CakNun.com

Lagi, Orang Gila pun Mengenal Mbah Nun

Hilmy Nugraha
Waktu baca ± 3 menit
Dok. Pribadi

Sudah jamak kisahnya orang-orang yang terganggu “kewarasan”-nya tetapi ia mengenal bahkan berakhlak baik kepada Mbah Nun. Namun, yang satu ini unik karena saya mengalami dan menjumpainya sendiri.

Kisah bermula ketika saya harus mengurus warga saya yang “kurang waras”, Tarto namanya. Sebagai kepala dusun, sudah menjadi kewajiban yang harus saya ayahi termasuk mengurus orang-orang semacam Tarto ini. Tarto masih tergolong muda, usianya baru 31 tahun, namun permasalahan di keluarganya membuat dia benar-benar terganggu. Orang menyebut dia gila.

Namun, Tarto hapal doa tahlil dan hapal shalawat kaum Nahdliyin. Kemarin Tarto meracau sepanjang hari. Sungguh mengkhawatirkan tingkahnya. Kalau pas apes, bisa mengamuk merusak rumah sendiri atau bahkan rumah tetangga sebelah. Warga yang resah meminta saya mengantar ia ke panti rehabilitasi terdekat.

Bersama Pak RT, kakaknya Tarto, dan seorang dari Puskesmas, berangkatlah kami menuju ke sebuah panti rehabilitasi milik negara di Jeruklegi, Cilacap.

Sesampai disana, Tarto mogok, ngambek. Berkali-kali dibujuk untuk mau tinggal di panti itu, tetapi ia tetap tidak mau. Ia sempat lari hendak lompat pagar setinggi lebih dari 3 meter, untunglah kami berhasil mengejar dan mencegahnya. Hingga satu jam berlalu, petugas panti meminta salah seorang warga panti untuk bisa membantu membujuk.

Warga panti yang sama senasib dengan Tarto itu namanya adalah Rahmat Gonzales. Begitulah ia memperkenalkan diri. Gonzales ini bicaranya tertata, tampak intelektuil, meski badan penuh tato-tato.

Berulang kali Gonzales membantu membujuk Tarto, tetap saja ia tidak mau masuk ke panti. Untuk misi membujuk Tarto ini, lumayan bagi Gonzales, ia mendapat imbalan rokok, 3 batang jumlahnya. Sudah beberapa bulan ini ia puasa merokok katanya.

Kondisi Gonzales sama seperti Tarto. Dianggap tidak waras oleh masyarakat di sekitarnya. Singkat cerita, ketika datang ke panti, saya memakai kaos kegiatan Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di desa Saya tahun lalu. Gonzales membaca tulisan di kaos saya. “Merdesa Merintis Budaya, Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng.”

“Wah, Ainun ya!”, tukasnya sambal menunjuk ke kaos yang saya pakai itu.

“Saya suka itu dakwah Ainun. Jelas! Mencerahkan dan tidak menyakiti”, Gonzales mendetailkan pengenalannya.

Wah, tahu dari mana ini orang? Begitu pikir saya. Apakah dia pernah ikut Maiyahan? Apakah jangan-jangan ia pendengar setia channel youtube caknun.com? Entahlah.

“Mas, saya suka sekali. Saya tahu Cak Nun sedari saya masih kecil. Dia orang baik”, Ia melanjutkan bicara. Saya hanya jawab seperlunya.

“Mas, besok kesini lagi ya, bawa buku-buku Cak Nun. Saya mau baca,” pinta Gonzales.

Saya pun berjanji membawakan esok ketika saya harus datang kesana lagi melengkapi berkas administrasi Tarto. Wajahnya kemudian sumringah mendengar jawaban saya.

Pada kejadian ini, saya sontak teringat dengan apa yang Mbah Nun sampaikan di Silaturahmi Penggiat Simpul di Wonosobo pekan lalu. Ketika itu Mbah Nun menyampaikan bahwa Maiyah ini untuk semua.

Ya, untuk semua. Maiyah itu tidak hanya untuk orang Indonesia. Akan tetapi juga untuk orang yang jauh di sana, mereka pun butuh Maiyah. Apakah orang di Norwegia butuh Maiyah? Tentu butuh juga. Apakah orang di Afrika butuh Maiyah? Tentu saja iya. Bahkan Simbah menegaskan bahwa jin juga membutuhkan Maiyah.

Maka saya pun ndredeg ketika menjumpai langsung di hadapan saya orang dengan status gangguan jiwa tetapi ternyata begitu fasih mendeskripsikan pengenalannya tentang Mbah Nun. Gonzales mungkin adalah bagian dari yang merasakan manfaat dari ilmu Maiyah, hingga ia terlintas untuk merengek meminta kepada saya membawakan buku-buku Mbah Nun untuk dibacanya.

Saya terus terang tidak berani menyebut orang-orang ini gila. Karena, kalau pun dia gila, tidak menjamin hidup saya dan kita semua yang mengaku sebagai orang waras lebih baik daripada dia. Apalagi menurut agama, orang gila sudah pasti bebas hisab. Ayem tenterem masuk surga via jalan tol, tanpa hisab.

Tarto membuat saya menikmati pekerjaan sehari-hari saya, mungkin ini yang namanya dedikasi. Dan Gonzales membuat saya tertegun, bahwa Mbah Nun yang kami kenal juga dikenal oleh orang yang hidupnya pada wilayah kesadaran yang berbeda.

Dan akhirnya Tarto berhasil dibujuk untuk mau tinggal di panti. Sedangkan Gonzales laba mendapatkan 3 batang rokok plus buku Mbah Nun yang akan saya bawa ke sana pekan depan.

Lainnya