Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia
Pesan agar saya menulis dengan judul atau tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, membuat saya merasa agak malu karena teringat pada tulisan saya di waktu saya masih muda dulu yang kemudian menjadi judul buku “Sastra Yang Membebaskan”. Merasa malu dan membuat saya mentertawakan diri saya sendiri: Sastra kok membebaskan. Sastra kok disuruh atau dibebani misi untuk membebaskan. Sastra kan “apa”, bukan “siapa”.
Memang sih maksud implisitnya adalah sastra bisa dijadikan “tool of exemption” atau “tool of liberation”. Lengkapnya “tool of human liberation”. Bisa juga diperluas menjadi “tool of people liberation”. Manusia memakai, menggunakan atau menjadikan sastra sebagai “alat” untuk membebaskan manusia dari ini itu dalam kehidupan. Ini itu bisa sangat luas, bisa dibatasi dalam sepetak kesempitan.
Memang tidak ada yang saya bantah konten dalam tulisan “Sastra Yang Membebaskan”, yang salah satu dimensi konkret empiriknya adalah kasus penggusuran Kedungombo yang saya ikut menjadi “prajurit pembebasan” sampai ndlosor-ndlosor di sawah tanah-tanah pecah atau di rumah gubug penduduk Mlangi dan Kedungpring, Boyolali. Tetapi ketika itu saya belum memenuhi manthiq elementer dengan memperhatikan posisi subjek-objek-predikat dalam suatu perkara atau narasinya.
Manthiq adalah prinsip dan metodologi pemahaman atas sesuatu hal yang diupayakan untuk mencapai ketepatan dan keseimbangan di dalam mengamati dan meneliti suatu fakta atau kejadian.
Di kalangan Pesantren dijelenterehkan bahwa Manthiq merupakan ilmu yang mempelajari tentang petunjuk seseorang dalam berpikir, sehingga jauh dari kemungkinan salah dalam berpikir. Dalam istilah lain dijelaskan sebagai ilmu yang mencegah dari setiap kekeliruan dalam berpikir. Jadi manthiq adalah ilmu logika adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara berpikir. Ia diperlukan agar orang dapat berpikir secara logis.
Maka kalau memasuki ruang bacaan yang lingkupnya “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, perlu diperjelas dan disepakati landasan pemahaman dasarnya terlebih dulu. Misalnya, yang dimaksud sastra itu susunan kata-katanya atau keindahan yang dimuatnya. Kalau pakai amsal: manis itu rasanya atau gulanya?
Kalau rasanya, berarti lingkup pemahamannya menjadi melebar ke apa saja kemungkinan benda-benda atau objek lain yang ternyata juga manis seperti yang dikandung oleh gula. Amsal baliknya: gerak tari, lakon teater, bunyi musik, narasi Kitab Suci, dan apa saja bisa disebut “mengandung” sastra. Tetapi kalau sastra adalah susunan kata-kata, semua ekspresi estetika yang tidak menggunakan alat kata, tidak bisa disebut sastra sama sekali. Tapi Kitab Suci masih bisa ditemukan “sastra”-nya, karena alat penyampaiannya adalah kata.
Tetapi itu semua adalah urusan ilmu atau kesibukan akademis. Kita semua bukan ilmuwan dan bukan akademisi. Kita tidak perlu dibikin pusing oleh pertanyaan ilmu atau tuntutan akademis. Kita kasih jawaban kehidupan saja. Bahwa sastra itu ya kata-katanya, ya keindahannya. Yang kita nikmati ya gulanya ya manisnya. Di situlah letak “hidup”nya kehidupan dan “mati”nya kerepotan ilmu. Harap direnungi kembali bahwa yang dituntut oleh ilmu, yakni kepastian atau ketetapan definitif, itu beku. Sedangkan kemungkinan, yang sering terasa sebagai ketidakpastian, itu justru yang dinamis. Kepastian itu statis, kemungkinan itu dinamis. Jadi katakanlah kepada mereka yang dipenjara oleh ilmu: Kalau kau bertanya pastinya sastra itu komposisi kata atau muatan estetikanya, aku berada pada denyut di antara keduanya.
Yang mengasyikkan bagi dinamika batin manusia adalah denyut antara gula dengan manisnya, antara kata-kata dengan keindahannya. Tuhan sendiri tegas-tegas menyatakan bahwa watak utama ciptaan-Nya adalah diselenggarakannya semua dengan dan dalam perjodohan. Istilahnya, “azwajan”. Dan itulah dasar konsep Tuhan untuk menerbitkan kenikmatan manusia terhadap keindahan.
