acap disampaikannya adalah apakah agama dan sains betolak belakang. Pertanyaan ini sering digelisahkan sekaligus diucapkan secara sinis oleh tiap kelompok yang merasa berdiri di belakang kotak agama atau sains. Jawaban Mas Sabrang tegas: agama dan sains dapat berjalan beriringan. Malahan keduanya saling melengkapi.

Asumsi yang melatarbelakangi pemisahan sains dan agama sebenarnya baru timbul belakangan. Ketika proyek pencerahan Eropa mem-panglima-kan sains, di belakang layar justru “orang-orang beragama” yang memberikan sponsor utama. Sokongan itu bisa berupa dana, relasi, moral, maupun bantuan kelembagaan.

Institusi keagamaan dan kaum aristokrat memberikan dukungan kepada mereka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Walaupun tujuan dukungan itu berhilir kepada pragmatisme kekuasaan, kenyataan demikian bukan sesuatu yang sama sekali asing. Sejarah tak pernah linier, sebagaimana hasrat kuasa tiap rezim.

Itu jawaban awalan Mas Sabrang. Akan tetapi, ia tak pernah memberikan kesimpulan final. Ia kemudian membuka pertanyaan lagi: apa itu agama, apa itu sains, adakah beda antara agama dengan orang yang mengaku beragama, termasuk distingsi antara ilmuan dan kajian yang dikerjakan.

Terhadap kondisi apa agama dan sains dianggap bertentangan? Agama mana yang dimaksudkan? Konstruksi ilmu pengetahuan semacam apa yang dinilai berkontradiksi dengan agama? Bila ditandaskan berlawanan, bagaimanakah bunyi klaim di sana? Kesalahan klaim itu sendiri atau kekurangcermatan individu dalam membaca?

Pertanyaan demi pertanyaan itu merupakan sikap kritis Mas Sabrang kepada mereka yang bersikap apriori (berpraanggapan sebelum mengetahui). Di samping itu, melemparkan pertanyaan kepada sang penanya memperlihatkan pula bagaimana Mas Sabrang ingin membangun dialog, mendalami sejauh mana arah diskusi akan dihela, apakah berpretensi ingin-tahu atau butuh-tahu.

Kedua motif itu penting guna menengok preseden orang bertanya. Seperti rajin diulas Mas Sabrang pada setiap kesempatan, betapa banjir informasi yang menerpa orang sekarang alih-alih bukan malah membuat mereka semakin tercerdaskan, melainkan menimbulkan kegagapan teranyar: merasa menguasai berbagai hal, padahal inkompeten mengorganisasikan informasi.

Paradoks era informasi tanpa manajemen informasi menjadi titik fokus Mas Sabarang satu dasawarsa belakangan. Kehadiran internet berikut teknologi algoritmis turut pula mengakselerasinya. Tiap orang menjadi konsumen sekaligus produsen informasi. Ruang tegur-sapa virtual terlipat rapat, sehingga kurang menyediakan waktu jeda menata informasi secara refleksif.

Memang “masyarakat informasi” kebanyakan diuntungkan. Tetapi, rimba informasi tetaplah ruang maya yang tak jelas pangkal-ujungnya. Nahasnya, sebagian besar merasa kondisi itu bukanlah masalah pelik. Tanpa pedoman peta pun mereka sekonyong-konyong bangga dengan kegiatan digital activism — mengumbar narsisisme, bersolek sebagai pakar dadakan, dan seterusnya.

Pada aras itulah Symbolic menawarkan jalan tengah untuk mengurai benang kusut atas karut-marut yang dibawa oleh abad informasi. Symbolic adalah “social systems”—meminjam istilah dari Niklas Luhmann—sebagai ruang publik digital yang mampu menjelaskan konflik, dinamika, dan perubahan yang berlangsung di dalam sistem-sistem sosial.

Umumnya, sistem sosial ini merupakan fase keempat setelah kejadian (genesis), diferensiasi, dan chaos. Suatu masyarakat, kini boleh disebut warganet, terbentuk bukan karena hasil interaksi antarorang, melainkan sebuah sistem sosial yang terus-menerus menciptakan dirinya melalui komunikasi dan lingkungan. Kata kunci yang dipakai Luhmann adalah autopoiesis (menghasilkan dirinya sendiri).

