Maiyahan Edisi Tremor
Lewat tengah malam Maiyahan di Padangan Jawa Timur, di mana teman-teman KiaiKanjeng tidak tega melihat saya berjam-jam berdiri dengan kaki dan tubuh gemetar, dengan ekspresi suara yang lemah, akhirnya tidak bertahan, saya ambruk pingsan.
Itu merupakan seri Maiyahan tremor di banyak tempat, termasuk di LP Cipinang Jakarta. Sorenya di Pesantren Bojonegoro saya dalam keadaan badan sangat lemah sempat dolanan berlarian dengan para santri, yang mungkin bisa bermakna kesombongan ego saya terhadap kondisi sakit. Maka malamnya saya benar-benar lunglai dari posisi berdiri daya.
Gun Jack meloncat ke panggung dan menadahi badan saya, kemudian menggendong ke ruang transit. Sebentar kemudian Gemblèk menaikkan saya ke kendaraan dan menyetirnya pulang ke Yogya. Saya belum pernah naik mobil dengan kecanggihan menyetir seperti Gemblèk dan kecepatan yang benar-benar sukar dinalar. Andaikan memungkinkan menembus ke bawah tanah, pasti Gemblèk melakukannya. Atau seandainya mobil yang kami naiki bisa terbang, pasti Gemblèk menerbangkannya.
Kondisi Edisi Tremor sakit saya itu sudah meloncat-loncat ke berbagai tempat. Normalnya saya tidak wajar untuk tetap Maiyahan, apalagi selalu lebih dari 5 jam. Tetapi sepanjang saya sakit sejak Klaten, Malang, Surabaya, Jakarta, Yogya sendiri dan lain-lain itu, tidak pernah ada undangan Maiyahan yang tidak kami penuhi.
Meskipun atas inisiatif Cak Dil respons terhadap undangan masyarakat itu dipusatkan saja di Padhangmbulan Jombang setiap malam purnama, ternyata sama sekali tidak mengurangi frekuensi padat undangan-undangan agar saya datang ke berbagai tempat. Malah kemudian lahir anak-anak Padhangmbulan. Di Yogya Mocopat Syafaat. Di Semarang Gambang Syafaat. Di Jakarta Kenduri Cinta. Di Surabaya Bangbang Wetan, sebelumnya ada Haflah Shalawat, yang saya selalu harus datang. Untungnya di 63 tempat seluruhnya, termasuk di Malang, di Lampung, di Purwokerto, bahkan hingga Korea Selatan, Belanda, Jerman, Austria, Finlandia dll, bisa berlangsung secara mandiri tanpa kehadiran saya secara langsung.
Edisi Tremor itu diperkenankan oleh Allah untuk berakhir sehari sesudah saya divonis usia tinggal 3,5 bulan oleh sejumlah teman Dokter di Rumah Sakit Dr Sardjito UGM Yogya. Bu Nyai Novia menantang saya: “Kan latar belakang masalahnya sudah semakin jelas, kenapa tidak diantisipasi saja”. Maka malam harinya saya mematuhi tantangan dan teguran itu dengan melakukan “suatu upacara” kepada Allah dan paginya Allah memurahi saya menjadi sehat walafiat, bahkan kemudian badan saya yang semula turun bobotnya sampai menjadi hanya 46 kg, mulai hari itu memulih sampai secara bertahap namun cukup cepat mulih menjadi di atas 70 kg.
Di luar era Edisi Tremor itu sampai hari ini Allah merahmati saya dengan tidak pernah sakit, tidak pernah marasa pusing kepala, tidak pernah perut sakit entah sebah entah mlilit entah senep entah apapun lainnya. Ada sempat opname beberapa hari di Happy Land atas kepatuhan saya kepada Bu Nyai. Tidak karena sakit apa-apa, tapi harus bersembunyi dari tamu-tamu dan acara-acara yang selalu sampai dinihari.