Tidak hanya berjodohnya lelaki dengan perempuan. Siang dengan malam. Bumi dengan langit. Manusia dengan alam. Pemerintah dengan rakyat. Bahkan Tuhan sendiri yang bercinta dalam perjodohan-Nya yang Ia sengaja dan rancang melalui gagasan menciptakan makhluk-makhluk-Nya.
Mungkin ketidak-ajegan itu justru kunci kenikmatannya. Ketidakmenentuan itu asal-usulnya. Sehingga manusia tidak berhenti mencari, berbeda pendapat, bertengkar, terbagi-bagi menjadi banyak aliran-aliran. Dan memang di situlah letak hangatnya kehidupan ini.
Kemudian tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja” menunjukkan bahwa pelakunya, pembawa, dan pembebas sastra itu bukan sastra itu sendiri, melainkan manusia. Dan Tuhan, kalau kasusnya adalah Kitab Suci. Berarti sastra berposisi sama dengan Kitab Suci, dengan agama, dengan kata-kata mutiara, dengan meme atau apapun saja yang bisa difungsikan oleh manusia untuk tindakan pembebasan atau membebaskan.
Siapa yang dibebaskan? Tentu manusia itu sendiri. Bukan Jin yang kita bebaskan dari botol setelah ditangkap oleh ustadz dan dikurung di dalam botol itu. Juga bukan alam, binatang, tetumbuhan, atau Tuhan dan para Malaikat. Meskipun bisa saja domino manthiq-nya membawa kepada kemungkinan itu. Misalnya, alam dibebaskan dari kerakusan dan perusakan oleh manusia. Tuhan “dibebaskan” dari kesempitan berpikir manusia.
Tetapi maksud tema kita ini, sastra hendak dibawa dan dibebaskan dari apa menuju apa? Dari mana ke mana? Yang pasti sastra bukanlah subjek atau makhluk hidup sebagaimana manusia yang punya kemungkinan untuk butuh dibebaskan. Sastra tidak butuh kebebasan. Manusianya yang butuh. Sastranya sendiri tidak punya potensi untuk bermasalah dengan dirinya sendiri. Karya sastra bisa dikerjasamakan dengan formula-formula kesenian lain misalnya, musik, tari, teater dll. Tetapi yang mendapat keuntungan dan kerugian bukan sastranya, melainkan manusianya. Karya sastra bisa dirusak oleh manusia, tetapi subjek dan objek yang mengalami berkah atau kutukan adalah manusianya.
Karya sastra bisa sangat bagus secara estetik dan artistik, tetapi yang mendapat pujian adalah sastrawannya, meskipun karyanya bisa sangat disukai oleh manusia. Tetapi karya sastra sendiri tidak punya alat, syariat maupun hakikat untuk menikmati pujian manusia atau bersedih karena dinilai buruk oleh manusia. Garis manthiq-nya bisa kita tarik ke urusan di mana Tuhan tidak laba apa-apa kalau manusia mengabdi kepada-Nya dan tidak mengalami kerugian apa-apa kalau manusia mengkafirinya atau memunafikinya. Semua kembali ke manusia itu sendiri. Demikian juga sastra.
Sesudah pendadaran proses bersastra di Persada Studi Klub Harian “Pelopor Yogya” di dalam kendali “provokator” Umbu Landu Paranggi, era kreativitas yang saya geluti berikutnya di paruh kedua 1970-an hingga 1980-an adalah “Musik Puisi” yang kami oleh bersama anak-anak muda kampung Dipowinatan yang tergabung dalam Kelompok Karawitan Dinasti. Besertaan dengan dinamika kreativitas Teater Dinasti. Saya tidak ingat persis awal mulanya, tetapi bersama anak-anak Dipowinatan itu saya berproses mengolah “azwajan” atau mengkreatifi kemungkinan memperjodohkan antara musik dengan puisi.
Tentu saja disiplin yang paling dasar adalah bagaimana setiap puisi yang kami pilih didorong untuk mengabdi kepada musikalitas. Bersamaan dengan bangunan musiknya diaduk sedemikian rupa agar mengabdi kepada poetika atau puitika. Musik dan puisi saling mengabdi, saling mendukung, saling memperindah, saling mengalah, saling beradaptasi, saling bersikap lembut dan inklusif satu sama lain dalam posisi yang seimbang.
