Kota Santri dan Kampung Gali
Selama bergaul dengan lingkungan manusia dan budaya Dipowinatan sejak Dinasti hingga KiaiKanjeng, saya merasa seperti ada yang aneh dengan agama di Indonesia, khususnya Islam.
Kalau mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam, pakai logika sebab akibat yang sederhana saja mestinya kehidupan bangsa Indonesia ini penuh keteduhan budaya, kelembutan perilaku, kedamaian sosial, keseimbangan berpikir, keutuhan kepribadian, kematangan manajemen, ketertataan bermasyarakat dan negara. Apalagi hampir di setiap tempat, kota atau daerah-daerah, selalu saja ada keturunan Nabi Muhammad Saw langsung yang masyarakat memanggil beliau-beliau dengan habib.
Kalau sebuah negara mayoritas warganya beragama Islam, mestinya kebaikan, kebenaran, dan keindahan menguasai wilayah-wilayahnya. Sedangkan keburukan, kebrutalan, pencurian, korupsi, serta segala macam yang Islam menyebutnya “munkar” tersingkir dan terpinggirkan. Aura dan energi karakter Muhammad dan prinsip nilai ajaran-ajaran Islam menyebar di mana-mana, menguasai tanah air, udara dan cuaca.
Termasuk juga hidup dan berkembangnya jiwa ijtihad, mental tajdid, istiqamah menegakkan nilai-nilai kehidupan, kreativitas mengelola zaman dan sejarah. Tapi kenapa bukan pemandangan seperti yang kita jumpai di Indonesia? Bahkan ada kecenderungan sebaliknya?
Apalagi di kampung Dipowinatan yang “abangan”, tidak pernah terdengar suara adzan, tidak ada kumpul-kumpul Jum’atan, romantisme Bulan Ramadlan serta kemesraan Hari Raya Idul Fitri. Kalau pakai logika di atas, pastilah kehidupan di Dipowinatan jauh lebih rusak dibanding Indonesia secara keseluruhan. Apalagi aktivitas anak-anak muda Dipo malah teater dan musik. Apa tidak makin rusak.
Di era 1970-an ada semacam stigma bahwa orang-orang tua tidak mengizinkan anak-anak putrinya ikut kegiatan teater, karena takut hamil di luar nikah. Masyarakat umum berpikir bahwa dunia kesenian dihuni oleh anak-anak nakal, seks bebas, bahkan cenderung Mo-Limo. Apalagi pengasuh mereka di Dipo bukan ustadz atau kiai, melainkan Mas Tertib Suratmo yang senirupawan wayang, Mas Fajar Suharno yang bukan santri, apalagi Raden Gadjah Abiyoso yang bergelepotan klenik dan kebatinan Jawa.
Demikianlah keadaan sosio-kultural masyarakat dan kaum muda Dipowinatan ketika saya datang. Dan saya pun sama sekali bukan aktivis Islam dengan simbol-simbol yang dikenal umum oleh masyarakat. Saya bukan ustadz atau kiai, apalagi ulama atau habib. Saya tidak membawa beban untuk berdakwah atau memperbaiki kehidupan mereka. Saya datang sebagai alumnus PSK Malioboro, senang melihat anak-anak muda berkiprah, bahagia menyaksikan kerja keras dan kreativitas. Maka tatkala hadir pertama di Balai RK Dipowinatan tempat anak-anak muda itu latihan gamelan, yang muncul di benak saya adalah gagasan untuk membikin suatu formula kesenian yang melibatkan aktivitas mereka. Saya penyair yang siap puisi, mereka dolanan gamelan dan tekun melaksanakan kegiatannya.
Sebagaimana pernah saya tulis bahwa salah satu budaya kaum muda Dipo memang “agak hitam”, tetapi saya tidak lantas bernafsu untuk memutihkannya. Bagi saya memperbaiki kehidupan itu pekerjaan alamiah dan standar makhluk yang bernama manusia. Dengan rancangan berdakwah atau tidak, manusia pasti punya naluri alamiah untuk memperbaiki diri dan lingkungannya. Dan jenis proses semacam itulah yang saya alami dengan komunitas Dipowinatan ini.
Tidak ada satu pun di antara mereka yang berhati jahat, bermental busuk, culas, serakah atau malingan. Cuma mereka memang tidak lahir dan dibesarkan oleh tradisi “budaya santri” dan dilingkungi oleh masyarakat yang rajin beribadah dan “saba Masjid”. Mereka bukan anggota masyarakat yang Grup Qashidah “Nasyida Ria” menggambarkannya:
“Suasana di kota santri
Asyik senangkan hati
Tiap pagi dan sore hari
Muda-mudi berbusana rapi
Menyandang Kitab Suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi Mengaji
Mondok di Kota Santri
Banyak Ulama dan Kiai
Tumpuan orang mengaji”….
Jadi di kota Santri tidak ada orang jualan di warung, menggendong dagangan ke pasar, mencangkul di kebun, memperbaiki atap rumah, apalagi bikin acara puisi serta latihan teater.
Dipowinatan 100 persen bukan kampung Santri. Jadi kalau Nasyida Ria mau bikin lagu tentang Dipowinatan, judulnya “Suasana di kota Gali”. Gali dalam pengertian bukan kriminal, tetapi anak-anak “kurang terdidik”. Namun demikian, dalam kehidupan warga Dipowinatan tidak ada orang mencuri jemuran di halaman tetangga, tidak ada suami menyelengkuhi istri sebelahnya, tidak ada tawur, tidak ada keserakahan terhadap harta benda, bahkan tidak ada kemewahan duniawi. Di THR sebelah utara Dipo memang ada tempat-tempat perjudian, pelacuran dan satu dua jenis maksiat lainnya. Tapi itu Taman Hiburan Rakyat, produk keuangan dan kapitalisme modern, inisiatif perdagangan pragmatis, yang mendapatkan izin operasi dari Pemerintah Daerah.
Ada cipratan THR ke Dipo, tetapi tidak lantas merusak kehidupan warga Dipo sampai tingkat yang mencemaskan. Ada Pram aktivis Dinasti tokoh pemuda kampung yang kelak benar-benar menjadi tokoh dalam kumpulan Pemuda di tataran yang lebih tinggi. Ada Uswanto pemeran utama Musik-Puisi Dinasti yang pelajar senirupa dan hidupnya kreatif produktif sampai hari ini. Ada Bambang Harimurti yang hidupnya berkembang sangat baik. Ada Narto “Gus Manis” Piyul penggesek biola yang kalau Anda ketemu dia tidak akan membantah bahwa para Malaikat menaburinya kasih sayang yang manusia sekitarnya kurang memberikan itu kepadanya. Ada Godor Widodo, pemuda Katolik yang akhirnya menjadi Muslim dan merupakan manajer transformatif yang rajin dan tertib sejak Dinasti hingga Perdikan Teater. Ada Joko Kusnun wajah bayi pengendang Dinasti yang polos dan bahagia keluarganya. Jangankan lagi Joko Kamto, peniup terompet Dinasti dan aktor utama dan dahsyat teater dari era Dipo, Dinasti, Pak Kanjeng, hingga Perdikan dan sekaligus penabuh Demung KiaiKanjeng.