CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (16)

Langkah Taktis Kecil-Kecilan

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 9 menit
Photo by Dikaseva on Unsplash

Lelaki tua berambut kapas itu duduk dan menunduk. Di sekitar tubuh dia ada beberapa batang pohon singkong tergeletak. Ada kantong gandum atau kantong kain belacu lusuh, penuh dengan singkong di dekat kakinya.

“Jadi, Sampeyan yang selama seminggu tiga kali ini mencuri singkong di kebunku ini?,” tanya tetangga saya yang pemilik lahan lumayan luas ditanami pohon singkong. Lahan itu oleh orang kampung disebut Omah Suwung. Mungkin dulu ada bangunan rumah yang karena kosong atau suwung bangunan roboh tanah pun kembali jadi pekarangan.

Di utara pekarangan ini memang ada rumah kuno yang ambruk, tersisa tembok dan pekarangan yang ditumbuhi tanaman liar, dan jika malam saya pulang tarawehan lewat di dekatnya terasa ada hantu mengamati anak-anak lewat sehingga semua anak tanpa komando pasti memilih berlari.

Sampeyan yang selama ini mencuri singkong di kebun ini?,” tetangga saya bertanya dengan suara mulai naik, membentak. Ayah dan tetangga lain yang malam itu bertugas meronda kampung mengepung lelaki tua berambut kapas itu.

“Hei, jawab! Kok malah meneng wae!”

Inggih, Den,” jawab lelaki tua itu.

“Nah, gitu. Kalau ditanya dijawab dong.”

Inggih, Den.”

“Mengapa kau mencuri singkong di kebunku?”

“Karena terpaksa, Den.”

“Terpaksa?”

“Ya. Karena kami sekeluarga lapar.”

“Rumahmu mana?”

Lelaki itu menyebut sebuah nama desa.

“Lho orang sana kan punya pekerjaan bertani?”

“Kami gagal panen. Tikus-tikus menghabiskan padi kami.”

Pemilik kebun singkong berhenti bertanya. Waktu itu tahun enam puluhan. Tahun-tahun penuh bencana. Ada gunung berapi bernama Gunung Agung di Bali meletus bertahun-tahun disusul Gunung Kelud meletus sampai abunya menghujani Yogyakarta. Muncul aneka macam hama yang menyebabkan petani gagal panen, paceklik di mana-mana. Orang kelaparan dengan perut membusung di gunung-gunung, banyak yang mati karena kelaparan.

Masyarakat yang lapar setiap hari telinganya dijejali oleh pidato dan lagu revolusioner. Lalu diprovokasi untuk memusuhi Malaysia. Masyarakat atau yang rakyat yang lapar diajak demonstrasi mengutuk dan mengganyang Malaysia, membakar patung Tengku Abdurrahman. Apa hubungannya antara negara sendiri yang gagal memperbaiki dan memenuhi hajat hidup orang banyak dengan Malaysia? Tidak ada yang tahu.

Juga muncul pidato dan tulisan berisi provokasi untuk memusuhi orang kaya, para haji, dan juragan. Ada demontrasi mengarak boneka tikus raksasa keliling kota untuk dihujat sepanjang jalan sambil mengarak foto-foto raksasa tokoh komunis dunia yang digambarkan sebagai juru selamat rakyat miskin. Tetapi banyaknya demontrasi, pembakaran boneka dan pidato serta lagu-lagu ganyang Malaysia tetap tidak bisa membuat perut rakyat kenyang. Mereka yang lapar dan tidak punya pilihan lain untuk mendapatkan makanan terpaksa mencuri seperti yang dilakukan oleh lelaki tua berambut kapas itu.

Warga kampung yang mengepung lelaki tua itu, termasuk Ayah dan pemilik kebun singkong sebenarnya juga miskin dan setiap hari makan hanya dua kali. Mereka marah kepada keadaan dan marah kepada lelaki tua itu. Sudah banyak tangan mengepal atau kaki dikencangkan, untuk memukul dan menendang lelaki itu. Ayah tanggap, membuat langkah taktis dengan mengangkat kedua tangan dengan jari mengembang, meloncat cepat lalu memutar tubuhnya menghadap para tetangga.

“Saudara-saudara, apa ada yang tahu kenapa Khalifah Umar bin Khattab tidak menghukum petani dari desa yang tertangkap karena mencuri di sebuah rumah di kota?” tanya Ayah saya yang tidak bisa dijawab oleh tetangga.

“Karena waktu itu di desa sedang dilanda paceklik dan para orang kaya pelit tidak mau membayar zakat atau sedekah dan para pejabatnya menutup rapat pintu Baitul Mal. Umar bin Khattab membebaskan pencuri itu bahkan memberi bantuan yang dananya diambil dari Baitul Mal. Lalu Umar bin Khattab menegur orang-orang kaya dan pejabat lokal yang lalai memberikan hak orang miskin agar tetap dapat mempertahankan hidup”.

Semua tetangga diam.

“Kita ingin meniru Umar bin Khattab atau pejabat dan orang kaya yang ditegur Umar bin Khattab?”

