Lakon Suminten Edan dan Keutamaan Martabat
Ketoprak itu lelaku. Tidak sebagai pelajaran, tetapi mencirikan dan menunjukkan karakter orang Jawa.
Gagal menikah membuat Suminten depresi. Ajakan Den Mas Broto, putra Adipati Trenggalek, menuju pelaminan ternyata hanya sebatas selentingan. Janur kuning tak jadi melengkung, namun Suminten sudah kadung woro-woro. Ia gila bukan karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Suminten malu kepada tetangga. Sudah memberikan kabar kok malah tak berujung resepsi.
Tokoh utama dalam pertunjukan sandiwara tradisional Jawa ini menghadapi dilema psikologis. Bagi masyarakat Jawa, “perempuan berumur” dipandang miring bila belum resmi segera melepas masa lajang. Terlebih undangan menikah yang sudah tersebar tapi ternyata tak pernah kesampaian. Suminten sesungguhnya menghadapi tekanan standar ganda.Meski lakon Suminten Edan seakan berkisah seputar tresna berikut masalah yang menyertainya, kandungan pokok cerita di dalamnya cenderung lebih kompleks. Kelompok ketoprak bernama Crigis Kabeh ini mengusung secara implisit problematika harga diri di masyarakat. Masyarakat Jawa menempatkan martabat lebih tinggi ketimbang apa pun. Bahkan setingkat lebih atas daripada cinta yang seakan-akan melandasi keseluruhan cerita Suminten Edan.
Mengapa Suminten batal dipinang? Pada pertengahan dialog sebetulnya sudah didapatkan jawaban. Kegagalan itu lantaran masalah kesalahpahaman. Salah seorang pemain mengimbuhkan keterangan. “Sekarang banyak orang hanya krungu secara sepihak,” ujarnya. Siapa yang salah paham? Terhadap siapa?
Bapak Sumintenlah yang pertama kali memberitahukan maksud pinangan itu. Sebelumnya ia baru saja pulang dari Kadipaten Trenggalek. Ia pun bercerita kalau ditawari emas picis rojo brono oleh ngarsa dalem. Sang bapak menolak. Takut terhadap omongan orang-orang. Baginya, teman adalah kepentingan. Semacam pragmatisme politik.
Hal terpenting bukanlah benda berharga. Melainkan kabar mempersunting anaknya. Sang bapak bukan main bungahnya. Apalagi Suminten yang telah lama menjomblo. Kian lama melajang sementara di dusunnya ia dikenal seperti—meminjam deskripsi salah satu tokoh—“Suminten ki ayu koyo bintang-bintang Korea kae lho” menambah aib tersendiri.
Peristiwa ini kemudian membuka lembaran babak konflik berikutnya. Di sela-sela klimaks, untungnya para pemain membanyol secara spontan. Kekhasan ketoprak pada umumnya. Paling kuat pula bagaimana mereka bersilat lidah menggunakan bahasa Jawa ngoko. Khususnya adegan antara Gento dan Cempluk.
Tokoh Gento memiliki kisah cintanya sendiri. Ia menggandrungi “mbakyu” Cempluk. Tubuhnya yang mungil membuat Gento lebih akrobatis. Menunggu sang pujaannya itu di hari minggu, Gento malah berjoget ria diiringi hentakan gamelan. “Nek dina minggu mbakyu Cempluk menyang pasar. Joget sih, ah. Nek keringeten luwih gampang uhuk-uhuk karo mbakyu Cempluk,” ucapnya seraya tertawa.
Kehadiran Gento dan Cempuk dalam Suminten Edan memberikan warna khas tersendiri. Keduanya bertugas seperti mencairkan suasana tegang di tengah kemurungan Suminten. Audiens juga merasa Gento merupakan representasi cinta yang lain: sama-sama keras kepala, walau berujung patah hati, ia tetap men-jogeti sembari merengek.
Kekuatan utama Suminten Edan terletak pada daya improvisasi pemain. Memang energi utama dalam ketoprak adalah spontanitas terhadap gerak, bahasa, dan berbalasan respons tanpa terkesan dibuat-buat. Selain para tokoh yang sudah disebutkan, penokohan Suryomenggolo maupun Suryobangsat begitu kuat karakternya. Totalitas aktor tak perlu diragukan lagi sebab sebagian besar pemain memang bagian dari Komunitas Lima Gunung pimpinan Tanto Mendut.
Pertunjukan Organis
Helatan rutin bulanan Mocopat Syafaat malam tadi (17/04) ditayangkan live streaming. Cak Nun menilai pertunjukan tadi sangat organis. Ia lalu mengetengahkan perbedaan ketoprak dengan teater modern lainnya.
