CakNun.com

Manusia Akhlak yang Adaptif

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 5 menit

Dan benar saja, jumlah angka-angka parameter itu tadi sangat berdampak pada sisi emosional manusia. Jangankan mereka yang sudah memiliki jutaan subscriber di Youtube. Kita yang hanya kaum remahan rengginang saja, setiap upload foto atau story di Instagram, selalu melihat jumlah likes atau views-nya kan? Karena memang media sosial memberikan kita dopamine dari parameter-parameter seperti itu.

Dua tahun terakhir kita menjalani masa pandemi saja, konten-konten di Youtube mengubah lanskap acara televisi konvensional. Acara talkshow yang dulu menjadi salah satu acara prime time di televisi, kini berpindah platform. Melalui Youtube, kebiasaan masyarakat menonton tayangan berdasarkan jadwal yang diatur oleh televisi pun sudah tidak berlaku.

Dan kembali lagi, yang menjadi tantangan tersendiri adalah bagaimana para content creator harus lebih mengasah kembali kreativitasnya agar konten-konten yang mereka sajikan disukai oleh masyarakat. Saat salah satu jamaah bertanya mengenai hal tersebut kepada Mas Sabrang, satu respons yang disampaikan oleh Mas Sabrang adalah bahwa siapapun saja yang mau terjun ke industri kreatif hari ini harus mampu mengenal lapangannya. Apalagi di era digital saat ini, parameter jumlah likes, views, comment, share dan lain sebagainya sangat berpengaruh.

Mas Sabrang kembali menegaskan bahwa makna follow your passion itu bukan hanya mengikuti apa yang kamu senangi. Tetapi, mengikuti apa yang membuat kita berjuang untuk mencapai cita-cita. Kasarnya, menurut Mas Sabrang adalah mengikuti atau menjalani apa yang membuat kita menderita untuk mencapai keberhasilan. Karena sangat mungkin satu keberhasilan lahir dari ratusan, ribuan bahkan mungkin jutaan kegagalan.

Kita melihat Google sebagai sebuah raksasa teknologi hari ini, kita menikmati teknologi Google tetapi juga sebenarnya itu tidak gratis. Rekaman jejak navigasi Google Maps dari kita saja sudah menyumbangkan miliaran data ke Google mengenai kebiasaan kita. History pencarian kita di Google juga menjadi rekaman data tersendiri yang kemudian dikumpulkan oleh Google.

Seperti yang juga disampaikan oleh Mas Sabrang, bahwa dalam inovasi yang juga mampu mengubah adalah perspektif kita terhadap sesuatu. Peristiwanya mungkin sama, tetapi perspektif manusia terhadap sebuah peristiwa itu sangat mungkin berubah di kemudian hari.

Kita sebelumnya tentu tidak membayangkan betapa mudahnya memesan Ojek atau Taksi hari ini. Begitu juga tidak terbayangkan oleh kita sebelumnya bahwa dari sebuah aplikasi pemesanan transportasi mampu mengubah gaya konsumtif masyarakat hari ini dalam memesan makanan dan membayar tagihan bulanan. Begitulah adanya teknologi hari ini, inovasinya bergantung pada perspektif dari manusia itu sendiri.

Beberapa hari terakhir, polemik Permendikbud no 30 tahun 2021 yang mengatur tentang hukuman pelaku kekerasan seksual di kampus perguruan tinggi menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Tentu saja, Advancing humanity yang digagas oleh ITS ini seharusnya tidak hanya sebatas dalam ranah teknologi saja, tetapi juga saat berhadapan dengan isu-isu sosial seperti kekerasan seksual yang dalam catatan Komnas Perempuan di bulan Agustus 2021 lalu saja mencapai 2.500 kasus di Indonesia.

Mendengar istilah Advancing Humanity, saya jadi teringat sekitar 1 dekade yang lalu, saat Mbah Nun dan KiaiKanjeng meyelenggarakan Maiyahan bersama KPK, POLRI, dan Kejaksaan Agung di Taman Siswa, Yogyakarta. Malam itu, Maiyahan yang berlangsung mengangkat tema “Negara Hukum, Manusia Akhlak”. Sebagai Jamaah Maiyah, kita sudah mengenal istilah “Manusia Akhlak” terlebih dahulu bukan?

Ketika kita benar-benar menjadi Manusia Akhlak, maka kita pun mampu beradaptasi dengan teknologi yang ada saat ini. Betapapun canggih inovasinya maupun percepatan pembaharuannya, selama kita benar-benar menjadi Manusia Akhlak, kita tidak akan menjadi budak bagi teknologi. Manusia Akhlak adalah manusia yang sanggup berjalan beriringan dengan kecanggihan teknologi. Begitu juga dalam persoalan Permendikbud tadi, Manusia Akhlak tidak akan ikut berdebat mengenai frasa “tanpa persetujuan”, karena sudah seemestinya sesama manusia saling mengamankan satu sama lain. Jika kita menggunakan rumus Rasulullah SAW, maka kita memiliki kewajiban untuk saling mengamankan dalam 3 hal; harta, martabat dan nyawa.

Lainnya

Topik