CakNun.com

Markesot dan Pendidikan Konseling

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit
Pikiran Damai Berdasarkan Penuturan Markesot: Studi Hermeneutika Teks Markesot Bertutur Lagi.

Pikiran macam apa yang terlintas di benak kita manakala mendengar kata Markesot? Seorang figur faktual berpenampilan sederhana, murah senyum, berwajah galak, berani terhadap setiap kondisi, dan lain sebagainya. Landasan apa yang kita pakai untuk menilai tokoh itu? Apakah berdasarkan tuturan Cak Nun langsung di setiap helatan Maiyah atau buku Markesot Bertutur Lagi? 1

Bagi tim peneliti yang menulis artikel ilmiah berjudul Pikiran Damai Berdasarkan Penuturan Markesot: Studi Hermeneutika Teks Markesot Bertutur Lagi 2, karakter Markesot disebutnya sebagai “sosok lugu, cerdas, dan misterius” yang rajin mewedarkan jamak masalah sehari-hari di masyarakat secara jenaka dan cerdik.

Markesot bukan tokoh fiktif. Ia nyata karena merupakan sahabat Cak Nun di Jombang. Di buku ini Markesot menjadi tokoh sentral yang dipakai Cak Nun untuk menjelaskan segala hal. Dari tetek-bengek urusan riil sampai hal tak kasatmata.

Namun, hal terpenting kenapa Markesot begitu penting sebagai fokus kajian, antara lain karena alasan pedagogis. Tokoh Markesot dianggap menyiratkan nilai dan konsep kedamaian, sehingga relevan diterapkan di dunia pendidikan.

Pertimbangan itu lalu dinilai implementatif dalam pelaksanaan konseling di sekolah. Terdapat empat poin yang disarikan dari “pesan moral” Markesot di buku Cak Nun (hlm. 83) sebagai berikut.

Pertama, konsep memaafkan kesalahan orang lain (jika saya disakiti maka saya akan memaafkan). Kedua, kecenderungan untuk menemukan kekuatan diri ketimbang menyalahkan diri sendiri (jika saya dilihat dari sisi negatif maka saya akan mencari positif saya).

Ketiga, berpikiran manajerial terhadap emosi diri (jika saya tersakiti maka saya akan berdamai dengan diri saya agar tidak terlampiaskan kepada orang lain). Keempat, berpikiran manajerial terhadap perilaku diri (saya akan mandiri untuk tidak menunjukkan perilaku menyakitkan bagi orang lain).

Sebagai studi hermeneutika, khususnya Gadamerian, lanskap pemikiran perihal kedamaian, sebagaimana diuraikan pada poin di atas, diambilkan dari kalimat-kalimat dalam buku ini yang langsung membicarakan “dunia pikiran” Markesot. Adapun lokus pemikirannya meliputi beragam konteks tuturan.

***

Markesot selalu menilai orang lain bukan atas pertimbangkan posisi sosialnya. Ia cenderung melihat kualitas manusia dari sudut pandang pengabdiannya kepada Tuhan. “Markesot hanya memandang setiap manusia itu sama, tidak ada perbedaan antara Bupati dan Penjual Dawet, antara Cendekiawan dan Karyawan Bengkel, yang membedakan hanyalah baktinya di hadapan Allah.”

Pandangan ini berbanding terbalik dengan perspektif banyak orang dalam melihat mitra sosialnya. Impresi pertama seseorang biasanya dilihat dari apa yang tampak: jabatan, gelar, atau identitas tertentu. Namun, bagi Markesot, hal itu tak penting. Sejauh manusia baik sama Tuhan, maka praktis akan bermanfaat bagi sesama.

Tanpa mendaku sebagai individu yang egaliter, Markesot mempunyai karakter merakyat serta menghormati liyan tanpa pandang bulu. Walaupun demikian, hujan cercaan tak absen mendarat di pundaknya. Ia pernah mendapatkan label “dukun era globalisasi” maupun “dukun global” oleh tokoh imajiner lain seperti Markembloh.