“Misalnya persoalan bahasa kalau teater modern itu sangat anorganis. Berbeda sekali dalam prosedur, teknis, naskah, penokohan, dan lain sebagainya,” paparnya usai mengawali pembahasan pasca-pementasan.
Cak Nun teringat selama tinggal di Amerika Serikat. Waktu itu dirinya mengikuti program International Writing Program di University of Iowa tahun 1981. Sebagai salah satu agenda, Cak Nun muda diminta membuat pementasan. Ia memilih ludruk. Sama seperti ketoprak, ludruk sangat organis.
Pementasan tak terkungkung naskah baku sebab cenderung mengutamakan improvisasi tokoh. Walau terkesan tanpa acuan tak berarti seenaknya. Tiap pemain mesti menaati garis besar cerita. Spontanitas aktor lebih dieksplorasi.
“Ketoprak itu lelaku. Tidak sebagai pelajaran, tetapi mencirikan dan menunjukkan karakter orang Jawa,” imbuh Cak Nun. Ia kemudian mengundang para aktor Suminten Edan untuk ikut serta merespons. Salah satunya Bu Eni Setiawati, pemain utama tokoh Suminten.
Ketika ditanya Cak Nun penyebab gilanya Suminten, ia berpendapat masalah wirang (malu) lantaran sudah terlanjur mengumumkan berita pernikahan kepada tetangga.
Berarti masalahnya, sambung Cak Nun, pertunjukan tadi berpusar pada tema harga diri, alih-alih cinta kendati selama dialog jamak diwedarkan. “Saya kira Lima Gunung ini membawa kegagahan dan karakter kita,” tuturnya. Cak Nun menambahkan betapa pementasan ketoprak tersebut merupakan bagian dari tholabul ‘ilmi (mencari ilmu).
“Jadi ketoprak ini mengungkapkan banyak hal yang tidak bisa kita dapatkan di pengajian atau sekolahan kecuali melihat langsung ketoprak,” ucapnya. Menyambung Cak Nun, Pak Tanto juga memberikan alasan mengapa ketoprak sangat penting dalam kesenian rakyat.
Ia melihat kesenian tidak dalam sejumlah dikotomi. Seni akademik, seni rakyat, seni modern, atau seni apa pun. “Sik penting lucu. Akhirnya nama ketopraknya bernama Crigis Kabeh,” komentarnya. Ketoprak juga membuktikan betapa desa juga memiliki keseniannya sendiri.
Menurutnya, kesenian sekarang selalu terdikte oleh “pusat Jakarta” sehingga pada titik tertentu menegaskan pula “Amerikanisasi seni” yang kemudian melahirkan wacana internasional, profesionalitas, elite seni, dan lain sebagainya.
Kritik Pak Tanto mendapatkan gayung bersambut. Cak Nun menyodorkan catatan kaki lebih teknis. Terutama masalah ketoprak dan teater modern. Segala bentuk kekhasan ketoprak, bila dipandang mendalam, akan ditemukan di mana akar tradisionalnya. Sementara teater modern, disadari atau tidak, sangat kental nuansa Shakespearean.
“Betul, Cak. Apalagi tahun-tahun 70-an ketika kami masih muda teater-teater kita sangat kuat pengaruhnya dari model Stanislavski, Bertolt Brecht, dan lain-lainnya,” tambah Pak Tanto sambil berdiri dan mempraktikkan salah satu gaya adegan.
Kelompok Ketoprak Crigis Kabeh tak mengejar apa pun kecuali kegembiraan. Malam itu pimpinan ketoprak, Pak Riyadi, menceritakan proses kreatif para pemain. Ia membawa 15 pemain. Delapan aktor dan tujuh pengrawit. Mereka berlatar belakang lintas profesi. Salah satu di antaranya ada petani tulen.
“Munculnya ketoprak ini karena di desa saya grup ketoprak hampir punah. Biayanya kan lumayan mahal. Kalau kita bikin grup lalu akan terbebani biaya. Maka perlu disiasati,” ungkapnya. Selama pandemi Ketoprak Crigis Kabeh sudah manggung sebanyak enam kali.
Biasanya ketoprak mulai main pukul 11 malam, menurut pengakuan Pak Riyadi grupnya keluar dari pakem pementasan. Ketopraknya main lebih awal. Menyesuaikan keadaan penonton sekarang yang tak terbiasa melek semalam suntuk. “Tidak usah serius namun tetap senang.”