Kemudian muncul fatwa penyair senior waktu itu Mas Darmanto Jt.: “Puisi, kapan saja dan di mana saja”. Diperkuat oleh dawuh Ibu saya sendiri: “Berbuatlah baik di mana saja, kapan saja dan dengan siapapun”. Apakah puisi itu termasuk kebaikan? Di hadapan pertanyaan ini baru muncul kembali dinamika antara isi dengan bentuk. Dalam skala sosial yang lebih luas dan ragam muatannya, pertanyaan itu terganjal oleh fakta pemahaman dungu yang menyebut sastra itu bukan agama, bukan politik, bukan yang lain-lain. Jangan campur adukkan antara ibadah kepada Tuhan dengan kebiasaan manusia-manusia gondrong yang disebut sastrawan.
Agama itu sebuah fakultas, bukan universitas. Agama itu Departemen atau sekarang Kementerian. Agama sangat dipersempit menjadi pembidangan ilmu dan pemahaman. Sementara puisi dan sastra justru berkembang dan merasuk ke semesta kehidupan yang lebih luas. Sehingga lahir judul yang dimintakan kepada saya: “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”. Agama yang secara ruang dan waktu sangat mengandung multi-dinamika, ijtihad dan kreativitas, dikendalikan oleh aktor-aktor kerdil dalam kehidupan masyarakat menjadi batu-batu berhala kecil yang padat dan keras. Sementara puisi yang tampak luarnya sangat remeh dan dianggap sangat jauh letaknya dari fakta Kitab Suci dan narasi Wahyu, justru kami angkut ke keluasan jagat kejiwaan manusia dan masyarakat.
Banyaknya penyempitan-penyempitan seperti itu dalam bingkai pemahaman dan pemikiran budaya masyarakat kita, merupakan tembok-tembok yang harus didobrak, dirobohkan atau minimal ditembus. Pengalaman-pengalaman “memasak” berbagai macam ragam perjodohan antara puisi dengan musik, kemudian mengalami pertumbuhan dan perkembangan “skill” tatkala evolusi Karawitan Dinasti memasuki tahap KiaiKanjeng. Dengan Karawitan Dinasti kami membawa nomor-nomor aransemen musik puisi ke banyak kota dan daerah-daerah terutama di Pulau Jawa. Kemudian “kelanyahan” meracik musik-puisi yang semakin luwes secara kreativitas, dibawa oleh KiaiKanjeng berkeliling ke berbagai Negara hingga mencapai 26 kota-kota besar dunia.
Evolusi kreativitas di KiaiKanjeng mengembarai dua spektrum. Pertama, tidak terbatas hanya penjodohan puisi dengan musik, tetapi merambah juga berbagai kemungkinan kreatif lainnya yang lebih luas dalam bingkai kesenian. Eksplorasi multi-perjodohan kesenian itu bisa melibatkan dunia gerak, dunia fragmen teater, serta kemungkinan-kemungkinan lain.
Spektrum kedua adalah pelebaran pemahaman sosial dan kebudayaan yang dibawa ke berbagai level dan segmen masyarakat. Kalau pada spektrum pertama mengkerjasamakan sejumlah bidang kesenian, pada spektrum kedua mempergaulkan semua kemungkin di dalam kebudayaan. Maka dunia agama hingga politik, atau kalau dilihat secara institusional dari altar-altar kepemerintahan dan kenegaraan hingga beranda atau halaman masjid, sekolah-sekolah, universitas-universitas, kantor-kantor perusahaan atau birokrasi hingga tepian hutan, pantai, banyak sekali lapangan dan alun-alun. Bahkan bersentuhan dengan semua kalangan usia masyarakat, dari umum, khusus kanak-kanak, kaum pelajar atau khusus orang-orang tua.
Kalau dilihat dari sifat dan kosentrasi nilainya, KiaiKanjeng merambah dari area-area hajat politik, peringatan-peringatan keagamaan, bahkan sampai ke rumah-rumah penjara. Kalau dilihat dari area geografisnya, KiaiKanjeng melompat-lompat dari leher gunung, lembah gunung, tempat-tempat pariwisata, pesta-pesta rakyat, hajatan-hajatan keluarga hingga dunia bela diri atau persilatan.
