Lahir Kembali bersama Kelahiran Kanjeng Nabi


Tasyakkur dan tahadduts binni’mah atas kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad Saw sekaligus momentum Milad Padhangmbulan ke-28 menjelma menjadi kerinduan yang tak terbendung. Malam itu, Jum’at, 22 Oktober 2021, Pengajian Padhangmbulan menjadi telaga yang mengobati haus dahaga kita semua.
Para santri Ta’dib Pesantren Padhangmbulan turut hadir. Lantunan shalawat mahallul qiyam menjadi pembuka acara sebelum Bapak Abdullah Qayim mengajak jamaah bertadarus Al-Qur’an. Tidak berselang lama Mbah Fuad, Mbah Nun dan Cak Dil menyapa jamaah. Hadir pula Mas Syafii, sedulur dari Mafaza.
Tidak ingin melepaskan konteks kehadiran para santri Pesantren Padhangmbulan, Mbah Nun menjelaskan pengertian Ta’dib. Proses pemberadaban yang dimulai dari ta’lim, tafhim, ta’rif, ta’mil dan takhlis. Mbah Fuad juga menyodorkan pengertian yang diberangkatkan dari istilah ta’dib, yakni ta’addub. Kalau ta’dib merupakan bentuk masdar dari addaba – yuaddibu – ta’diiban, maka ta’addub adalah masdar dari ta’addaba – yata’addabu – ta’adduban.
Dua wazan itu memiliki makna yang berbeda. Ta’addub merupakan proses pemberadaban yang diakari proses dari dalam diri manusia (internal). Sedangkan ta’dib dikondisikan oleh faktor-faktor dari luar (eksternal). Tentu saja, yang menghasilkan pengaruh lebih kuat adalah ketika ia tumbuh dan berakar dari dalam diri.
Pemaknaan itu diperluas oleh Mbah Nun untuk menjelaskan asal-muasal dan arti kebahagiaan. Muncullah istilah tasa’’ud (huruf ‘ain bertasydid): kebahagiaan yang tumbuh akibat upaya conditioning dari dalam kesadaran manusia. Bahagia atau tidak bahagia tidak ditentukan apalagi dipengaruhi oleh sesuatu dari luar diri manusia. Tidak ada alasan untuk tidak bahagia selama kita mampu menemukannya dari lubuk terdalam kesadaran kita.
Selama ini dan hingga hari ini kita merasa tas’id (bahagia) apabila memiliki uang bertumpuk, istri cantik, mobil mewah, jabatan tinggi. Untuk sekadar bahagia kita bergantung pada benda-benda dan pencapaian semu. Ingin bahagia malah ditindas oleh kebahagiaan. Jadinya tangeh lamun alias bertepuk sebelah tangan.
“Kebahagiaan di Maiyah adalah kebahagiaan yang muncul dari dalam dirimu,” tegas Mbah Nun.
Untuk mensyukuri kelahiran Nabi Muhammad Saw malam itu Mbah Fuad memaparkan fondasi dasar bahwa mauludan bukan sebatas ritual tahunan yang diisi dengan perdebatan tentang, misalnya, apakah acara maulidur rasul itu bid’ah apa tidak. Perdebatan ini memang kekonyolan dan kesia-siaan yang berulang. Kita juga menjumpai hal itu setiap bulan Desember: apakah mengucapkan Selamat Hari Natal itu haram atau tidak.
Faktanya, kita terjebak dan sengaja dijebak oleh kurungan pertanyaan, “Apa hukumnya…?” Bukan karena hukum fikih tidak penting, tapi perdebatan tentang “apa hukumnya” yang menjadi tema rutin eker-ekeran saban tahun itu justru menjadikan kita umat yang kerdil dan ngamukan.
Malam itu jamaah Pengajian Padhangmbulan bisa bersilaturahmi dengan Mas Syafii. Pengalaman mengikuti Maiyah di Eropa tentu berbeda dengan maiyahan di tanah air. Mengedepankan humanisme, ngajeni sesama manusia, menjaga martabat kemanusiaan adalah poin mendasar yang disampaikan pria asal Madura itu.




