Manusia Itu Makhluk Ghaib
Manusia menghadapi manusia dan menilai berdasarkan fokus nilai tertentu. Ada manusia menghadapi manusia dengan fokus fiqih, yakni tata aturan peribadatan Islam. Ketemu siapa saja yang dipikirkannya adalah dia shalat atau tidak, dia puasa atau tidak kalau Ramadlan, dia berzakat atau tidak, dia sudah berhaji atau belum.
Ada manusia menghadapi manusia dengan fokus selera budayanya. Atau dengan skala prioritas yang item primernya tertentu. Manusia melihat manusia dengan persepsi dia kaya atau tidak, dia golongan kelas menengah atau kelas bawah. Atau lebih sempit lagi: pakaiannya bagaimana, punya motor atau hanya pakai sepeda onthel atau malah punya mobil.
Atau ada yang campuran skala prioritasnya. Dia Kiai kaya atau miskin. Dia pakai gamis atau tidak. Dia Muslim apa Nasrani. Dia bertauhid atau tidak. Atau banyak pertanyaan-pertanyaan formal dan administratif seperti itu. Dia pakai serban atau peci atau iket. Dia biasa ke café atau tidak. Warung kelas apa yang biasa didatangi. Dia suka ke mall atau pasar. Dan banyak variabel-variabel persepsi yang dilakukan oleh manusia atas sesamanya.
Memang manusia harus dikenali akidahnya, imannya, dan akhlaqul karimahnya. Kalau agak tersembunyi: keikhlasannya, kekhusyukannya, kedekatannya dengan Tuhan. Tetapi mata pandang budaya tidak memiliki perangkat untuk menilai kedalaman jiwa manusia.
Kalau mobil Anda mengalami kecelakaan, lantas beberapa orang datang menolong, apa yang Anda tanyakan atau ingin ketahui? Yang menolong Anda itu muslim atau orang Budha atau Hindu, atau jangan-jangan ateis. Kalau Anda keliling kota membagi uang atau bentuk shadaqah lainnya, yang Anda cari orang-orang miskin, orang-orang jalanan, para pengemis, gelandangan, ataukah sesama kaum muslimin. Kalau ada orang mengalami kecelakaan motor, apa Anda bertanya dulu apa agamanya, dan kalau ternyata alhamdulillah Islam, maka bersegera Anda tolong. Dan kalau ternyata orang Kristen atau Aliran Kepercayaan, Anda biarkan saja mereka tergeletak di jalan.
Saya punya teman sesama seniman yang sering datang ke Patangpuluhan. Dia penulis naskah drama atau repertoar teater yang paling produktif selama sejarah perteateran Indonesia. Dia sangat senior sebagai sastrawan dan seniman. Jauh di atas saya. Dia sangat jauh lebih produktif dibanding saya. Dia juga penyair yang menulis puisi.
Tetapi penghidupan ekonominya sangat memprihatinkan. Dia benar-benar tipe manusia seniman yang sangat bukan pedagang dan bukan manajer. Kalau datang ke Patangpuluhan pasti saya belikan beberapa bungkus rokok. Ketika suatu sore pamit dari Patangpuluhan untuk pulang, dia pakai saja salah satu sepatu yang bertebaran di depan pintu. Saya tegur dia dan kasih informasi bahwa itu sepatu milik salah satu penghuni tidak tetap di Patangpuluhan. Dia menjawab: “Lho mosok saya tidak pakai sepatu?”.
Padahal dia tadi memang datang hanya pakai sandal. Saya tidak mau berbantah. Saya ambilkan sepatu saya dari kamar dan saya kasih dia untuk dipakai. Yang penting bukan sepatu yang bukan hak saya. Dia kemudian pamit dan saya harus “salam tempel”, dengan tidak boleh kentara tangannya saya selipi sejumlah uang.
Dia sering datang ke rumah seorang teman lain di sore hari. Teman itu bekerja di kantor sebuah koran. Dulu jam kerja adalah pukul 08.00 sd 13.00 siang. Ada yang sorenya balik ke kantor lagi ada yang tidak. Teman kita yang itu sangat disiplin. Jam 1 siang pulang ke rumah. Tidur sampai sore menjelang maghrib. Sesudah itu balik ke kantor lagi karena konsentrasi kerja Koran Harian justru malam hari sampai pukul 23.00 saat deadline.
Sekitar jam 16.00 teman saya itu datang ke rumah teman yang lain itu. Dan karena sudah biasa, bangun tidur sore teman saya itu langsung membuka jendela depan. Dan langsung ada tangan yang menjulur, tentu tangan teman yang lain itu.
Si empunya rumah bertanya: “Ada apa Mas?”
Si penyodor tangan menjawab: “Ya seperti biasanya”
Dan teman saya si empunya rumah memang sudah hapal dan sudah menyiapkan sejumlah uang untuk dipindahkan ke tangan yang menyodor.
Ada teman lain yang agak lebih cespleng bicaranya. Kalau ketemu teman yang saya certikan itu, dan ia bicara bermacam-macam, dipotong oleh teman yang cespleng ini: “Sudah, nggak usah ngalor-ngidul. Butuh uang kan?”. Ia langsung kasih sejumlah uang.