Semua pengembaraan itu dengan sendirinya membawa multi-ekspresi kesenian, sosial budaya, sosial keagamaan, yang berkat pengalaman Karawitan Dinasti, KiaiKanjeng sudah sangat lanyah untuk secara terencana atau spontan menyuguhkan racikan-racikan yang mengharmonikan puisi-puisi dalam arti teknis kesastraan maupun puisi dalam makna intrinsik dan esensial. Di antara personal-personal KiaiKanjeng sudah selalu siap para pembaca puisi, pelaku fragmen teater, workshop-workshop gerak, yang seluruh ekspresi bidang-bidang itu diberi makna, asosiasi dan kontekstualisasi sosial yang luas.
KiaiKanjeng mengalami proses-proses pendidikan sedemikian rupa sehingga selalu siap untuk memberikan suguhan-suguhan yang menyeluruh, yang tidak eksklusif seni musik dan sastra puisi. Tidak hanya berpenampilan kesenian dan kebudayaan, tapi juga lebih luas dari itu. KiaiKanjeng tidak pernah naik panggung dengan “full rundown” dimana nomor-nomor diurut dalam daftar untuk disuguhkan. KiaiKanjeng hanya berunding untuk satu dua nomor awal, selebihnya berimprovisasi sampai akhir.
Sebagaimana barangkali diketahui, tradisi forum Maiyah bisa berlangsung 7-8 jam dan berakhir pukul 03.00 dinihari. Sepanjang penyuguhan itu KiaiKanjeng selalu “standby” dengan berbagai nomor “perjodohan” berbagai dimensi ekspresi, sekaligus selalu siap juga untuk sewaktu-waktu secara spontan meracik beberapa keperluan secara mendadak dan instan.
KiaiKanjeng tidak tepat untuk dikategorikan sebagai kumpulan seniman atau kelompok kesenian apalagi grup musik. KiaiKanjeng adalah suatu kumpulan manusia yang berproses mengolah semua nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kehidupan. Hampir tidak ada wilayah nilai kehidupan yang tidak disentuhnya. Walikota Teramo Italia dan Perdana Menteri Inggris berpidato sesudah pementasan KiaiKanjeng di kota itu serta di London, yang muatan aspirasinya sama. Yakni “seharusnya masyarakat dunia ini di-manage sebagaimana KiaiKanjeng me-manage berbagai hal yang ditampilkan dalam simbolisasi kesenian yang ditampilkan”. Yang dimaksud adalah manajemen nilai di KiaiKanjeng mengandung contoh dan rekomendasi bagaimana semestinya ummat manusia ditata, bagaimana seyogyanya negara diatur, bagaimana seharusnya globalisasi dirajut.
Akan tetapi hanya sangat sedikit orang yang memiliki kualitas dan keluasan pandangan atau kelengkapan ilmu untuk bisa menemukan apa yang sebenarnya dipersembahkan oleh penampilan KiaiKanjeng. Memang KiaiKanjeng diminta untuk dengan posisi dan caranya sendiri mendorong proses pembersihan birokrasi dan masyarakat dari tradisi pencurian kayu di hutan, di Kalimantan misalnya, sehingga sesudah pentas KiaiKanjeng sejumlah pejabat ditangkap dan dibawa ke Jakarta untuk proses pidana.
Memang KiaiKanjeng diminta untuk entah bagaimana strateginya untuk turut meredam konflik antara masyarakat Dayak dan Madura di Kalimantan, sehingga KiaiKanjeng menyisir daerah-daerah konflik itu. Memang KiaiKanjeng diminta untuk menyejukkan masyarakat Negeri Belanda dari kekeruhan konflik antar agama yang dimulai oleh pembuatan film “Fitna” oleh Geert Wilders dan sebelumnya pembunuhan terhadap Theo van Gogh. Dan KiaiKanjeng berkeliling ke 19 kota di Belanda untuk “atmospheering” soal itu.
Memang KiaiKanjeng berkeliling 5 kota Inggris, 3 kota Italia, 3 kota Malaysia, 6 kota Mesir, 5 kota Australia, juga Filandia, Skotlandia dll. Dan itu semua tidak dalam konteks eksklusif kesenian atau bidang musik dan puisi. Melainkan komprehensi dari semua urusan dan masalah kemanusiaan, masyarakat dan negara.
Tetapi hanya Walikota Teramo dan Perdana Menteri Inggris yang menemukan globalitas dan komprehensi nilai KiaiKanjeng di dalam berkesenian. Bahkan di buku besar Kesenian Indonesia yang resmi diterbitkan oleh Kementerian Dikbud atau Diknas, yang disebar ke semua Kedutaan Besar Republik Indonesia di seluruh dunia, tidak tercantum nama KiaiKanjeng maupun saya.