Luhmann menjelaskan konsep autopoiesis melalui analogi sel-sel biologis makhluk hidup. Pada sel itu terdapat eukaryotic yang di dalamnya memiliki komponen biokomia: protein dan asam nucleid. Ia diatur sedemikian rupa dalam sebuah struktur dengan sel seperti cytoskeleton, nukleus, dan membran sel.

Sebagai sebuah struktur, ia kemudian menghasilkan sejumlah komponen yang kelak membantu mengatur struktur yang pada mulanya merupakan awalan pembentuknya. Di sinilah letak autopoiesis yang dimaksudkan.

Itulah sebabnya, Mas Sabrang melihat kerusakan sebuah sistem, paling tidak ia kurang memadai menjawab permasalahan sekarang, sangat mungkin diganti lewat “fungsi alternatif” dan karena itu sistem dapat terus berlangsung. Symbolic dengan aneka rupa fitur yang dibawanya merupakan konsekuensi logis atas kebaruan sistem untuk lingkungan digital masyarakat sekarang.

Sebagai catatan kaki, sistem yang dimaksudkan bersifat umum, bukan mengarah pada pergantian sistem kenegaraan sebagaimana dipahami jamak orang. “Social Systems” dalam Symbolic berparadigma autopoiesis yang mampu mengorganisasikan diri dan mampu bertujuan untuk dirinya (self-referential) dan lingkungan di sekitarnya.

Proses penciptaan diri tersebut selalu berhadapan dengan lingkungan. Maka dengan sendirinya ia menghasilkan ekosistem untuk saling menebar kemanfaatan bagi orang lain. Mengapa hal itu bisa dimungkinkan oleh Symbolic? Bagaimana ia menawarkan “social systems” untuk menawarkan jalan tengah bagi kecenderungan bermedia sosial orang sekarang yang antara lain begitu eksistensial?

Symbolic membuka skema dialog untuk mendiskusikan topik tertentu di “ruang kajian” secara interaktif. Semakin aktif partisipasinya, semakin berpeluang ia mendapatkan posisi otoritatif. Warganet atau pengguna lain yang akan menilai: apakah jawaban yang diberikan patut diberi up-voice atau down-voice.

Di samping mengasah pengetahuan diri, ruang kajian juga membiasakan membantu dan/atau menebar manfaat kepada orang lain. Ketersalingan inilah yang sesungguhnya melandasi Symbolic dalam membangun “social systems” yang terdapat di masyarakat digital. Salah satu contoh ini sekadar penggambaran sepintas bagaimana sistem berbasis manfaat terejawantah di Symbolic.

Masih terdapat fitur seperti “Inter-Face” dan “Public-Space” untuk mendukung betapa “social systems” amat penting dalam menjawab sengakrut manajemen informasi dewasa ini. Seperti kata Luhmann sekali lagi, terciptanya sistem dimungkinkan oleh tiga hal: informasi (information), ungkapan (utterance), dan pengertian (understanding). Ketiga hal itu berperan vital dalam proses komunikasi dan pembentukan makna.

Di luar uraian di atas, mengapa Mas Sabarang lebih dekat dengan pemikiran Niklas Luhmann ketimbang, misalnya, Jürgen Habermas? Padahal, keduanya sama-sama membincang ruang publik.

Mau tak mau pertanyaan ini sekilas berpaut erat dengan latar belakang Luhmann sebagai seorang sosiolog yang juga mengakrabi teori fisika modern yang bertendensi merumuskan bangunan teori besar yang memadai menjelaskan alam semesta. Luhmann pun menggandrungi neurofisiologi, teori informasi, teori sistem klasik, dan sains lainnya. Dengan demikian, “social systems” Luhmann merupakan sintesis dari interdisiplin ilmu.

Sebagai matematikawan sekaligus fisikawan Mas Sabrang seranah dengan Luhmann. Kendati landasan konseptual keduanya beririsan, Symbolic beberapa langkah lebih maju dan tepat guna dalam urusan metodologi Zettelkasten ala sosiolog Jerman itu. Salah satunya ditandai oleh konsep manfaat yang dipakai Symbolic, sehingga “social system” berdampak praktis untuk menjawab sengkarut masalah (dis)manajemen informasi di masyarakat.

Exit mobile version