Ketika diskusi di “Karta Pustaka” dan saya menjadi moderator teman itu yang membawakan makalah hasil penelitian sejarahnya, saya sudah siapkan sebungkus rokok untuknya. Tapi selama diskusi dia tidak mau membuka rokok itu dari bungkusannya. Ia mengambil rokok dari bungkusan saya. Satu demi satu. Dia manusia sangat investatif dan taktis. Dia hemat rokoknya sendiri dan mengambil dari saya.
Itu pun dia tidak punya disiplin tentang asbak. Rokok yang sudah pendek dan hampir tidak bisa dihisapnya lagi, ia buang di sembarang tempat. Atau ia taruh di sele-sela, lekukan-lekukan kursi atau meja. Atau di tempat apapun yang ada cepitan atau peluang untuk diseseli bekas rokok.
Demikianlah yang kami jumpai suatu pagi di sebuah kamar Hotel di daerah Yogya utara barat. Kami memang menyewa satu kamar untuk teman itu. Supaya dia bisa berkonsentrasi menulis. Beberapa teman Jakarta melalui saya meminta dia untuk menulis skenario film. Karena dia memang paling produktif dan piawai menulis prosa.
Pada hari yang dijanjikan bahwa tulisan skenario itu akan jadi, kami datang ke kamar Hotelnya. Ketika pintu dibuka, asap memenuhi kamar itu seperti ada lokomotif kereta api. Sebagian terhembus keluar melalui pintu. Kami masuk tersedak-sedak oleh asap yang memenuhi ruangan. Sementara puntung-puntung rokok bertebaran di sana sini di lantai. Sementara di sekitar kursi yang kami duduki juga penuh seselan puntung-puntung.
Tatapi kami mafhum. Teman kita ini seniman sejati. Yang penting karyanya, bukan bagaimana hidupnya. Yang utama hasil kerjanya, bukan habitat sehari-harinya. Yang penting nilai-nilainya, bukan kebiasaan budayanya.
Kami bertanya: “Sudah jadi Mas skenarionya?”
Dia menjawab dengan nyengèngès: “Anuuuu. Jadinya puisi jé…”. Yang berhasil dia tulis selama di hotel beberapa hari bukan skenarip film, melainkan puisi-puisi.
Kami kecewa, tapi tidak marah. Yang salah adalah kami sendiri. Kurang apresiatif terhadap karakter siapa yang kami berhubungan.
Suatu hari yang lain saya bersama teman itu berkunjung ke kantor teman lain yang terkenal namanya dengan karyanya “Cintaku di Kampus Biru”. Kami naik angkot dari Patangpuluhan ke daerah Baciro. Sesampainya di sana saya belikan rokok teman itu. Kemudian kami menunggu cukup lama sampai teman yang kami kunjungi itu keluar dari ruang kerjanya dan menemui kami.
Tiba-tiba teman saya itu menjawil. “Em, mana uangnya untuk beli rokok”.
“Lho tadi kan saya sudah belikan rokok Mas?”
“Sudah habis jé…”
“Mas uang yang tersisa pada saya hanya cukup untuk naik angkot nanti balik ke Patangpuluhan. Memang saya siapkan untuk itu”.
Dia menjawab. “Lha bagaimana? Mosok saya ndak ngerokok?”
Teman di tuan rumah yang kami datangi itu kebetulan sudah keluar ruangan dan mendengar pembicaraan saya dengan teman ini. Beliau langsung merogoh kantongnya dan memberikannya ke teman itu. Kemudian kepada saya dia bilang “Ayo Nun…”. Dia mengajak pergi.
Teman yang ini sudah dapat uang rokok. Teman yang tuan rumah ini mengajak saya pergi. Saya pun patuh kepada ajakannya. Dia juga senior saya. Meskipun teman yang datang bersama saya itu juga senior, tapi kan tadi sudah saya belikan rokok dan si tuan rumah juga sudah kasih uang rokok.
Kami semua sayang-menyayangi satu sama lain. Ketika saya pergi dengan teman tuan rumah itu mengendarai Jeep HardTop-nya, muncul ide untuk mengupayakan agar teman kita itu bisa memperoleh pendapatan rutin dan permanen. Maka hari berikutnya kami menemui istrinya. Kami bawakan kotak atau kios kecil untuk jualan rokok. Lengkap dengan isinya, bermacam ragam merk rokok yang biasanya dijual dan dibeli orang.
Tentu saja istri teman kita itu sengat senang dan berterima kasih. Kami juga marasa bahagia bisa membantu teman usaha sekadarnya. Sampai suatu hari sekitar dua minggu kemudian saya tidak sengaja lewat dan mampir ke rumah teman ini. Tapi tidak ada kegiatan jual rokok sama sekali. Ketika saya tanya kepada istrinya, dijawab: “Lha habis dirokok sendiri oleh Bapaknya itu...”.
Saya pamit pulang ke Patangpuluhan. Manusia ciptaan Allah sungguh-sungguh misterius. Teman saya itu merupakan contoh sangat jelas bahwa sesungguhnya manusia pun tergolong makhluk ghaib. Benar-benar “syu’uban wa qabail” itu luasan maknanya sama sekali tidak sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para ulama atau kiai. Teman saya itu, dan banyak teman-teman yang lain sangat membantu saya merenungi kehidupan.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.