Sebab di dalam pikiran penulisnya dan pemahaman hampir semua kaum cerdik pandai yang menulis buku-buku, KiaiKanjeng tidak ada “rak”nya di perpustakaan otak mereka. Mereka bingung bagaimana mengidentifikasi KiaiKanjeng dan saya. Dibilang grup musik kok ada puisinya, ada suluknya, ada wahyu dan ayat sucinya, ada pendidikan politiknya, ada ilmu sosialnya, bahkan ada ilmu manajemen dan jagat kebatinan serta tasawuf. Mau diletakkan di mana dalam perpustakaan pemahaman ilmu mereka.
Bahkan mindset ilmu dan pemahaman hampir semua masyarakat dunia modern tidak bisa mengidentikasi “pola budaya” dan “cara hidup” KiaiKanjeng, saya dan pasti juga fenomenologi Maiyah. Akhirnya yang berlangsung adalah simplifikasi dan cara pandang yang serampangan, yang tentu saja bias dan terlalu awam. Masyarakat atau kalangan-kalangan di area kesenian tidak bisa menerima KiaiKanjeng dan saya karena ada “agama”-nya, ada “ngaji”-nya, ada “ayat”-nya, sehingga mengkategorikan aktivitas KiaiKanjeng dan saya sebagai kegiatan agama.
Sementara kalangan agama juga tidak bisa menerima Kiai Kanjeng dan saya karena dipikirnya itu kesenian, ada musiknya, ada gamelan gitar keybord dan drumnya. Padahal di dalam pola manthiq umum yang berlaku tidak hanya di Indonesia melainkan hampir di seluruh dunia: agama itu bukan kesenian, juga sebaliknya: kesenian itu bukan agama. Kesenian dan agama itu lain bidang, lain urusan, lain nilai, lain konsentrasi dan lain ekspresi.
Demikianlah masyarakat modern jauh lebih sempit pandangannya atas kekayaan kehidupan dibanding masyarakat desa-desa tradisional dan manusia-manusia kuno. Demikianlah kaum terpelajar sampai di era milenial sekarang ini lebih sempit pencapaian pandangnya dalam ilmu dan pengetahuan hidup, dibanding Mbah Buyut kita yang menurut mereka orang-orang jadul dan bodoh.
Mereka semua hampir di seantero permukaan bumi yang merana ini menyangka, bahkan berkesimpulan dan berkeyakinan, bahwa puisi bukanlah ayat, dan ayat bukan puisi. Al-Qur`an Injil Taurat Zabur itu kitab agama, tidak ada kaitannya dengan puisi. Sastra itu bukan politik, dan politik itu tetangga sangat jauh dengan sastra.
Kalau Anda menugasi saya untuk “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, mohon diketahui bahwa wilayah-wilayah mana saja itu penuh dengan manusia dan masyarakat, termasuk kaum intelektual dan ulamanya, sangat pandai merumuskan perbedaan antara beras dengan nasi dengan bubur dan dengan rengginang. Sebab, atau tetapi, mereka tidak mengerti padi. Mereka bikin Sekolah Beras, mendirikan Universitas dengan Fakultas Beras, Fakultas Nasi, Fakultas Rengginang, dan Fakultas Bubur.
Tidak ada Universitas atau Fakultas yang mendidik mahasiswa untuk menjaga mulut. Sebab yang mereka pelajari dan mereka ajarkan hanya gigi. Andaikan ada Fakultas Kesehatan Mulut, lingkup kurikulumnya bukan budaya ekspresi atau aktivasi akhlak, melainkan gosok gigi sebelum tidur, atau berkumur dengan baking soda. Sementara Universitas yang konsentrasinya Agama, juga menjalankan tradisi rendah diri, sehingga Syariat dan Ushuludin itu fakultas. Yang wajib mengabdi kepada Tuhan atau shalat dan puasa itu manusia yang beragama Islam, sehingga mending jangan masuk Islam supaya tidak salah kalau tidak mengabdi kepada Tuhan, tidak shalat, tidak berpuasa dan berbuat baik.