Ketika Covid-19 datang entah dari langit sebelah mana atau muncul dari kedalaman bumi belahan sebelah utara kemudian menyebar ke seluruh permukaan Bumi, saya menjadi bertambah sehat. Nalarnya sederhana. Covid-19 adalah ancaman serius. Kalau manusia didera ancaman, ia pasti menjadi lebih waspada dan ekstra hati-hati. Akibatnya ia menjadi lebih sehat dibanding kalau tidak ada ancaman.
Tetapi stabilitas kesehatan itu membuat saya merenungi kehidupan lebih mendalam, detail, dan sungguh-sungguh. Sedemikian rupa sehingga saya tidak pernah berani merasa sehat atau mengatakan kepada siapapun bahwa saya sehat. Kalimat yang lebih tepat adalah Allah belum membikin saya sakit. Allah bisa kapan saja mengubah kesehatan saya menjadi sakit, atau mengubah kehidupan saya menjadi mati. Sebab Allah adalah Maha Penguasa Tunggal dari sehat atau sakitnya manusia, Allah adalah Maha Pemegang Otoritas atas hidup dan matinya semua makhluk ciptaan-Nya.
Jangankan sehat atau kondisi-kondisi apapun yang dialami oleh manusia. Jangankan hidup atau mati, bahkan di puncak rasionalitas nilai, kalau manusia mau berendah hati menggunakan kecerdasan elementer dan sederhana saja: manusia itu sejatinya tidak ada kalau Allah tak membikin dan memperkenankannya ada.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ الغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّى فَتَضُرُّونِى وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِى فَتَنْفَعُونِى يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ يَا عِبَادِى إِنَّمَا هِىَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya.
Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada waktu malam dan siang, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan dapat membinasakan-Ku dan kalian tak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.
Wahai hamba-Ku, jika orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, lalu Aku memenuhi seluruh permintaan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut.
Wahai hamba-Ku, sesungguhnya inilah amal perbuatan kalian. Aku catat semuanya untuk kalian, kemudian Kami akan membalasnya.
Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan barang siapa mendapatkan selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.”
Hadits ini sumbernya adalah Abu Dzar Al-Ghifary, salah seorang manusia mulia yang ditakdirkan hidup di masa dan di sekitar Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Kemuliaan Abu Dzar bukanlah kemuliaan karena lugu, murni, polos. Melainkan kemuliaan yang merupakan puncak dari intelektualitas. Puncak dari kepandaian dan kepiawaian. Dan kualitas itu yang membuatnya ditakdirkan menjadi sanad atau sandaran utama informasi hadits ini. Kita semua merasa cemburu kepada beliaunya ini, karena kita tidak ditakdirkan untuk hidup di era dan bersama Rasulullah Muhammad Saw. Tetapi kita tahu diri karena memang kita tidak ditakdirkan oleh Allah sebagai manusia yang punya kelayakan untuk ada bersama Kanjeng Nabi. Kerendahan mutu kemanusiaan kita cocoknya ada di era Bung Karno, Pak Harto hingga Jokowi.
Kalau kita bangun pagi, kemudian bercermin menghadap kaca pemantul, rasanya memang wajah dan diri kita ini tidak ada pantes-pantesnya untuk menjadi penghuni sorga. Dari segala segi, kita tidak “potongan” untuk masuk sorga. Apalagi kalau menghitung minimnya amal saleh kita dan bertaburannya dosa-dosa kita.
Maka kita, seluruh Indonesia, sangat setuju pada puisinya Abu Nawas, dan syairnya itu selalu viral sejak ratusan tahun yang lalu:
إِلٰـهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً- وَلاَ أَقْوٰى عَلَى النَّارِ الْجَحِيْم
“Tuhanku, tidaklah pantas diriku ini menjadi penghuni sorga. Namun aku juga tak kuat untuk engkau campakkan ke api neraka.”