Manfaat Silaturahmi dan Memaafkan
Meski Idul Fitri tahun ini adalah kali kedua Idul Fitri di masa pandemi, di mana kita diseyogyakan untuk tidak mudik, dan tetap menerapkan prokes dalam aktivitas lebaran, tak ada salahnya kita mengingat dan menyelami nilai-nilai di balik Idul Fitri atau lebaran itu sendiri.
Lebaran (Idul Fitri budaya) di tempat kita identik dengan ketupat, opor ayam, dan sambal goreng. Tak lupa kegiatan sungkem kepada orang tua mohon maaf, mohon restu agar perjalanan hidup kedepan lancar dan direstui.
Dengan kawan sebaya, tetangga dan saudara ada adat saling memaafkan, saling kunjung, ngobrol, lengkap dengan suguhan kacang bawang, tape ketan yang dimakan dengan emping melinjo. Seluruh kegembiraan tertumpah pada hari itu. Tidak boleh ada tetangga yang sedih atau susah. Semua harus bahagia di hari Fitri itu.
Poin pentingnya adalah ‘silaturrahmi’ dan ‘memaafkan’. Silaturahmi sendiri menurut para ahli dan ulama mempunyai beberapa keutamaan yaitu merekatkan tali persaudaraan, menambah saudara, mendatangkan keberkahan, dan memperpanjang umur. Nabi bersabda: Dari Ibnu Syihab dia berkata: telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa ingin dilapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari).
Dalam hal memperpanjang usia, ada dua pendapat para ulama, yaitu bisa bermakna kias dan bisa bermakna harfiah. Yang bermakna kias adalah bahwa umur tetap saja sampai pada batas tertentu. Akan tetapi berkah umur yang ada pada seseorang dimanfaatkan untuk perbuatan baik, sehingga ketika seseorang tersebut meninggal maka jasanya akan selau dikenang, seolah-olah orang tersebut hidup terus, tak pernah mati.
Sedangkan yang berpendapat makna harfiah, maka silaturrahmi itu akan menjadikan Allah mengubah keputusan ajal seseorang. Lha itu hak Allah je… “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (Qs Ar Ra’d: 39).
Kalau saya boleh mengira-ira, kenapa silaturahmi bisa memperpanjang usia, begini, karena dengan kita bertemu orang, bersosialisasi, maka ketegangan hidup kita bisa berkurang, stres kita akan sangat berkurang menjadi minimal, karena di dalam silturahmi tersebut bisa terjadi proses interaksi sosial, ngekek ngekek bahkan sampai curhat (katarsis), yang sangat berarti untuk menghilangkan tekanan (stres).
Loren Toussaint pada tahun 2014 menulis di sebuah jurnal internasional (Journal of Health Psychology) dan mengungkap pengaruh stres ini terhadap kesehatan manusia. Dia mengungkap bahwa kondisi stres ini akan memperburuk kesehatan jasmani dan rohani setiap individu. Nah…!
Lalu bagaimana dengan tradisi ‘saling memaafkan’ yang ada pada ‘lebaran budaya’ kita? Apakah juga berpengaruh pada biopsikososial manusia? Ada beberapa pendapat ahli tentang hal ini.
Yang pertama memaafkan itu menjadi sarana relaksasi yang akan berpengaruh pada berkurangnya tingkat stres. Kita kalau sudah minta maaf dan dimaafkan maka rasanya akan sangat lega. Demikian pula kalau kita memaafkan atas kesalahan orang lain, maka kelegaan juga akan datang pada diri kita sehingga produk akhir dari kelegaan ini adalah tidur kita akan nyenyak, kualitas tidur akan lebih baik. Bila kualitas tidur kita baik, maka sel sel biologis tubuh kita akan bekerja dengan optimal, tumpukan asam laktat di otot yang menyebabkan kita lelah akan diangkut dan diproses dan akhrinya dibuang, sehingga tubuh kita akan kembali bugar ketika bangun.
Kedua, dengan memaafkan akan terjadi peningkatan kualitas relasi, baik relasi kita dengan orang lain maupun relasi dengan diri sendiri. Jika memiliki konflik dengan orang lain maka konflik ini akan berefek timbulnya emosi negatif, dendam, sakit hati, dan marah. Yang jelas semua ini akan menurunkan kualitas hidup seorang manusia.
Selain itu, memaafkan mempunyai manfaat baik pada orang lain yang meminta maaf maupun (terutama) kepada diri sendiri. Manfaat-manfaat tersebut di antaranya adalah: meningkatkan kualitas diri, menurunkan risiko stres, melatih empati, melihat diri sendiri (introspeksi), dan mencoba memahami orang lain. Lagi-lagi saya mendapati sebuah hasil penelitan dari Pak Loren, beliau ini adalah seorang profesor Psychology dari Luther College di US, yang sangat mendalami tentang ‘memaafkan’ ini.
“Saya mempelajari bagaimana memaafkan bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seseorang.” “Saya juga meneliti aspek yang lebih luas dari spiritualitas, religiusitas, dan kesejahteraan pada manusia. Fokus utama saya adalah pada memaafkan sebagai fenomena psiko-spiritual yang berhubungan dengan kesehatan dan kebugaran.” Demikian kata Pak Loren.
Beliau membuat sebuah penelitan yang dipublikasikan pada tahun 2016, dengan latar belakang bahwa hingga saat itu, tidak ada penelitian yang meneliti bagaimana ‘memaafkan’, stres, dan kesehatan manusia berfluktuasi dan saling terkait dari waktu ke waktu. Kita semua tahu bahwa kondisi stres adalah sebuah faktor risiko yang sangat berpengaruh pada memburuknya kesehatan.
Hasil penelitian Pak Loren menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukannya tersebut adalah penelitian yang pertama yang memberikan bukti bahwa ‘memaafkan’ mempunyai efek pada berkurangnya stres pada seseorang, dan pada gilirannya akan menghasilkan kesehatan mental yang lebih baik. Oleh karena itu, beliau menyarankan untuk selalu memupuk sikap memaafkan (yang tulus) yang dengan memaafkan ini akan memiliki efek yang baik pada (berkurangnya) stres dan (menaikkan status) kesehatan.
Silaturahmi dan saling memaafkan adalah ajaran dan tradisi luhur dari pendahulu kita. Kita punya tradisi yang luhur, tinggal PR kita adalah menggali makna tradisi luhur tersebut. Mosok harus orang Barat yang menemukan buktinya?
Walaupun masih di masa pandemi, semoga esensi silaturahmi dan saling memaafkan masih tetap bisa kita jalankan. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya Karim.