Juga puisi atau sastra. Ada fakultasnya. Tetapi saya belum pernah bertemu dengan mahasiswa, pengajar atau lulusan fakultas itu yang mengerti dan mengalami kenikmatan di dalam denyut dinamis antara aktivasi sastra dengan keperluan sejati kehidupan manusia. Dunia modern selalu menggembar-gemborkan prinsip inklusivisme, tetapi jagat kependidikan yang mereka bangun hampir seluruhnya berwatak eksklusif. Sangat memilah-milah, sangat menciptakan jarak antara apapun saja bidang yang digeluti, tetapi tidak ada kewaspadaan terhadap pilah prinsipil antara ilmu dengan agama. Bahwa mereka sedang menjalani Ilmu, sehingga kegiatannya adalah memilah-milah, memecah-mecah, membeda-bedakan. Sementara agama itu tauhid, mempersatukan, mengenali apa dan siapa saja, bahkan termasuk Tuhan sendiri, sebagai penyatuan dan kesatuan.
Maka dunia pendidikan modern merekrut agama ke dalam lingkup Ilmu. Maka agama menjadi faktor paling efektif dan menjadi potensialitas yang paling tajam untuk menjadi sumber pemilahan, perpecahan dan berujung kehancuran kemanusiaan. Dunia modern memahami agama sebagai ilmu, sementara dalam kehidupan nyata mereka meng-Agama-kan ilmu. Jadinya peradaban menjadi kancah peperangan terus-menerus antara golongan yang gagal paham melawan kelompok yang tidak paham. Antara masyarakat yang tidak mengerti melawan masyarakat lain yang kurang mengerti. Tawuran pula dengan masyarakat yang gagal mengerti. Antara golongan yang setengah-setengah melawan golongan lain yang sepertiga-sepertiga, dicampuri pula oleh golongan yang lain lagi yang seperempet-seperempat.
Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah ummat manusia kondisi “cacat kemanusiaan” melebihi era modern sekarang ini. Cacat manthiq, cacat pandangan, cacat ilmu, cacat intelektual, bahkan cacat mental dan cacat jiwa. Lebih cacat lagi karena juga belum pernah ada masyarakat sepanjang sejarah yang sampai sejauh ini merasa paling maju, merasa paling pandai, merasa paling hebat, merasa paling segala-galanya.
Bahkan sampai abad 21 sekarang ini belum pernah terbit buku yang bisa dibandingkan dengan “Nahjul Balaghah” karya Sayyidina Ali bin Abi Thalib 15 abad yang lalu, dalam hal kelengkapan, keutuhan dan keseimbangan pandangan serta analisisnya terhadap manusia, kemanusiaan dan kehidupan. Apalagi dalam hal ketersambungan timbal-balik antara kehidupan manusia dengan sunnatullah, iradatullah, dan amrullah. Di era milenial sekarang ini Tuhan diposisikan sebagai pelengkap penderita. Allah itu bagian dari manusia. Tuhan dianiaya oleh kesempatan dan kebodohan manusia. Tuhan dimanipulasi oleh kepandaian manusia. Tuhan direkrut atau dibuang oleh keperluan politik mereka. Tuhan dimarjinalisasikan oleh manajamen perekonomian dan ambisi harta benda keduniaan mereka.
Andaikan tuhannya saya, kayaknya sejak abad 16-17 dulu Malaikat Jibril sudah saya perintahkan untuk mengambil rembulan untuk dilemparkan ke bumi. Malaikat Izroil lain saya suruh “nyawuk” dua di antara planet-planet di tata surya kemudian dipegang di masing-masing dari tangannya, lantas dibenturkan ke bulatan bumi supaya pecah terkeping-keping. Itu jalan efektif untuk pelaksanaan tugasnya. Daripada bertele-tele ronda tiap siang dan malam keliling bumi mengambili nyawa manusia satu demi satu.
Jadi, “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja” itu sebenarnya menjerumuskan saya ke dalam penderitaan dan kesepian. Akan tetapi saya berterima kasih dan merasa nikmat, karena di jagat derita dan sepi itu cahaya Tuhan memancar berlipat-lipat terang benderangnya tetapi sejuk dan tenang tenteram ke manapun dan di manapun saya dilemparkan, dicampakkan hingga tergeletak tak berdaya. Ketidakberdayaan di hadapan kemahaan Allah adalah daya hidup sejati bersama-Nya. Itu namanya Maiyah.
Yogyakarta 27 Maret 2021.
(Tulisan ini merupakan salah satu esai dalam Buku Panggung Sastra: Esai-Esai Intermedia Karya Sastra yang diterbitkan oleh UPTD Taman Budaya Yogyakarta, April, 2021, hlm. 263-276).