Lihatlah ke Diri Sendiri
Kekecewaan masih membekas pasca tim favorit saya (red. Inggris) gagal menjadi juara Piala Eropa 2020 (meski terselenggara di tahun 2021). Nyeseknya lagi partai puncak tersebut digelar di depan publik mereka sendiri. Di Wembley stadium The Three Lion tampil memble. Sad.
Padahal baru dua menit berjalan, Inggris unggul lebih dulu lewat sepakan terukur dan berkelas dari kaki kiri Luke Shaw. Hingga menit 67 Italy baru bisa menyamakan kedudukan lewat sontekan kaki Leonardo Bonucci yang memanfaatkan screamit di mulut gawang. Sialnya, kedudukan seri ini bertahan sampai menit ke-90, tanda peluit panjang dibunyikan.
Laga pun berlanjut ke extra time 2×15 menit. Pertandingan berjalan landai, monoton, dan hanya sesekali terjadi serangan. Tak ada sebiji gol pun tercipta. Mau tak mau, suka tidak suka, pertarungan dilanjutkan ke adu tos-tosan. Dan adu pinalti adalah sesuatu yang paling saya benci di muka bumi ini.
Jika menilik sejarah, Inggris kerap menelan pil pahit saat melakoni adu pinalti. Entah siapa pun musuhnya. Apalagi Italia. Mimpi buruk seolah di depan mata. Dan benar saja, Inggris pun akhirnya keok dengan skor 3-2. Italia pulang dengan senyum lebar.
Usai laga final, saya coba melakukan analisis ringan. Terlepas faktor luck atau “kutukan”, kekalahan Inggris memang dominan disebabkan kesalahan mereka sendiri.
Paling tidak ada tiga sebab yang memaksa tim Tiga Singa gigit jari. Pertama, pelatih Inggris tidak memaksimalkan kuota pergantian pemain. Gareth Southgate telat (cenderung gagap) merespons gol balasan Italy. Saat Italy dalam posisi tertinggal, Mancini jeli dan segera melakukan pergantian dua pemain sekaligus. Hasilnya pun signifikan. Menit 67 Bonucci sukses mencetak gol penyeimbang. Sebaliknya hal itu (mengganti pemain) tidak dilakukan oleh Southgate saat kedudukan imbang 1-1.
Kedua, Southgate terlalu PD menunjuk tiga algojo yang notabene pemain berusia muda. Rashford, Sancho, dan Saka secara umur dan pengalaman masih hijau. Mereka belum punya banyak jam terbang di laga internasional. Apalagi adu pinalti di partai puncak bos. Butuh mental dan nyali yang jos. Tentu beban berat ada di pundak mereka. Kalau mentalè loyo, tendanganè ya mleto. Terbukti ketiga pemain muda tersebut gagal menceploskan bola ke gawang. Padahal masih ada nama senior seperti Shaw, Johnstone, atau Sterling untuk ditunjuk sebagai eksekutor.
Ketiga, blunder Southgate mengeluarkan Henderson di babak extra time. Kapten Liverpool ini baru dimasukkan Southgate pada babak kedua waktu normal. Lha kok menjelang laga perpanjangan bubar malah ditarik keluar. Wis mlebu, metu neh. Itu kan konyol. Padahal Hendo (sapaan Henderson) adalah pilihan ideal untuk mengambil tendangan 12 pas.
Tiga sebab itulah yang menurut saya menjadi biang keladi kekalahan Inggris di kandang sendiri. Para fans (termasuk saya), publik Inggris, para pemain, pelatih, bahkan Ratu Ellysabet pun harus mau menerima dan mengakui bahwa kekalahan Hary Kane cs lebih disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri.
***
Belum reda meratapi kekalahan Inggris, selang dua hari saya dibuat menangis tatkala membaca Tajuk berjudul Saya Berhenti Maiyahan (14/7/21). “Ada apa gerangan?” Tanya hati saya. Setelah membacanya, mencerna, dan mencoba meresapinya, saya benar-benar merasa ditampar. Rasa sedih, anyel, kemropok campur aduk jadi satu.
Bayangkan saja kalau Mbah Nun (beserta KiaiKanjeng dan tim Progress) tidak Maiyahan lagi, betapa ruginya kita. Dan jangan salahkan mereka. Sekali lagi jangan salahkan mereka. Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Semua pasti ada sebab-akibat.
Apa yang sudah kita lakukan selama ini sehingga membuat Simbah gerah, kecewa, tidak nyaman, sehingga ingin berhenti Maiyahan? Apakah kita sebagai anak-cucu tega membalas “air susu” dengan air tuba? Tapi faktanya demikian.
Nasib dan posisi kita (terutama JM) saat ini persis seperti fans dan kesebelasan Inggris. Kalau kita salah atau kalah, tak usah menuding, apalagi menyalahkan orang lain. Tapi lihatlah ke diri sendiri. Koreksi dan instrospeksi.
Sebelum terlambat mari kita perbaiki niat, perbagus sikap, dan berpikir matang sebelum bertindak. Baik dalam laku nyata maupun maya (sosmed). Jangan melakukan atau menyebarkan sesuatu yang bukan kapasitas kita. Stop memelintir, mengadu, atau membenturkan narasi-narasi Mbah Nun (yang berupa tulisan, qoute, foto, video) dalam platform apapun.
Coba saya tanya, apa yang sudah diberikan Simbah kepada kita? Mulai dari winih, dahan, ranting, buah, hingga pohon rindang bernama Maiyah sudah beliau hadiahkan untuk kita bersama. Masih kurangkah? Tidak bersyukurkah kita?
“Lain syakartum laazidannakum, (bahwasanya jika kalian bersyukur, maka Aku akan tambah nikmat untuk kalian).”
Tugas kita cukup dengan bersyukur. Mensyukuri segala kasih sayang Simbah bersama Maiyah. Dengan mensyukurinya (menjaga Maiyah dari uget-uget, gathul, dan kawul kobong) InsyaAllah nikmat kita akan bertambah. Namun jika kita memilih sebaliknya yakni merusak, menganiaya, terlebih lagi mendzaliminya, maka ada balasan yang setimpal di sana. Naudzubillahi mindzalik.
“Wa lain kafartum inna adzabi lasyadid.” Dan jika kalian kufur, sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. (QS. Ibrahim: 7.)
Gemolong, 20 Juli 2021.