Mbah Nun juga menceritakan pengalaman beliau selama lara lapa di Eropa. Mulai dari benar-benar menggelandang di lorong-lorong jalan, menampung curhatan para preman yang kesepian, tinggal di apartemen sempit tanpa penghangat ruangan, hingga bertahan hidup di tengah cuaca ekstrem musim dingin.
Atas semua kisah pengalaman itu hikmah apa yang dapat kita petik? Satu di antaranya adalah tidak menggadaikan harkat dan harga diri kemanusiaan. Bahkan sebaliknya, di tengah “nikmat” kesulitan itu ruang pengayoman kita terhadap sesama hamba Allah semakin luas.
Maka, Maiyah tidak akan mengulangi kesalahan produk sejarah. Gagal produk itu justru menyumbang ketimpangan demi ketimpangan, kemiringan demi kemiringan, kesempitan demi kesempitan yang kita semua menanggungnya hingga hari ini.
Oleh karena itu, fokus garapan Maiyah adalah manusia: makhluk berbahan materi yang tumbuh dan berkembang, berakal dan berhati nurani. Konsistensi Maiyah tidak berhenti pada tahap manusia sebagai makhluk, tapi terus menapaki tangga manusia sebagai hamba, dan puncaknya adalah manusia sebagai khalifah.
Workshop bersama Santri Ta’dib
Malam itu terasa spesial terutama bagi para santri Pesantren Padhangmbulan. Hari Jum’at dan Sabtu ketika mereka mengikuti kegiatan Ta’dib kini berbarengan dengan Pengajian Padhangmbulan. Mbah Nun mengajak mereka melakukan workshop sederhana — dan ini bisa berarti semacam test case atas pembelajaran Ta’dib yang memasuki tema tahap kedua.
Dibentuklah tiga kelompok yang setiap kelompok dianggotai lima santri. Terjadi kejutan sekaligus shock therapy untuk para santri. Sambil mengajak para santri naik ke panggung pikiran saya tiba-tiba melompat ke tulisan Mbah Nun yang berjudul Miskin Pola Ekspresi: Salah Satu Masalah Anak-anak Muda Kita.
Kita cuplik satu paragraf tulisan dalam buku Indonesia Bagian dari Desa Saya itu: “Kebiasaan-kebiasaan konsumtif membikin kita lebih banyak pasif. Langkah-langkah sering kurang kreatif-reputatif. Bahkan, dalam menempuh cita-cita pun kalau bisa yang simpel saja. Jalan pintas. Praktis saja. Tidak mengeksplor pentingnya latihan ketahanan terhadap waktu. Kurang tergalinya potensi kreatif sejak kecil akan menyebabkan krisis wujud ekspresi individu. Kita pingin cepat enak, hingga gampang menyerah, gampang kompromi, tipis konsistensi, kesetiaan ringkih. Ekornya banyak. Kita jadi gampang ditimang-timang oleh kata, slogan, hiburan tanpa diimbangi oleh disiplin tanggung jawab terhadap realitas.”
Ndilalah, Ta’dib kali ini bertepatan dengan tahap pembelajaran ekspresi. Jujur, kita memang miskin ekspresi, fakir memahami diri sendiri. Entah karena kebiasaan konsumtif, entah karena malas berpikir, entah karena pola asuh pendidikan yang berhenti pada tahap tafhim – ta’lim, dan tidak kunjung beranjak menuju ta’rif yang di-ta’mil-kan apalagi tiba di ruang takhlis — kita perlu mawas diri, baik sebagai manusia maupun guru. Kemampuan ekspresi kita baru pada tahap “entah”: gagap dan ambigu.

Demikianlah, kita melakukan proses setahap demi setahap bersama dinamika yang terjadi. Kita tidak menginginkan anak-anak generasi kita kecut menghadapi kenyataan, terbata-bata mengeja realitas, terserimpung kakinya menapaki masa depan, atau mengalami kroak-kroak pemikiran tapi kemenyek di hadapan manusia.
Maturnuwun Mbah Fuad, Mbah Nun, Cak Dil dan semua keluarga ndalem kasepuhan. Malam itu — meminjam istilah teman-teman — bukan sekadar malam Hari Raya. Lebih dari itu, sebagaimana kita meneladani kelahiran Kanjeng Nabi yang tidak hanya setahun sekali tapi setiap menit, setiap detik, setiap saat — kita juga diantarkan kembali lahir dan lahir kembali. Mengutuh menjadi manusia.
Jagalan, 24 Oktober 2021