“Umar bin Khattab Kang.”

“Umar.”

“Umar. Tentu Kang. Kan kita bukan orang pelit.”

“Kalau kita bukan orang pelit mari kita buktikan.”

Ayah meminjam kupluk milik pak Kaum yang kebetulan ikut ronda, lalu mengambil uang di saku dimasukkan ke dalam kupluk atau peci lusuh itu, dikelilingkan. Lelaki tua itu menangis tersedu-sedu ketika menerima uang sumbangan patungan tetanggaku dan ketika diminta membawa pulang singkong yang tadi dia curi.

Ayah meminta tiga tetangga yang masih muda dan bertubuh kuat dan menyelipkan senjata di balik baju, mengawal lelaki tua ke rumahnya agar aman di perjalanan.

Rombongan peronda ditambah satu dua tetangga yang terbangun oleh ribut-ribut. Malah pemilik kebun singkong mencabut sebatang pohon singkong dan meminta tetangga yang rumahnya dekat gardu ronda untuk merebus singkong itu.

“Nanti saya godog jadi gurih, saya beri bumbu daun salam. Nanti kita makan dengan gula Jawa. Kebetulan saya dapat kiriman dari saudara di desa,” katanya.

Tentu saja, yang ada di gardu ronda berteriak tanda setuju.

Sambil menunggu singkong rebus matang dan tiga tetangga kembali, orang-orang ngobrol santai. Sambil sesekali memaki keadaan yang tidak bertambah baik.

Mendengar ada tetangga memaki keadaan, biasanya Ayah langsung bertanya, “Apakah dengan memaki maki seperti itu perutmu wareg pa?”

“Tidak Kang.”

“Kalau mau wareg ya nandur singkong, atau menunggu singkong rebus tadi matang. Benar kan nggih?”

Semua tertawa mendengar kata kata Ayah. Sambil membayangkan singkong rebus gurih yang dimakan bersama gula Jawa.

Dalam perbincangan yang hangat dan asyik di gardu ronda, sambil makan singkong rebus campur gigitan gula Jawa, Ayah bercerita bahwa sebenarnya dia sudah mendapat firasat kalau keadaan ekonomi makin buruk dan lumpuh. Sebagai pembaca koran yang baik dan punya kenalan banyak, termasuk sesama pensiunan tentara yang rutin berkumpul mengambil beras kupon di kantor veteran yang letaknya di bagian belakang rumah Pak Dirman di kampung Bintaran banyak informasi terbaru masuk telinga Ayah.

Belum lagi informasi rahasia yang biasanya disampaikan oleh Pak Lik yang memantau pergerakan rahasia orang Kiri dengan menggunakan bengkel sepeda sebagai simpul perjumpaan mereka, termasuk yang ada di Bintaran tidak jauh dari rumah Pak Dirman. Menurut Pak Lik yang membisiki Ayah, mereka juga menggunakan tempat warung remang-remang dan makam keramat sebagai tempat simpul bertemu dan akhirnya sama-sama punya kesimpulan sementara bahwa ekonomi memang dibikin remuk dengan sihir politik revolusi belum selesai.

Ketegangan memang mulai terasa di kampung. Ayah dan para pendekar kampung waspada. Inilah yang membuat Ayah dan para pendekar kampung itu memutuskan ikut meronda kampung pada hari berbeda.

“Apa firasat kalau keadaan ekonomi akan makin remuk, Kang?,” tanya tetangga yang tadi ikut mengawal Mbah berambut kapas ke rumahnya.

“Pertama bencana alam terus sambung-menyambung datang tanpa ada putusnya. Diikuti dengan bencana alam di sawah yang diserbu hama dengan ganas. Ini mirip suluk dalam pewayangan sebagai isyarat akan terjadi Goro-Goro di mana wong cilik atau para punakawan kehidupan tampil sebagai penolong. Menolong satria yang sering bingung ketika berada di tengah belantara persoalan.”

“Terus-tanda tanda zaman lainnya, Kang?”

“Apa sampeyan tidak merasa bagaimana kampung kita juga menderita karena bencana alam? Lihat semua halaman rumah di kampung dan di seluruh penjuru kota kecil tapi bernama Kotagede ini.”

“Apa itu Kang?”

“Waduh, sampeyan ini gimana. Dulu semua halaman rumah di kampung dan kota kita ditumbuhi dengan subur oleh tanaman pohon jeruk pecel yang kualitasnya kelas satu. Secara berkala datang pedagang jeruk nipis menebas jeruk dari rumah ke rumah secara bergantian sehingga rezeki kita melimpah.

Pemasukan masing masing keluarga dari panen jeruk nipis yang pohonnya sering untuk bertengger ribuan burung emprit kaji cukup membantu untuk menambal kebutuhan sehari hari. Nah sekarang? Setelah datang wabah atau pandemi bagi tanaman jeruk nipis oleh serbuan virus tanaman, semua pohon jeruk mati mengering dan tanahnya bertahun-tahun entah sampai kapan masih mengandung virus ini.”

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik