Kondisi Manusia
Kita harus belajar apa artinya menjadi manusia. Karena, di sekolah, tidak ada yang mengajarkannya. Memahami keterhubungan kita dengan alam, dan juga dengan perbedaan-perbedaan kita. Kesadaran kita dan kebudayaan kita membuat kita berbeda dari alam. Kita memiliki identitas ganda: identitas biologis dan identitas kemanusiaan. Inilah artinya menjadi manusia.
Selain itu, literatur menjelaskan manusia dalam kehidupan subjektifnya, yang tidak dapat dilakukan oleh ilmu pengetahuan yang objektif. Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘homo sapiens’ yang artinya ‘diberkati dengan nalar’. Bagi saya, manusia adalah ‘sapiens’ dan ‘demens’, yang memiliki kemampuan menalar dan melakukan hal yang irasional (madness).
Kegilaan adalah apa yang disebut oleh Yunani kuno sebagai ‘delirium’. Semua penguasa hebat memiliki ambisi dan haus akan kekuasaan. Kita menghabiskan waktu dengan berjalan dari kegilaan menuju penalaran. Setiap kali kita melakukan sesuatu yang rasional, kita menggunakan emosi kita. Seorang matematikawan pun memiliki hasrat terhadap apa yang ia kerjakan. Jadi, bagaimana mungkin seseorang menggabungkan rasionalitas dan perasaan?
Pertanyaan kunci ini seharusnya menjadi bagian dari pendidikan seseorang. Kita juga mendefinisikan manusia sebagai ‘homo faber’, artinya “yang menciptakan peralatan”. Tapi sejak zaman prasejarah, peralatan bukanlah satu-satunya perkembangan. Mitologi dan agama juga merupakan penemuan. Ada dua aspek kemanusiaan di sini. Manusia tidak hanya menjadi teknisi, ia juga memiliki kehidupan spiritual dan mitologis yang luar biasa.
Kita sebutkan ‘homo economicus’, yang merupakan fakta bahwa kita mendefinisikan manusia melalui kepentingan/minatnya. Itu menjadi kian nyata dalam peradaban kita, tetapi ada banyak aktivitas yang tidak diminati, bahkan dalam peradaban kita. Lalu ada ‘homo ludens’, yaitu “ia yang bermain”. Kita semua menyukai permainan, tidak hanya permainan kesempatan. Kita menikmati segala macam permainan, seringkali egois, yang membuat kita lupa dengan minat kita sendiri.
Pada akhirnya, saya dapat mendefinisikan kehidupan sebagai polaritas ganda di antara prosa, yaitu semua hal yang harus kita lakukan dan tidak kita nikmati, dan puisi, yaitu yang memenuhi kita dengan rasa syukur terhadap masyarakat, cinta, persahabatan, dan permainan. Adalah puisi kehidupan yang membuat kita tetap hidup. Prosa hanya untuk bertahan hidup (just survival).
Satu fungsi pendidikan adalah menjelaskan bahwa manusia harus mengembangkan kapasitasnya untuk menikmati hidup dengan puitis. Oleh karena itu, mengajarkan estetika, musik, menggambar, dan seni secara umum tidak hanya menjadi suatu kemewahan, melainkan sebuah cara untuk menikmati aspek puitis dari kehidupan, sebagaimana memperhatikan seekor kupu-kupu atau burung. Kita harus berhenti mendefinisikan pendidikan dengan produktivitas tinggi, komersialisme, dan profesionalisme, dan kembali kepada gagasan JJ Rousseau, yaitu bahwa belajar untuk hidup berarti belajar untuk hidup secara puitis.