Kualitas Puasa Ibarat Peragian Rohani
Cak Nun menyebut peragian untuk menandai kesungguhan pengalaman berpuasa. Kualitas ini menegaskan betapa berpuasa bukan sekadar menahan makan dan minum, melainkan juga upaya individu dalam proses peragian rohani.
Dua nomor KiaiKanjeng bertajuk Pambuko Tiga dan Bisikan Daun-Daun mengawali Menjelang Senja episode ketujuh (06/05) sore kemarin. Lagu terakhir menarik Mas Doni. Ia merasa liriknya puitis. “Kalau saya memaknainya, lagu tadi itu tentang cinta. Soal sepasang kekasih. Kalau kita memaknainya dengan sudut pandang lain bisa seperti itu,” ungkap vokalis termuda KiaiKanjeng itu.
Bisikan daun-daun
Kicau burung-burung
Angin menerpa ombak
Lautan pun beriak
Pasir sepanjang pantai
Bak disisir dewa-dewi
Matahari bergantung
Senja pun segera turun
Cintaku padamu
Cerianya wajahmu
Riangnya hatiku
Namun cinta tak akan padam
Ini bukan barang bikinan
Tetapi anugerah Tuhan
Mendengar interpretasi itu Cak Nun segera menyahut. Tembang cinta atau bukan, menurutnya, bergantung pada sudut, cara, dan titik koordinat pandangnya. Lagu ibarat ungkapan sri gunung dan sri kembang yang akrab dalam kebudayaan Jawa. “Sri gunung itu cantik ketika didekati tapi dijauhi juga indah. Dan sri kembang kelihatannya indah tapi didekati kok bocal-bocel,” terangnya.
Kedalaman tafsir atas makna sebait lagu sama seperti kualitas pengalaman individu dalam berpuasa di bulan Ramadhan. Minggu ketiga menjalankan puasa seharusnya dimaknai sebagai sebuah proses pengalaman rohani.
Cak Nun menyebut “peragian” untuk menandai kesungguhan pengalaman berpuasa. Kualitas ini menegaskan betapa berpuasa bukan sekadar menahan makan dan minum, melainkan juga upaya individu dalam proses “peragian rohani”.
“Gampangnya peragian itu begini. Awal puasa itu kamu masih ketela. Masih keras. Bukan hanya mentalnya, bukan hanya jiwanya, tetapi juga cara berpikirnya, cara memandangnya, cara penglihatannya, cara pendengarannya. Itu masih atos-atos. Itu cara berpikir telo,” ujar Cak Nun.
Semakin mendekati titik final bulan suci, kualitas puasa seseorang hendaknya mencapai kelembutan. Capaian itu ditempuh dengan menyadari sejauh mana peragian rohani menjadi pertimbangan orang berpuasa.
“Termasuk lailatul-qadar. Kita kan sekarang memaknai lailatul-qadar secara ketela. Aku mendapatkan rezeki banyak, mendapatkan jodoh, dan seterusnya,” kritiknya.
Lebih lanjut, Cak Nun mengajak audiens mentadabburi ayat lailatul-qadri khairum min alfi syahr. Malam lailatul-qadar acap dipahami sebagai malam yang lebih baik ketimbang seribu bulan. Beliau melihat kandungan di dalamnya secara kualitatif. Kualitas malam yang istimewa daripada malam biasa lainnya disebabkan karena rahmat Tuhan terlimpah-ruah. Salah satunya di malam qadar Tuhan menurunkan Al-Qur’an.
“Pemahaman kualitatif ini termasuk memahami shalat 27 kali. Lalu ketika jamaah sekali kita dapat 27 pahala. Dan pola berpikirnya terus tidak perlu shalat karena sudah nyelengi 27 kok. Kalau begitu berarti kita masih melihat dalam cara berpikir ketela,” sambung Cak Nun.
Intisari lailatul-qadar menurut Cak Nun berlaku untuk semua urusan manusia. Bila ia diartikan bukan secara materiil, ia akan memberikan efek kelembutan. “Maka kenikmatan rohani itu sama sekali berbeda dengan kenikmatan materi atau duniawiah. Dan itu masa berlakunya salāmun hiya ḥattā maṭla’il-fajr (sejahteralah malam itu sampai terbit fajar),” tuturnya.
Cak Nun menekankan pentingnya memahami puasa sebagai peragian dan memaknai kembali lailatul-qadar dengan cara kelembutan. “Kalau tidak begitu tidak bisa. Saya kira sore ini kita belajar mendayagunakan puasa ini menjadi manusia yang sudah diragikan. Baik mental, pikiran, dan hatinya,” pungkasnya.