Manggung Tanpa Naik Panggung
Karena memang kelompok musik, maka kegiatan utama KiaiKanjeng, di samping berkeluarga di rumahnya masing-masing, adalah manggung. Bekerja dengan menampilkan musik di panggung.
Sebelum pandemi 2020, tercatat jumlah pemanggungan KiaiKanjeng adalah 4149. Di tengah Pandemi mereka manggung di Cikarang berarti ke-4150. Kalau ditambah Mocopat Syafaat beberapa kali berarti 4152-3 kali. Saya tidak tahu jumlah pemanggungan kelompok-kelompok musik lain, seperti Letto adiknya sendiri, atau Dewa, atau God Bless dan AKA zaman dulu berapa kali.
KiaiKanjeng manggung tiga kali di tiga kota dalam semalam. Bakda Isya di UIN Semarang, pukul 22.30 di halaman Masjid Pati, pukul 03.00 di Pesantren Grobogan. Massa atau jamaah sudah pulang tapi berduyun-duyun kembali lagi karena bertemu mobil KiaiKanjeng di tengah jalan. KiaiKanjeng manggung sampai adzan Subuh terdengar. Dari Grobogan KiaiKanjeng langsung menuju Pekalongan. Peci, baju, dan sandal saya lenyap direbut oleh Jamaah. Baru masuk Pekalongan mampir beli sandal jepit.
Kemungkinan besar lebih banyak kali. Tetapi dari sudut keragaman konteks dan tempat pemanggungan, mungkin KiaiKanjeng memang spesifik. Rata-rata di lapangan, di halaman Kelurahan atau Masjid, bisa juga di tepi hutan, di leher gunung, di tepi laut, atau di tempat-tempat lain yang tidak lazim dan sulit secara teknis untuk menata keperluan pemanggungannya.
Dari segi keluasan wilayah yang mereka jangkau untuk manggung, mungkin juga tidak banyak padanannya. Misalnya 6 kota di Mesir, 3 kota di Italia, 9 kota Netherland, 4 kota Inggris dan juga Australia, 3 kota di Malaysia, 1 kota Finlandia dan Skotlandia.
Tetapi yang lebih merupakan keunggulan adalah penjelajahan KiaiKanjeng ke sangat banyak pelosok-pelosok Nusantara, dengan ragam segmen dan level masyarakat.
Juga tengah-tengah manggung listrik dan sound mendadak mati di Pabelan, Karanganyar, Sukoharjo, Blora. Di Gondanglegi Malang sampai selesai manggung pukul 02.00 dini hari hanya pakai sound vocal, tidak ada sound untuk musik. Dan itu semua tidak pernah menjadi masalah bagi KiaiKanjeng. Tak sampai satu menit sesudah lampu dan sound mati, massa sudah bernyanyi bersama atau shalawatan diselai dialog teriak-teriak setengah mati.
Atau hujan deras di alun-alun Pekalongan, Gresik, Bantul dll tapi justru menambah semangat masyarakat untuk malah mendesak ke depan panggung. Kepada mereka saya membandingkan apa kerugian dan keuntungan kalau tidak hujan dibanding hujan. Dan kami bersama-sama menemukan bahwa hujan justru mendekatkan hati dan kekentalan kebersamaan kami.
Kecuali di sebuah taman di Ismailiya Mesir yang hujan dan sangat dinginnya udara membuat personel KiaiKanjeng berjuang ekstra keras untuk membunyikan musiknya. Tetapi semua yang terjadi oleh KiaiKanjeng selalu dicari berkahnya, ditemukan kenikmatan ekstranya, serta diwaspadai keuntungan-keuntungannya yang tak terduga, yang kalau tidak hujan, listrik dan sound tidak mati — semua itu tidak muncul “min haitsu la yahtasib”.
Fenomena lain yang sering terjadi adalah manggung tanpa saya naik panggung. Di Enrekkang Sulsel dan Sidoarjo KiaiKanjeng gotong royong kerja keras membalik arah panggung. Di Kudus, Bojonegoro, Gresik, Solo, dan sejumlah tempat lain, ketika saya melakukan workshop dengan mengundang anak-anak kecil naik panggung untuk melakukan sejumlah hal: saya sendiri harus turun panggung. Di Mandar dan Samarinda juga terjadi yang seperti ini.
Tetapi yang saya sama sekali tidak menyentuh panggung adalah di Tulangbawang Lampung. Wilayah yang dari Tanjungkarang harus ditempuh melalui jalanan yang sangat rusak seperti sungai tak ada airnya. Di Tulangbawang sedang terjadi konflik antar-Plasma. Plasma adalah kelompok pekerja masyarakat, Inti-nya adalah Perusahaan dan Pabrik yang mengolah hasil kerja masyarakat.
Perusahaan Udang yang di Tulangbawang itu dua terbesar di dunia produksi atau eksportnya. Tetapi hampir dua tahun berhenti berproduksi karena para Plasma yang jumlahnya 4.500 KK bertengkar satu sama lain. Sampai ada penyerbuan, luka, mati, masuk penjara, serta 1.500 KK diusir dari desanya.
Saya dan KiaiKanjeng diminta datang untuk memediasi konflik mereka. Tentu saja kami mempelajari seluruh seginya, sebab akibatnya, serta simulasi kemungkinan solusinya. Sebenarnya ke mana saja KiaiKanjeng manggung, meskipun tak ada kasus atau konflik apa-apa, selalu ada tim KiaiKanjeng yang mempelajari keadaan masyarakat di tempat itu. Dengan demikian muatan tema Maiyahan ada landasan dan orientasinya.
Terlebih dulu saya menemui satu persatu pimpinan-pimpinan kelompok yang berperang. Besoknya pemanggungan KiaiKanjeng, semua yang bertengkar itu datang. Saya menemukan bahwa sebaiknya saya tidak naik panggung, melainkan berimprovisasi jalan ke sana kemari di bawah panggung, untuk mengelola alur komunikasi yang terjadi.
Setiap masalah harus bersama-sama ditemukan dan disepakati substansinya, dilihat bersama dasar-dasar nilai kenapa manusia hidup, bermasyarakat dan bekerja. Kemudian dikuliti, dianalisis, dan dicari pointers tawaran-tawaran kemungkinan penyelesaiannya.
Dengan KiaiKanjeng satu kali ke Tulangbawang. Saya sendiri sampai tiga kali untuk pada akhirnya bisa berdamai. Di Pulau Jawa yang makin padat orang makin kesulitan mencari kerja, “Kenapa Sampeyan semua yang sudah punya pekerjaan bagus, sangat produktif dan berprestasi secara internasional, malah Sampeyan hancurkan sendiri”.
Manusia tidak besar potensinya untuk berubah berdasarkan kesadaran atas kebenaran atau kemashlahatan. Pada banyak hal, manusia harus dipojokkan dan dipaksa untuk berubah. Maka terakhir saya mengancam mereka bahwa kalau sesudah kedatangan saya yang terakhir ini keadaan belum damai, saya akan bubarkan Perusahaan Inti mereka. Seolah-olah saya punya saham terbesar dan punya kuasa untuk bisa membubarkan perusahaan.
Tetapi mereka termakan oleh ancaman saya. Salah satu sebabnya adalah menyangka secara klenik dan mistis bahwa saya adalah bagian dari yang berkuasa di Negara ini sehingga mampu membubarkan perusahaan mereka. Sejak itu perdamaian disepakati dan berlangsung hingga Perusahaan beroperasi kembali dan berprestasi lagi di ekspor dunia.