Manusia Akhlak yang Adaptif
“Sekeras apapun teknologi, emosi dalam diri manusia tidak akan mungkin ditinggalkan,” Mas Sabrang menyampaikan hal itu saat acara Konser Letto dalam rangka Dies Natalis ITS ke-61. Satu hal kecil yang dicontohkan Mas Sabrang, bahwa saat ini persoalan dua centang biru di WhatsApp pengaruhnya cukup signifikan terhadap emosi manusia. Para kaum jomblo yang sedang berjuang mbribik, akan sangat galau saat pesan yang terkirim tidak direspons sama sekali padahal sudah dua centang biru. Bahkan, suara notifikasi handphone, meskipun hanya berbunyi “ting”, itu sangat mungkin membuat deg-degan.
Belum lagi jika kemudian kita membahas komentar-komentar di media sosial yang saat ini begitu gamblang orang secara bebas melakukan spill sana-sini tentang sebuah peristiwa. Meskipun persoalan rasan-rasan sebenarnya merupakan budaya masyarakat kita sejak lama, tetapi bedanya saat ini rasan-rasan itu bisa dibaca oleh semua orang, bahkan yang tidak dikenal oleh si objek rasan-rasan itu, dan bukan cuma ikut ngrasani, tapi juga ikut mbully.
Persoalan cyber bullying saat ini memang sangat pelik. Bayangkan saja, orang yang tidak mengenal sama sekali satu sama lain, bisa kompak dan seragam menyerang seseorang untuk di-bully habis-habisan di media sosial. Hanya berbekal informasi yang bertebaran di platform media sosial atau forum-forum milis di internet, semua orang yang sepakat bisa menumpahkan kebencian terhadap satu objek yang sama.
Advancing Humanity, sebuah tagline yang digaungkan oleh ITS. Kali ini pihak ITS menggandeng Letto untuk menyampaikan pesan dari tagline tersebut. Dalam salah satu rangkaian acara Dies Natalis ke-61 yang dilangsungkan di Kadipiro minggu lalu.
Terjemahan bebas dari Advancing Humanity kira-kira adalah memajukan kemanusiaan. Mungkin, yang dimaksud dengan advancing humanity oleh ITS adalah bagaimana dengan teknologi yang berkembang begitu pesat hari ini diimbangi dengan juga berkembangnya kemanusiaan. Kecanggihan dan inovasi teknologi adalah sebuah keniscayaan, menjadi tantangan tersendiri bagi manusia untuk mengimbangi pencapaian sains hari ini. Sehingga, manusianya juga tidak kalah maju dari teknologi yang ada.
Manusia yang advance, seharusnya tidak akan masuk angin saat menghadapi kenyataan bahwa memang inovasi teknologi selalu berkembang. Pun begitu juga saat menggunakan teknologi itu, manusia yang advance tidak akan salah dalam menggunakannya. Manusia yang advance tidak akan ikut mbully saat ada objek bully massal. Manusia yang advance adalah manusia yang sangat hati-hati dalam merespons sesuatu.
Ketika Mas Sabrang menyampaikan bahwa emosional manusia tidak mungkin lepas dari inovasi teknologi, saya membayangkan bahwa memang yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri juga adalah upgrading apa yang ada dalam dirinya. Kita mungkin tidak akan mengalami seperti yang dialami oleh Rasulullah Saw yang saat masih belia didatangi oleh Malaikat Jibril yang kemudian melakukan maintenance untuk membersihkan kotoran-kotoran yang ada di dalam dada Muhammad bin Abdullah.
Yang menarik adalah, bukan isi kepalanya yang dibersihkan oleh Jibril, melainkan dadanya. Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa sebenarnya isi kepala manusia itu sejak lahir dalam kondisi yang baik-baik saja, justru apa yang ada di dalam dada manusia itulah yang harus diperhatikan oleh manusia itu sendiri. Mbah Nun seringkali mentadabburi Surat An Nur ayat 35 untuk membahas hal ini.
Membincangkan teknologi hari ini pada akhirnya memang memaksa manusia untuk mengikuti inovasinya. Cepat atau lambat, manusia yang harus beradaptasi dengan teknologi. Satu contoh saja, media sosial hari ini dengan persaingan inovasinya, setiap inovasi yang muncul dari satu platform saja bisa mengubah lanskap media sosial secara luas.
TikTok pada awal kemunculannya dicibir oleh banyak orang, karena hanya dianggap sebagai sebuah platform yang dijadikan panggung bagi mereka yang hanya suka joget-joget saja. Hari ini, lanskap media sosial berubah. Instagram sendiri yang awalnya tidak begitu fokus pada konten video, pada akhirnya harus berkompromi dengan merilis fitur reels untuk mengakomodasi penggunanya agar tidak berpaling ke platform TikTok.
Twitter, sampai hari ini tidak mau merilis fitur untuk meng-edit tweet yang sudah diposting. Hanya ada pilihan delete. Berbeda dengan platform lain di mana mereka menyediakan fitur tersebut. Facebook sendiri sepertinya juga menyesal merilis fitur likes di platformnya, karena pada akhirnya fitur tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan secara bisnis.
Ketika merilis iPod dan iTunes, inovasi Steve Jobs ini dianggap aneh karena saat kemunculannya bersamaan dengan puncak dari industri musik konvensional yang saat itu masih mendewakan jumlah kepingan kaset atau CD yang terjual. Hari ini, kita yang menyukai musik, sudah tidak lagi rajin mendatangi toko kaset untuk berburu lagu-lagu baru dari artis atau grup band yang kita sukai. Romantisme itu kini berubah dengan munculnya konsep jumlah views, share, likes dan comment di platform-platform media sosial seperti Youtube, atau jumlah pemutaran lagu di platform seperti Spotify atau Apple Music yang menjadi parameter kesuksesan sebuah karya seni.