CakNun.com
Kebon (126 dari 241)

Lebih Sehat Lahir Batin
Berkat Covid-Nineteen

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Foto dan Ilustrasi oleh Adin (Dok. Progress).

Selama masa kanak-kanak di Jombang, saya sehat walafiat alamiah dalam habitat budaya desa tradisional. Selama di Gontor, lebih sehat karena berdisiplin penuh siang malam seperti prajurit militer. Disiplin fisik maupun nilai batin, secara ruang dan waktu.

Kemudian masuk Yogya, Malioboro, Kadipaten, Dipowinatan, Dinasti, Patangpuluhan: saya banyak sakit-sakitan, badan nggregesi tiap malam, alergi, selalu gebras-gebres setiap bakda Isya. Kalau lagi memuncak, bisa ambruk di jalan atau terjatuh menimpa barang-barang di toko. Itu karena tahun-tahun begadang di Malioboro, sampai budaya aktivisme seni budaya dan politik di Patangpuluhan.

Tetapi mulai Indonesia Reformasi, merintis gerakan shalawat, Pengajian Tombo Ati hingga Maiyah “Sinau Bareng” bersama KiaiKanjeng, Kasihan dan Kadipiro, Padhangmbulan dan yang kemudian beranak pinak sampai ke berpuluh-puluh wilayah – saya sehat kembali. Dan puncak kesehatan hidup saya adalah sejak kedatangan pageblug Covid-19.

Tidak ada ketentuan hari dan tanggal persisnya, tetapi seingat saya berawalnya kesadaran kita mengenai kehadiran Covid-19 adalah awal Maret 2020. Maka hari-hari ini saya merayakan ulang tahunnya yang pertama.

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“AlhamdulillaaHi ‘alaa kulli haal”. Segala puji bagi Allah atas segala dan setiap hal yang kita alami berkat anugerah-Nya.

Kudekap hingga lubuk jiwaku yang terdalam serta kunaikkan hingga ke langit tertinggi rasa syukurku bahwa Allah telah memperkenankan menyebarnya virus Covid-Nineteen ke seluruh permukaan bumi. Apalagi andaikan Allah bukan sekadar mengizinkan atau membiarkannya, melainkan wabah itu memang ketentuan-Nya. Entah dengan maksud apapun untuk manusia. Kun fayakun. Kun tha’unan fa yakuna Covidan.

Aku mensyukurinya setidaknya karena tiga hal. Pertama, berkat mewabahnya virus ini hidupku menjadi lebih sehat lahir batin. Badanku lebih fit. Tenggorokan, hidung, mulut, dan seluruh kepala dan badanku lebih segar. Tidak ada ancaman kecuali melahirkan kehati-hatian. Tidak ada bahaya kecuali menerbitkan kewaspadaan. Sejak Covid-19 bertamu ke bumi, seluruh diriku menjadi jauh lebih waspada. Hati dan pikiranku waspada. Sel-selku waspada. Darahku mengalir waspada. Setiap langkahku waspada. Setiap detik dan menitku waspada. Seluruh totalitas kehidupanku waspada.

Kewaspadaan itu menerbitkan berbagai keinsyafan, gagasan, eksplorasi segala kemungkinan yang menyehatkan, aku mencari berbagai macam asupan dari kaya raya alamnya Allah. Serta pola hidupku sendiri secara individu maupun sosial menjadi lebih berkonsentrasi pada penyehatan lahir batin.

Dan puncak kewaspadaanku adalah tidak bisa mengalami apapun tanpa menjadi ingat Allah. Tidak mendengar, melihat, dan merasakan apapun, kecuali menghadirkan Allah dalam kesadaran dan ruang cintaku. Tidak ada jaga, bekerja, beribadah, istirahat dan tidur, tanpa merasakan peran Allah.