Mendengar ia mendapatkan label begitu, Markesot bukan berarti mengamini. Ia berpikiran cuek meski merasa jengkel. “Mendapatkan label tersebut Markesot hanya tersenyum sesaat, kemudian wajahnya kembali dingin dan angker.”

Sebetulnya sangat bisa ia memberontak. Tapi Markesot tak memilih keputusan itu. Ia melihat orang yang mengejeknya sebagai pihak yang tak mengerti. Daripada mencari musuh, Markesot memilih memberikan maaf.

Pada dasarnya pemberian maaf adalah prasyarat kedamaian. Apalagi ia diberikan kepada mereka yang tak memahami perbuatan yang telah dilakukan. Mengejek atau mencemooh, misalnya, merupakan bentuk perilaku yang dalam alam pikiran Jawa disebut sebagai bocah cilik. Tingkatan ini paling rendah serta masih dianggap belum dewasa.

Markesot mewakili citra kedewasaan seseorang. Maka bukan hal berat bila ia memaafkan. Potensi resisten untuk melabeli seseorang secara buruk tentu terbuka lebar, apalagi bagi Markesot yang dalam konstruk ketokohan yang diciptakan Cak Nun di sini ia juga mempunyai sifat keras. Namun, ada beda antara tegas dan keras, teguh dan keras kepala, maupun fleksibel dan plin-plan.

Berkat kedewasaan yang sudah jangkep di dalam karakter Markesot, ia memilih meminta maaf dan ringan untuk bertandang ke sejumlah tetangga. “Markesot membuka pintu rumah pagi-pagi dan menemui tetangganya untuk saling bermaaf-maafan.” Inisiatif itu dianggap sebagai basis terwujudnya perdamaian di lingkup terdekat.

Kata kunci memahami kecenderungan Markesot, sejauh kita baca dalam penelitian ini, adalah dinamisnya ia kepada siapa pun. Dinamis berarti bersikap kontekstual, yakni selalu menyesuaikan keadaan. Markesot sebetulnya mempraksiskan ngelmu kahanan.

Hal itu diucapkan sendiri oleh Markesot. Seperti kutipan berikut. “Saya bisa juga menunduk-nunduk, asalkan orang lain juga melakukan hal yang sama sebagai suatu bentuk penghormatan kepada sesama.” Pandangan itu setidaknya memperlihatkan dua hal.

Pertama, Markesot mampu adaptif dalam segala karakter jenis manusia. Kedua, Markesot toleran terhadap sebagian orang yang masih bersikap feodal. Akan tetapi, sejauh lawan bicara Markesot juga menghomati dirinya, ia akan memperlakukan hal serupa, bahkan bisa lebih. Semua tergantung, sekali lagi, pada situasi dan kondisi.

***

Apakah ketokohan Markesot benar-benar mewakili dirinya sendiri? Sejauh mana Cak Nun mengonstruknya? Berapa persen yang diambilkan dari sosok faktual, berapa persen yang sengaja dibentuk berdasarkan imaji Cak Nun?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, pemikiran damai Markesot menjadi penting karena sarat akan nilai memaafkan kesalahan orang lain. Bagi Saputra dkk., para peneliti Markesot, nilai tersebut dianggap merupakan “variabel penting” untuk diterapkan sebagai materi pembelajaran bagi remaja.

Mengapa? Menurut para peneliti, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Potensi konflik lewat tawuran antarremaja terbuka lebar. Kerentanan ini menimbulkan perilaku agresi menurut disiplin ilmu psikologi remaja 3.

Bagi konselor (Guru BK) di sekolah, muatan nilai yang diteladankan Markesot dapat diterapkan untuk memberikan pelayanan bimbingan dan konseling. Setidaknya siswa-siswi mampu mempelajari bagaimana mengelola diri sendiri agar potensi terjadinya kekerasan di antara remaja terminimalisir.

Meskipun bentuk terapan atas nilai-nilai itu memerlukan kajian lebih lanjut. Terlebih kegiatan implementatifnya disusun secara konseptual dan selanjutnya dilakukan secara prosedural. Riset ini setidaknya telah melambari secara paradigmatis.

Lainnya