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ

Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Kedua, kujalani syariat “hifdhus-shihhah” atau “syari’atul-‘afiyah” atau protokol kesehatan dengan penuh kedisiplinan dan kesetiaan. Tidak hanya rajin cuci tangan, tetapi bahkan tidak putus wudlu. Aku jaga jarak dan menutupi mulut serta hidungku dengan kain berlapis. Bukan karena aku takut terjangkiti virus. Sebab aku tidak bersedia curiga bahwa Allah rencananya mau kasih ke saya penyakit dan bahkan kematian. Seluruh keagungan Al-Asma`ul Husna memaskeri hidup hamba-hamba-Nya. Ar-Rahman war-Rahim yarhamuna. Al-Muhaiminu wal-Hafidh yahfadhuna. Sedikit pun aku tidak punya keberanian untuk bersangka buruk kepada Allah.

Kalau aku pakai masker, selalu sesuci dan menjaga jarak, itu semata-mata karena aku tidak hidup untuk mencelakakan sesama manusia. Aku tidak mau menyakiti siapapun atau membuat saudara-saudaraku sesama makhluk Allah menjadi sakit karena aku. Bahkan aku tidak tega pada kecemasan hati dan kegundahan pikiran orang-orang di sekelilingku kalau aku tidak memakai masker dan berlaku seakan-akan tidak ada wabah.

Memang selama menyebarnya virus ini aku menjadi lebih sehat, lebih meningkat ketahanan jasad maupun batinku, lebih segar, dan cerah. Tetapi itu hanyalah pengetahuan dan kesadaranku atas diriku sendiri, yang belum tentu menjadi pengetahuan siapapun atas diriku.

Ketiga, wabah yang kini berulang tahun pertama ini, amat sangat banyak memberiku pengetahuan baru. Ilmu baru. Kesadaran baru. Atas manusia. Muatan batinnya. Spektrum pandangannya. Sistem berpikirnya. Tentang diri manusia itu sendiri. Tentang makhluk-makhluk lainnya hingga tentang apa-apa yang mereka persangkakan kepada Tuhan. Bahkan juga tentang Negara. Tentang Pemerintah. Tentang Presiden, Menteri, pejabat-pejabat, juga tentang Dokter, ilmu kesehatan beserta spektrum pamahamannya atas kehidupan, yang di dalamnya ada beribu-ribu probabilitas di antara sehat dengan sakit.

كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٞ لَّكُمۡۖ
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ
وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ
وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Diniscayakan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Bukan perang antara engkau dengan aku. Bukan perbenturan antara kita dengan mereka. Melainkan peperangan terus-menerus di dalam diri kita dalam memproses keputusan nilai, sikap dan perilaku. Antara benar dan bathil dalam proses hidup kita. Antara energi Malaikat dengan Iblis di dalam jiwa kita. Antara baik dan buruk. Antara srudak-sruduk dengan kalem dan bijaksana. Antara musytarikat dengan musytabihat dalam mozaik dan dinamika pengalaman-pengalaman kita. Bahkan antara kelembutan dengan kelembekan. Antara kearifan dengan kompromi. Antara istiqamah dan kepala batu. Antara hemat dengan pelit. Antara pemurah dan boros.

Maka jelas di hari ulang tahun Covid-19 ini yang kulalukan bukanlah mengutuknya, melainkan mensyukurinya. Kalau tak ada Covid-19, belum tentu keadaanku sesehat ini, setenang ini, sesegar ini, seterang benderang ini, sewaspada dan setaqwa ini. Sebagaimana kusyukuri juga dua isi dunia lainnya, yakni Medsos dan Indonesia. Meskipun aku tidak pernah bisa memastikan apakah dua yang terakhir ini konteksnya iradatullah, idznullah, atau malah amrullah, atau justru istidarajullah. Yang pasti dan faktual: Covid-19, Medsos dan Indonesia adalah anugerah besar bagi hidupku di masa tua sekarang ini.

Lainnya

Topik